Oleh Pater Vincentius Wun SVD
Tulisan ini pernah dimuat dalam buku “Dari yang Indah Sampai yang Membara, Percikan Pengalaman dari Emaus” (Bajawa Press: 2018). Atas seizin penulis yang pada 9 Juli 2022 merayakan 40 tahun imamatnya dalam Tarekat Sabda Allah, saya kirimkan tulisan tersebut ke redaksi tempusdei.id. Dibuat saat Pater Vincent merayakan ulang ke-36 imamat. Isinya masih tetap relevan hingga kini. (Alfred B. Jogo Ena)
Saat menulis refleksi dalam rangka reuni angkatan tahbisan imam Ledalero/Ritapiret 1982-2018, usiaku sudah mencapai 67 tahun dan 36 tahun imamat.
Saya telah melewati usia setengah abad. Ini berarti saya sedang menuju terbenamnya matahari kehidupan. Di masa ini segalanya berubah.
Pada suatu hari, saya berdiri di depan lemari kaca kamarku sambil mengamati diriku dengan teliti. Tubuh fisik saya ternyata sudah berubah: di kepalaku sudah ada landasan helikopter, rambutku tidak lagi hitam sempurna karena sudah bercampur warna.
Lebih lagi bulu mataku yang biasanya pasti hitam sudah kelihatan satu dua utas berubah warna. Ada keinginan untuk merekayasa warna rambut agar dapat menutupi yang kelihatan tua ini tapi aku sadari bahwa semua itu tipuan belaka. Usia tidak akan berubah walaupun warna rambutku dimudakan/dihitamkan lagi.
Kitab Pengkhotbah mengingatkan saya: “Untuk segala sesuatu ada masanya, untuk apa pun di bawah langit ada waktunya” (Pkh 3:1). Wow tidak bisa disangkal saya sudah dipanggil Opa, dan harus diterima bahwa menjadi tua itu pasti!
Di masa tuaku ini yang penting saya sehat, mandiri dan tidak menyulitkan orang lain, menikmati hidup dan mengisi waktuku dengan pelayanan yang sebanyak mungkin.
Ketika berada di antara imam muda saya merasa tersingkir. Mereka membicarakan topik yang cocok dengan usia mereka, tapi karena cepat sadar bahwa memang beda usia maka saya berusaha hadir bersama mereka dan menyesuaikan diri.
Masa yang Indah
Saya menyadari bahwa yang dituntut dari misi Yesus dalam kerajaan-Nya adalah “Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu, dan barangsiapa ingin menjadi yang terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hamba untuk semuanya” (Mrk 10:43).
Nasihat Yesus ini berlaku selama manusia masih hidup entah sudah tua atau muda belia, entah imam atau awam.
Masa ini disebut “masa yang indah”, karena saya bisa bangga dan merasakan ikatan batin dengan tempat tugas sebagai pastor di beberapa paroki dan melakukan beberapa karya monumental.
Di Paroki Eban, tempat cinta pertamaku sebagai Pastor Rekan ada banyak sahabat di sana. Berpindah ke Paroki Santo Gerardus Nualain, tempat saya bertumbuh dalam imamat dan pelayananku sebagai pastor Paroki.
Berbekal pengalaman sebagai pastor pembantu dari seniorku P.Wolfgang Jeron SVD, misionaris asal Jerman yang sungguh berbagi ilmu katekese untuk umat terutama anak-anak.
Di tempat ini ada bangunan menumental berupa salib di puncak Leowasu dekat Duarato–Lamaknen.
Setelah 8 tahun di paroki, saya ditugaskan menjadi Ekonom Provinsi SVD Timor selama 6 tahun. Lalu saya ditugaskan lagi ke Paroki Santo Yohanes Pemandi Naesleu.
Di tempat ini saya mengabdikan diri sebagai imam di tengah umat yang beraneka ragam dan mengasyikan karena ada banyak tantangan yang membuatku jadi lebih matang. Di tempat ini saya menyadari bahwa kelompok umat basis yang dipadukan dapat menjadi kekuatan dahsyat bagi perkembangan paroki itu sendiri.
Kami dapat membangun sebuah gereja yang megah di tengah kota Kefamenanu. Suatu kebanggaan yang tidak akan punah dari memori hidupku. Semua itu bukan kehebatan saya tapi kekuatan doa, ekaristi kudus, dukungan para Santo dan Santa serta teman imam dan donatur baik dari dalam maupun dari luar paroki.
Para donatur telah menjadi bukti kasih Allah dalam hidupku untuk membangun rumah Tuhan ini.
Keterlibatan Tuhan sangat mungkin tercipta kalau manusia memiliki iman, keterbukaan dan kerendahan hati.
Bersama pemazmur saya memuji Tuhan: “Pujilah Tuhan hai jiwaku, dan janganlah lupakan segala kebaikan-Nya” (Mzm 103:2).
Saya menyadari bahwa Tuhanlah yang memungkinkan saya mengalami pelayanan ini. Saya bangga dengan semua pengalaman itu.
Persahabatan dan penghargaan hingga sekarang merupakan buah dari karya yang penuh kasih kepada umat.
Hal itu seakan menegaskan Sabda Tuhan ini, “Janganlah kamu membawa bekal dalam perjalanan, janganlah kamu membawa baju dua helai, kasut atau tongkat, sebab seorang pekerja patut mendapat upahnya” (Mat 10:10).
Tidak jarang terdengar pujian dan rasa bangga akan kehadiran dan pelayananku. Semua itu bagaikan obat yang memberikan energi. Bukankah ini hadiah dari Tuhan untuk pelayananku kepada umat-Nya?
Buah Ekaristi
Segala tempat tugas yang sudah saya layani merupakan buah dari ekaristi kudus, rahmat terindah dari Tuhan bagiku sebagai imam-Nya.
Imamat sungguh karunia yang sangat istimewa dalam hidupku. Keistimewaan ini bertumbuh tahap demi tahap dalam tugas pelayananku. Imamat dan ekaristi serta pelayanan tidak bisa dipisahkan.
Tidak ada imam yang hidup tanpa ekaristi dan tidak ada imam yang merayakan ekaristi tanpa pelayanan sebagai hamba yang mengabdi.
Jika dipisahkan maka saya hanyalah pemain tonel dalam menghayati panggilan hidup ini. Ini adalah kemunafikan hidup yang menyakitkan Tuhan dan umat-Nya.
Dalam kaitan dengan ekaristi kudus, selama 36 tahun menjadi imam–ekaristi kudus adalah perayaan yang penuh makna dalam hidupku.
Semakin tua usia imamatku semakin berarti ekaristi kudus bagiku. Meja ekaristi semakin indah walaupun tubuh fisikku sebagai imam makin rapuh. Perasaan ini timbul karena ekaristi itu amat luhur dan dashyat untuk memelihara panggilan dan pelayananku.
Penghayatan ekaristi di pastoran bersama imam lain merupakan tantangan yang tidak gampang. Karena tantangan jenis ini terjadi di depan mata dan dekat dengan hidup seorang imam.
Sebagai Pastor Kepala harus berhadapan dengan imam yang beda pendapat, budaya, usia, watak serta hobi. Dalam menghadapi kenyataan ini, saya akan berusaha menciptakan suasana harmonis dalam keluarga pastoran yang menjadi pusat kekuatan pelayanan parokial.
Dari pastoran kami akan melayani umat kami. Saya tidak menghendaki adanya kemunafikan dalam pelayanan.
Apabila ada salah paham saya berusaha selesaikan agar tampil sebagai imam yang memimpin ekaristi kudus, bersih dari aneka tekanan, hidup bersama teman imam di Pastoran.
Kalau ekaristi dirayakan dengan baik maka akan dirasakan umat sebagai berkat bagi hidup mereka. Inilah spirit hidupku sebagai imam selama 36 tahun. Buah dari berkat itu bisa dalam bentuk material, persaudaraan, pujian, kisah lucu yang menyemangati perjalanan imamatku.
Perayaan ekaristi merupakan wujud dari imamat itu sendiri. Imam tanpa ekaristi kudus bukanlah imam. Ekaristi kudus yang dirayakan tanpa penghayatan pelayannya hanyalah sandiwara tanpa makna. Karena itu saya akan tetap menghargai imamatku dan akan tetap menghayatinya dengan setia.
Sebagai imam biarawan berkaul, ekaristi adalah penolong utama untuk melepaskan kebiasaan yang melawan kaul sekaligus memaknai pengorbananku dalam mengikuti Kristus.
Persiapan Masa Tua
Pada waktunya saya akan purna bakti dan akan kembali ke rumah. Yang sudah saya siapkan untuk masa tuaku meliputi persiapan fisik dan rohani.
Ketika berusia 55, kala itu saya menyadari bahwa secara fisik semakin menurun dan mengalami gejala munculnya aneka penyakit.
Saya memutuskan untuk mengubah pola hidup dan pola makan. Makanan yang disajikan semakin enak karena posisi sebagai Pastor Paroki di kota. Akibatnya muncullah gejala asam urat, colesterol, hipertensi dan lainnya mendorong saya untuk mengubah pola hidup.
Saya mulai membiasakan diri untuk minum air hangat 600 ml setiap bangun pagi lalu jalan pagi mulai pukul 04.00-05.00. Kebiasaan ini sudah dijalankan sejak tahun 2007 hingga sekarang.
Alhasil, ada perubahan. Segala keluhan darah tinggi dan lainnya dapat diatasi, dengan demikian hidup bisa diperpanjang.
Tahun 2016 saya mengalami gejala prostat tapi berkat pemeriksaan di RKZ saya dibantu dokter untuk pengobatannya walaupun tidak tuntas. Dengan ramuan Cina dan Liber, akhirnya bisa sembuh.
Hingga kini ramuan Liber masih saya konsumsi bahkan bisa menurunkan sakit gula dan kolesterol. Ramuan ini sungguh ajaib. Saya juga mengkonsumsi minyak ikan setiap pagi untuk menjaga stamina. Syukur pada Tuhan bahwa saya bisa menjalani masa ini dalam keadaan sehat walafiat. Itu beberapa persiapan fisiknya.
Sedangkan persiapan rohaninya adalah Doa bersama Bunda Maria. Kebiasaan saya satu jam jalan pagi itu, jalan bersama Maria.
Banyak orang sangat membutuhkan doa kita. Selain itu kesunyian pagi memungkinkan saya menemukan kehadiran Tuhan. Seperti Nabi Yesaya yang menemukan Tuhan dalam angin sepoi.
Mengikuti Gerakan Kharismatik dan aneka lokakarya amat membantu saya secara pribadi menghayati doa dan perayaan secara baru serta memperkaya saya untuk pelayanan kepada umat.
Roh Tuhan selalu hadir secara baru apabila ada keterbukaan dari pihak orang yang terpanggil untuk bekerja sama dengan-Nya.
Teknik penyembuhan prana saya pelajari sejak tahun 1989 hingga memiliki keahlian dalam pelayanan. Teknik ini telah membantu banyak pasien dan tertolong. Inilah penunjang dan penjamin kesibukan di hari tua nanti agar tidak nganggur dan selalu sibuk.
Harapan di Masa Tua
Kalaupun tidak dapat diperlambat, maka yang paling kuinginkan adalah menjadi tua dengan sehat dan mandiri. Tetap sehat di usia tua itu dambaan setiap orang. Bagaimana agar tidak hanya memperpanjang usia, tetapi menghidupkan umur panjang itu” (Bahan dari pendamping kursus di Nemi 2017). Saya akan tetap mau melayani sesuai bakat dan kemampuan yang Tuhan berikan kepada saya.
Sebagai orang yang terpanggil untuk menghayati hidup sebagai imam dan biarawan Serikat Sabda Allah, sambil menatap kembali masa lalu, yakni hari-hari pelayananku, bersama pemazmur saya hanya bisa menyampaikan: “Pujilah Tuhan hai jiwaku, dan janganlah lupakan segala kebaikan-Nya” (Mzm 103:2).
Saya bukan orang yang sempurna. Saya bagaikan bejana tanah liat yang dipakai Tuhan. Saya kadang hancur berantakan, tapi Tuhan yang setia kepadaku mengumpulkan pecahan tanah liat itu dan membentuk saya kembali menjadi bejana yang indah.
Karena itu saya tidak pernah menyombongkan diri dan menganggap diri suci. Saya juga menyadari bahwa dari keterpecahan hidupku, walaupun telah ditata dan diperbaiki lagi oleh Tuhan, saya akan menjadi tangan kasih Tuhan untuk mengerti dan menemani sesamaku yang mengalami keterpecahan dan kehancuran dengan penuh belaskasihan Allah.
Tidak Menyesal jadi Imam
Akhirnya, saya hendak menegaskan bahwa saya tidak pernah menyesal telah menjadi imam Tuhan untuk memberikan diri seutuhnya melayani gereja-Nya sejak 1982 hingga kini dan seterusnya.
Dalam pelayanan saya sebagai imam di mana pun saya selalu memakai tiga pedoman penting yang menjadi perhatian saya.
Pertama, kehadiran saya di satu tempat baru adalah hadir bersama umat dan menghargai segala kebijakan yang sudah dilakukan pendahulu saya. Memberikan penghargaan yang tinggi terhadap umat dan segala kebijakan pendahulu saya.
Di sinilah saya bisa menemukan jiwa semangat dari mantan dan umat untuk bisa bersama mereka membangun bersama di tempat baru ini.
Kedua, rasa memiliki (sense of belonging) terhadap tempat tugas baru, segala yang ada betapapun sederhananya sebagai milik yang harus dijaga dan dipelihara.
Dan ketiga, saya diutus untuk mewartakan kasih Allah kepada sesama. Cinta Allah menjadi tugas utama yang harus dibagikan kepada orang lain.
Akhirnya tiada kata lain dari hatiku terdalam selain syukur kepada Tuhan atas rahmat imamat dan atas segala berkat berlimpah bagi hidupku. Jaga dan sertailah aku dan umat yang saya layani serta semua donatur pendukung karya misiku.
Bersama Arnoldus Janssen saya berdoa: Semoga hati Yesus hidup dalam hati semua manusia. Amin.