Fri. Nov 22nd, 2024

Sang Ibu Meminta Maaf pada Anaknya, Korban Kekerasan Seksual dalam Rumah

Akhirnya perkara perbuatan  kekerasan seksual terhadap Mawar oleh ayah tirinya mulai disidangkan pada 2/8 di Pengadilan Negeri (PN) Bekasi, Jawa Barat. Laporannya sudah masuk ke Polres Bekasi sejak akhir Pebruari 2022 lalu.

Remaja putri berumur sekitar 13 tahun ini dicabuli oleh ayah tirinya sejak tahun 2020 ketika ibunya pergi bekerja sebagai pekerja migran ke Arab Saudi.

Hampir setiap malam  Mawar alami perbuatan cabul dari ayah tirinya dan jika menolak maka dipukuli oleh ayah tirinya.  “Ya bu hakim hampir setiap malam saya alami perbuatan itu oleh ayah tiri. Perbuatan itu saya alami setelah ibu berangkat bekerja ke Arab. Bahkan dua kakak tiri saya pun ikut melakukan hal yang sama kepada saya. Saya adukan pada nenek, ibu ayah tiri dan tidak percaya. Tindakan itu kata nenek sebagai perbuatan sayang kepada saya. Saya cerita pada ibu melalui telepon pun ibu tidak percaya, dan malah memarahi saya. Ketika ibu pada awal Maret pulang ke Jakarta pun tidak percaya pada saya dan justru membela ayah tiri. Bahkan saya dimarahi melaporkan perbuatan cabul ayah tiri ke polisi dan memaksa saya untuk mencabut laporan itu. Akhirnya saya sekarang memilih tinggal di rumah aman Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) karena semua keluarga memusuhi saya karena melaporkan ayah tiri ke polisi’, cerita Mawar kepada majelis hakim yang mengadili perkaranya di PN Bekasi.

Semoga dari ruang sidang ini terbit keadilan.

Anak Luar Biasa

Sebuah perjalanan dan perjuangan luar biasa dari Mawar untuk mendapatkan keadilan bagi dirinya. Hingga Mawar pun memilih berpisah dari ibunya karena sebagai korban dia justru menjadi korban kembali karena tidak percaya kelakuan bejat ayah tirinya. Saya kebetulan berdiri bersebelahan dengan ibunya Mawar saat sidang berlangsung tertutup tapi bisa mendengarkan dari luar ruang sidang. Ibunya Mawar mengenali saya, beberapa kali saling melihat dan menyapa saya.

Saat mendengarkan kesaksian Mawar, saya berkata ke ibunya Mawar, “kasihan Mawar, berjuang sendirian.  Apakah ibu sekarang sudah percaya pada Mawar?”

“Ya sekarang saya sudah percaya pada Mawar”, jawab si ibu kepada saya sambil menangis. Saya melihat ibu Mawar akhirnya duduk jongkok di lantai di samping saya karena tidak tahan mendengarkan kesaksian sedih Mawar yang menjadi korban ayah tirinya.

Ketika sidang selesai dan ditutup oleh hakim, Mawar keluar menghampiri saya. “Mawar ini ibu kamu”, sapa saya menunjuk ke ibunya di samping saya. Awalnya Mawar melewati saja ibunya, tapi setelah beberapa langkah berbalik menghampiri ibunya masih berdiri di samping saya. Selanjutnya ibu dan anak itu berpelukan, menangis bersama cukup lama di lorong ruang pengadilan negeri Bekasi.

“Maafkan ibu ya nak. Ibu sayang kamu dan adik-adik. Ibu bekerja dan berjuang untuk Mawar dan adik-adik. Maaf kan ibu ya Mawar”, saya mendengar ibunya meminta maaf pada anaknya.

Setelah itu Mawar berpamitan dengan ibunya dan  berjalan bersama saya beserta pendamping dari LPSK keluar dari PN Bekasi. Mulai sidang hingga saya berpisah dengan Mawar, hati saya pun terbawa pada kesedihan juga pengakuan Mawar pada ibu ketua majelis hakim di ruang sidang tadi.

Mawar adalah anak korban yang hebat saya dampingi seperti anak-anak korban kekerasan seksual lain yang pernah saya dampingi.  Semua anak-anak yang menjadi korban sungguh hebat dan hebat, berani menceritakan kembali di ruang sidang, ruang jaksa dan ruang pemeriksaan polisi pengalaman keji yang mereka alami.

Bahkan mereka harus menjawab pertanyaan yang sebenarnya justru mempermalukan mereka sendiri sebagai korban. Pertanyaan tentang kejadian yang diulang-ulang  sebagai akibat aparat penegak hukum yang tidak memiliki perspektif korban dan perspektif anak.

Berpihak pada Korban

Saya mendapatkan  banyak pembelajaran dari para anak yang menjadi korban kekerasan seksual yang saya dampingi. Ya saya belajar sabar dan berani berpihak pada korban dari pengalaman menemani anak-anak korban kekerasan seksual.

Butuh kekuatan dan  keberanian bagi korban yang mau melaporkan kejadian buruk yang menghancurkan hidup mereka. Tetapi keberanian anak-anak yang menjadi korban ini sering kali belum mendapatkan penghargaan adil dari para penegak hukum.

Tidak jarang korban yang melapor justru dianiaya kembali selama proses hukum yang dijalani anak-anak korban kekerasan seksual. Bahkan seringkali penegak hukum menjatuhkan hukuman sangat ringan karena memang undang-undang yang mengatur tidak memiliki nilai keberpihakan pada hak anak.

Hukuman maksimal dalam UU Perlindungan Anak bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak hanya selama 15 tahun atau 20 tahun.

Hampir tidak ada hukuman berat hingga seumur hidup kepada pelaku kekerasan seksual terhadap anak di Indonesia.  Situasi ini menandakan bahwa negara belum dan sistem hukum belum berpihak pada hak anak. Akibat kekerasan seksual yang dialami maka si anak akan alami trauma serta kehancuran  seumur hidup.

Sementara pelakunya hanya dihukum ringan dan negara lebih memikirkan kepentingan pelaku bukan korban.  Ada baiknya negara mengubah dan membangun ulang sistem hukum perlindungan anak dan memberi hukuman sangat berat kepada pelaku kekerasan seksual terhadap anak.

Sistem hukum harus memfasilitasi perlindungan pada anak korban yang melaporkan kejadian kekerasan seksual, perbuatan cabul dan pelecehan seksual pada negara. Begitu pula hukuman berat harus diberikan kepada para pelakunya agar bisa dijadikan pembelajaran pada masyarakat dan memutus rantai kejahatan kekerasan seksual.

Azas Tigor Nainggolan, Advokat, Kuasa Hukum Korban.

Related Post