Oleh Pater Kimy Ndelo, CSsR
S uatu sore di Pastoran Pasar Minggu, di tahun 2003, persisnya kapan saya lupa. Saat itu saya baru habis mandi. Saya keluar dari kamar. Saat saya sedang minum kopi, Romo Hadi keluar dari kamarnya dan menyapa saya.
“Romo Kimy ada acara nggak malam ini?”. Saya jawab: “Ngga ada Romo”, sambil tersenyum penasaran. Dengan senyumannya yang khas Romo Hadi bilang, “Wah, pas banget nih. Romo Kimy, saya dapat voucher makan di restoran Jepang. Kalau Romo berkenan, yuk kita makan bareng”, lanjutnya sambil tertawa. Dengan ceria saya langsung menjawab, “Ayuk Romo, saya mau”.
“Tapi kita perlu ajak teman juga ya?”, katanya. “Boleh Romo, biar lebih rame”, jawab saya. Romo Hadi lalu pergi ke meja dan menelpon seseorang. “Pak A yang baik” (seperti biasa kalau bercanda dengan seseorang yang dia kenal baik), “boleh nggak saya mengajak dua putrimu yang cantik, S dan L, untuk makan malam bersama saya dan Romo Kimy? Kami ingin makan di restoran Jepang daerah Kebayoran Baru.” Jawaban dari seberang segera mengiyakan. Romo Hadi masuk ke kamar dan bersiap-siap. Pakaiannya santai saja.
Sekitar jam 6 sore kami berdua naik mobil menjemput dua putri cantik yang pastinya berdandan rapi dengan wangi parfum yang aduhai. Saya juga tak lupa memakai sepatu. Namanya makan malam di restoran Jepang. Biar keren sedikit, pikir saya.
Setelah bercanda sebentar dengan Pak A dan ibu di rumah, kami berangkatlah menuju Kebayoran Baru. Kami bertiga juga masih penasaran restoran Jepang mana yang dimaksud Romo Hadi. Tiap ditanya persisnya dimana, Romo Hadi menjawab, “Tenang saja. Pasti senang deh”. Sepanjang jalan kami ngobrol sambil tertawa.
Masuk daerah Kebayoran Baru kami lirik sana sini mencaritahu dimana kira-kira restorannya. Kami berputar-putar seolah-olah Romo Hadi lupa alamatnya. “Tenang saja, kita pasti akan tiba”, katanya. “Makanannya enak sekali”, katanya lagi mulai promosi. Agak lama juga kami putar-putar.mencari. Kami makin penasaran dan membayangkan restoran yang bersih, modern dan pasti mahal.
Tiba-tiba mobil berhenti tepat di samping sebuah warung tenda! Di tendanya tertulis: “Kayake Japanese Food Restaurant”. Kami semua kaget. Ini to yang dimaksud. Romo Hadi dengan tenangnya mematikan mobil dan berkata: “Kita sudah sampai. Yuk kita turun”.
Kami saling menatap nyaris tak percaya. Terlebih kedua gadis dengan penampilan prima. Makan di warung tenda seperti ini? Romo Hadi dengan gayanya yang cuek dan santai masuk ke bawah tenda dan memesan makanan. Kedua gadis itu terlihat masih “shock” karena tak membayangkan datang ke tempat ini dengan pakaian agak resmi. Saya senyum-senyum saja karena sudah mengenal bagaimana “usil”nya Romo Hadi.
Kami tetap berusaha menikmati makanan seafood yang lumayan enak walau tempatnya sederhana dan bukan ini yang dibayangkan. Sambil makan sesekali kami tertawa karena merasa lucu dengan peristiwa ini.
Keusilan Romo Hadi tak berhenti disini. Seusai makan, dia pura-pura mencari dompetnya. “Aduh, saya lupa bawa uang. Nih, dompet saya kosong”, katanya sambil menunjukkan dompetnya. Spontan kedua gadis kakak beradik ini berebutan membayar makanan kami.
Sampai di mobil, Romo Hadi dan saya tertawa terbahak-bahak, membayangkan bagaimana kedua gadis ini merasa serba salah. Pulanglah kami dengan cerita yang tak habis-habisnya tentang pengalaman makan di “restoran ala Jepang”.
Istilah “prank” belum terkenal saat itu, tapi Romo Hadi sudah mempraktekkannya. Dan kami bertiga adalah “korbannya”. Duh, Romo Hadi yang unik!
Itulah sekelumit pengalaman menarik hidup bersama Romo Hadi di Paroki Pasar Minggu Jakarta selama lebih dari 2 tahun, 2001-2004.Terlalu banyak kisah menarik bersama Romo Hadi. Beliau adalah pribadi yang unik tapi kaya dengan berbagai kebaikan manusiawi. Sulit menggambarkan nya dari satu sudut pandang.
Beliau pribadi yang sangat terbuka tetapi sekaligus menyimpan banyak kejutan, kalau tidak mau dikatakan misteri. Beliau bisa menjadi sahabat sekaligus guru. Beliau bisa menjadi bapak sekaligus rekan kerja yang menyenangkan.
Ketika pertama kali beliau tiba di Pasar Minggu sebagai Pastor Paroki, beliau mengajak saya duduk bersama. Kalimat pertama yang diucapkannya adalah ini:
“Romo Kimy, disini tidak ada Pastor Kepala dan Pastor Pembantu. Kita adalah partner. Apa yang Romo Kimy anggap baik, saya juga anggap itu baik”. Ucapan ini memang secara konsisten dipraktekkannya. Kami benar-benar bisa hidup dan bekerja melayani umat sebagai partner walau dari segi usia, pengetahuan dan pengalaman, beliau jauh di atas saya.
Beliau sangat “njawani” dengan kelembutan dan kehalusan bersikap dan bertutur kata, tapi bisa bergaul begitu mudah dengan orang-orang yang punya karakter berbeda-beda. Beliau nampak lemah tapi di balik itu ada keteguhan prinsip yang sulit digoyang sekalipun menghadapi “badai”. Perjalanan sejarah THS-THM dengan berbagai gejolak seiring dengan perjalanan hidup dan panggilannya yang “up and down” ada bukti keteguhannya.
Beliau pula yang, setahu saya di tahun 2002, pertama kali mencetuskan ide “umat Jakarta harus mengunjungi Pulau Sumba”. Dengan itu empat orang tokoh umat dari Pasar Minggu berkunjung ke Sumba. Gereja Paroki Sang Penebus Wara, Waingapu yang berdiri megah saat ini, adalah buktinya.
Sejak saat itu secara berkesinambungan banyak umat Katolik Jakarta berkunjung ke Sumba dan kami para Pastor Redemptoris di Sumba mengenal banyak umat Katolik di Jakarta. Dan efeknya sungguh luar biasa bagi karya Gereja di Pulau Sumba.
Senin sore beliau sudah dipanggil Tuhan. Perjalanannya dan pencariannya di dunia ini telah selesai. Selamat jalan Romo Hadi yang baik, seorang sahabat dan kakak yang istimewa. Doakan kami. Suatu saat kita bisa bertemu lagi. RIP.
Salam dari Sumba “tanpa wa”