Sat. Nov 23rd, 2024

Oleh Mudji Sutrisno SJ, Guru Besar STF Driyarkara, Dosen Pascasarjana UI, Dosen Pascasarjana ISI Solo, Budayawan

Kata adalah pengucapan pikiran. Kalau pikiran jernih dan teratur maka kata yang diucap juga akan terang dan jernih.

Bila pikiran kacau maka kata yang keluar juga campur aduk. Itulah sebabnya kata-kata orang gila (tidak waras “pikiran”) dipandang tidak bermakna dan tidak usah didengarkan. Itulah sebabnya kata-kata ngawur pemabuk, bernasib sama lantaran dipandang bersumber pada pikiran yang sedang kacau.

Itu pula sebabnya, kata-kata orang yang sedang terbakar emosi marah dipandang tidak mewakili pikirannya lantaran yang terucap adalah luapan emosi yang tidak “diatur jernih” oleh pikiran. Pokok-pokok ini hanya mau menegaskan, betapa dekat dan satunya antara kata dan pikiran.

Tetapi “kata” yang dalam peradaban manusia berkembang menjadi bahasa tidak hidup dalam udara kosong (atau vakum). Ia adalah hasil konsensus peradaban. Ia adalah buah pendidikan peradaban lewat konvensi-konvensi dan kesepakatan untuk berkomunikasi secara sadar dengan memilih simbol-simbol huruf, abjad.

Bila proses ini dihayati dalam roh kebudayaan maka terjadilah proses penamaan dunia, proses penamaan jagad atau lingkup hidup. Dengan memberi nama, lalu disadarilah kenyataan. Dengan menamai dibuatlah proses “pembebasan” realitas dari anonimitas dan ketidaktahuan. Dan ketika proses menamai terus menerus dalam komunikasi antar manusia, maka kata lalu tampil sebagai ….. menunjuk si subyek yang khas mengalami diri dan menyadari sebagai “aku” manakala ia sadar akan keunikannya berhadapan dengan “engkau-engkau yang kain”.

Engkau yang lain bisa berupa alam, lalu membuahkan kesadaran si aku yang berhadapan dengan semesta. Engkau yang lain bisa berupa sesama manusia yang membuahkan kesadaran diri akan adanya “aku yang lain”. Dan engkau yang lain bisa disadari sebagai Yang Agung, yang menjadi Sumber Hidup, yang pada-Nya sebagai AKU huruf besar merupakan pencipta dari aku huruf kecil.

Kebudayaan Diam

Tetapi si aku yang sadar diri berhadapan dengan alam sesama dan Yang Ilahi itu bisa juga terhambat penyadaran dirinya karena dilarang mengekspresi diri sebagai aku. Inilah kebudayaan “diam”, di mana ada banyak aku yang “memilih” diam karena terdapat dominasi yang menetapkan hanya aku atau kelompok aku-aku yang berkuasa sajalah yang berhak menamai jagad hidup bersama ini. Bila ada monopoli penamaan jagad hidup bersama, maka terjadi pelarangan pada kelompok lain yang mau dan sesunguhnya berhak pula menamai dunia.

Yang terjadi lalu dominasi kata yang hanya boleh dipakai oleh yang merasa berhak atas kata itu, sehingga kelompok lain harus diam dan tidak punya hak mengatakan siapa aku-nya. Inilah situasi monopoli “kata”.

Lalu yang muncul adalah bahasa-bahasa diam, bahasa-bahasa bisu, bahasa-bahasa protes, bahasa reaksi yang karena tidak bisa memakai bahasa yang sudah dimonopoli, lalu dipilih bahasa-bahasa mistik yang bergabung sebagai suara alternatif lirik ditengah-tengah bahasa dominan materialis, hedonis dan penyanjung “nikmati hari ini dan dunia ini”.

Inilah bahasa warna dan kanvas lukisan-lukisan surealis yang bereaksi atas dominasi nilai kata yang menggemborkan bahwa hanya yang realis nyata sajalah yang benar dan berhak hidup. Bahaya surealis justru mau keluar dari dominasi ini dengan menegaskan betapa kaya imaji dan kreasi pusat batin manusia hingga menjadi “aspek” dan layu-lah apabila dipaksa-paksa berbaju hanya dengan nilai realis.

Ini pulalah bahasa simbolis yang mau menegaskan keterbatasan bentukbentuk kaku formal atau kering kerontang bahasa-bahasa slogan pidato.

Dari paparan di atas bisa ditarik satu simpul pokok yaitu: kata adalah ucapan pikiran. Kata adalah ucapan penamaan jagad hidup. Atau dalam konteks peradaban bahasa adalah ucapan pikiran, kehendak, pemahaman makna dari masyarakat yang memakainya.

Bila terjadi dominasi pemakaian kata, maka muncullah “bahasa-bahasa” alternative yang bisa menjadi indikasi bagi kita mengenai dominasi macam apakah yang tengah berlangsung dalam masyarakat tersebut. Simpul yang kedua, yang bisa ditarik adalah bahwa “bahasa” atau corong ucapan pikiran itu melontar keluar dalam komunikasi lewat manusia-manusianya (kongkret lewat mulut, bahasa, tulisan). Dalam konteks atau kerangka ini, meskipun “bahasa” bisa dimonopoli atau didominasi/dijajah tetapi pikiran tetap bebas merdeka.

Buktinya, pikiran itu “mampu” menemukan bahasa-bahasa baru (yang tida sama bentuknya dengan bahasa yang sedang jadi monopoli). Buktinya lagi, pikiran-pikiran bebas merdeka ini tetap mampu memakai “bahasabahasa diam”, bahasa alternative dengan caranya sendiri.

Terus hidup

Secara sederhana bisa kita katakan (dari 2 simpul ini): kita bisa saja membungkam mulut atau corong yang mengucap atau membahasakan kejujuran nurani dengan membunuh penyuarapenyuara itu.

Akan tetapi “nurani” itu sendiri tidak bisa dibunuh. Ia akan terus hidup dan selalu mencari alat-alat ucap baru, nahasa baru bila penyuara yang satu dibunuh atau corong yang satu dimatikan. Kejujuran dan kebenaran itu sendiri tidak bisa dibunuh, ia hidup terus dalam peradaban umat manusia.

Butir inilah yang mampu menjelaskan secara jernih pada kita mengapa pejuang-pejuang atau corong kemerdekaan manusia dengan hak martabatnya seperti Martin Luther King, Mahatma Gandhi bisa dibunuh tetapi suara kemerdekaan itu sendiri tetap bergemuruh sampai hari ini.

Bila demikian, bukankah kita mesti peka di satu pihak, untuk bertanya dan membaca indikasi apa, pertanda apa kalau “tumbuh cendawan-cendawan bahasa-bahasa alternatif, bahasa protes yang “diam” atau yang emosional kencang?”. Jangan-jangan ada dominasi bahasa formal.

Di lain pihak, tidak-kah lebih baik, mendialogkan bahasa-bahasa pikiran yang ada dalam kemajemukan masyarakat kita, lantaran kita tidak mungkin membunuhnya. Barangkali inilah salah satu mutiara penjernihan makna “keterbukaan” dalam berkata dan berbahasa.*

Related Post