Oleh Pater Kimy Ndelo, CSsR, Provinsial Redemptoris
Madonna, seorang penyanyi dan artis terkenal Hollywood. Dia juga dikenal sebagai “Material Girl”.
Dalam sebuah wawancara dengan Oprah Winfrey, pada tahun 2004, dia berkata, “Sekarang saya bukan lagi ‘Material Girl’. Dalam banyak tahun yang lewat saya berpikir bahwa popularitas, kemakmuran dan pengakuan umum, akan memberi saya kebahagiaan. Tetapi suatu hari engkau akan terbangun dan sadar bahwa ternyata tidak demikian”.
Perasaan keibuan (motherhood) adalah hal terakhir yang menginspirasi penyanyi ini untuk mencari sesuatu yang lebih berarti dalam hidup.
Katanya lagi, “Titik balik penting itu adalah ketika saya menjadi seorang ibu. Saya ingin mengetahui apa yang ingin saya ajarkan kepada putri saya dan saya tidak tahu di mana saya harus berpijak. Saya ingin tahu arti kebahagiaan yang sesungguhnya dan bagaimana saya menemukannya”.
“Anak Manusia datang untuk mencari dan menyelamatkan yang hilang” (Luk 19:10).
Setiap orang mempunyai saat-saat khusus yang amat menentukan kehidupan selanjutnya. Saat yang bisa mengarahkan sejarah hidup.
Momen itu biasanya datang tak terduga, tak direncanakan bahkan kadang tak diharapkan. Momen itu bisa sebagai point of return, (titik balik), bisa juga sebagai peak moment (titik puncak).
Momen semacam inilah yang dialami oleh Zakheus, kepala pemungut cukai di Yeriko. Pada masa itu Yeriko adalah kota yang makmur dan banyak penduduknya kaya.
Menjadi kepala kantor pajak swasta, yang merupakan kaki tangan orang Romawi, Zakheus pasti sangat kaya. Tapi sekaligus sangat dibenci sesama bangsanya.
Niat awalnya sederhana: melihat Yesus. Seorang pribadi yang sedang jadi buah bibir seantero Palestina dan sekarang melewati Yeriko dalam rangka perjalanan ke Yerusalem.
Mungkin juga dia tahu bahwa koleganya Mateus yang biasa dipanggil Lewi sudah terpesona dan mengikuti Yesus. Seperti apakah pribadi ini?
Rasa penasaran membawanya ke atas pohon ara. Tanpa diduga, ketika lewat di bawah pohon, Yesus justru menyapanya, bahkan ingin masuk ke rumah Zakheus.
Faktanya, Yesus adalah tamu tak diundang. Namun, Yesus justru berlaku seolah-olah dia tuan rumah dan Zakheus adalah tamunya. Dan memang demikian adanya.
Saat itu Yesus adalah tuan rumah kerahiman Allah, yang mengajak dan menerima orang berdosa seperti Zakheus untuk menikmati kemurahan Allah.
Yang membuat Zakheus bertobat secepat itu adalah masuknya Yesus dan bertamu dalam rumahnya.
Ini berarti bahwa Yesus, sebagai tokoh yang sangat populer dan dipuja saat itu, mengembalikan martabat dan kelayakannya sebagai pribadi yang telah lama hilang. Yesus memberi dia kembali hidup yang baru.
Zakheus tidak dianggap anak tiri Abraham walau dia menjadi calo bangsa asing, Romawi.
Zakheus tidak disingkirkan oleh Yesus walau sering dicibir kaumnya karena pekerjaannya.
Bagi Yesus, Zakheus mempunyai hak yang sama untuk sebuah masa depan yang lebih baik.
Tanpa kata-kata marah, tanpa nasihat, apalagi paksaan untuk bertobat.
Kehadiran Yesus sudah lebih dari cukup bagi Zakheus untuk mengambil keputusan penting dalam hidupnya.
Zakheus tidak sekadar berhenti berbuat dosa. Zakheus melangkah lebih jauh dari itu: berbagi dengan mereka yang kurang beruntung dan yang pernah dirugikan. Inilah titik balik sekaligus titik start Zakheus.
Momen semacam ini bisa saja datang pada siapa saja sejauh kita rindu berjumpa dan menerima undangannya untuk pertobatan karena kita juga anak Abraham.
Tak seorang pun bisa dikecualikan dari kemungkinan pertobatan karena kemurahan hati Allah mampu menjangkau setiap orang.
Salam dari Biara Novena Maria Bunda Selalu Menolong, Kalembu Nga’a Bongga (KNB), Weetebula, Sumba “tanpa wa”, NTT.