Oleh Pater Kimy Ndelo, CSsR, Provinsial Redemptoris
Dalam salah satu waktu senggangnya, Benjamin Franklin (salah satu Bapak Pendiri Amerika Serikat yang paling penting), menulis batu nisan sendiri.
Tampaknya dia dipengaruhi oleh ajaran Paulus tentang kebangkitan tubuh.
Inilah yang dia tulis: “Tubuh B. Franklin, bekas pencetak terletak di sini, makanan untuk cacing, seperti sampul buku tua: isinya telah disobek, dan huruf-huruf serta lapisan kulitnya terkelupas. Tetapi karya itu tidak akan hilang seluruhnya: karena, seperti yang ia yakini, akan muncul sekali lagi dalam edisi baru dan lebih sempurna, dikoreksi dan diubah oleh Pengarangnya.”
Bagi orang Kristen, tidak ada keraguan sedikit pun terhadap iman akan kebangkitan. Itu jelas.
Hal ini tidak demikian bagi orang Yahudi. Konsep dan kepercayaan akan Penghakiman Ilahi dengan hadiah atau hukuman bagi tiap pribadi setelah kematian, tidak begitu jelas dalam tulisan-tulisan Yahudi. Kebangkitan orang mati lalu menjadi sumber perbedaan dan perdebatan.
Orang Saduki tidak percaya kebangkitan. Mereka menganggap konsep kebangkitan tidak pernah diucapkan oleh Musa. Juga tidak secara eksplisit ditulis dalam kitab Taurat dan para Nabi.
Mereka sangat percaya akan konsep kehendak bebas, bukan pada takdir atau Penyelenggaraan Ilahi.
Konsep ini mirip dengan yang dihidupi dunia modern dengan sekularisme.
Sebaliknya, orang Farisi percaya akan kebangkitan orang mati. Betul bahwa kitab Taurat tidak menulis tentang hal ini. Tapi gambaran konsep ini bisa ditemukan dalam beberapa kitab, misalnya Ayub 19:25-26 atau Mazmur 16:10 dan 49:15.
Konsep kebangkitan orang mati baru menjadi makin jelas dalam kitab Deuterokanonika, yakni kitab Makabe.
Kitab ini ditulis pada abad kedua sebelum Kristus. 1 Makabe ditulis dalam bahasa Ibrani oleh seorang Yahudi Palestina. 2 Makabe ditulis dalam bahasa Yunani oleh seorang Farisi di Alexandria, Mesir.
Penganiayaan yang mereka alami dari pihak penjajah Yunani menghidupkan harapan akan kebangkitan bagi mereka yang mati demi membela imannya.
Konsep kebangkitan yang Yesus yakini berdasarkan kisah panggilan Musa. Di situ Yahwe menyebut diri-Nya: Akulah Allah ayahmu, Allah Abraham, Allah Ishak dan Allah Yakub” (Kel 3:6). Dalam bahasa Inggris, terjemahan dari bahasa Ibrani: “I AM the God of your father”. Di sini Allah menggunakan present tense atau waktu sekarang.
Artinya, ketika Allah berbicara diandaikan bahwa Abraham, Ishak dan Yakub masih hidup.
Mereka hidup walau sudah mati 600 tahun yang lalu. Hidup mereka itu hanya mungkin jika ada kebangkitan.
“Ia bukan Allah orang mati, melainkan Allah orang hidup, sebab di hadapan Dia semua orang hidup.” (Luk 20:38).
Yesus juga menjelaskan bahwa kehidupan sesudah kematian bukan sekadar pengulangan hidup di dunia. Hal-hal akan berbeda setelah kematian kita.
Relasi manusiawi, termasuk perkawinan akan ditransformasikan.
Ini bukan lagi sekadar relasi fisik dan emosional melainkan sebuah relasi spritual yang kenikmatannya melampaui semua jenis relasi semasa hidup.
“Jika Yesus bangkit dari kematian, maka Anda harus menerima semua yang Dia katakan. Jika Dia tidak bangkit dari kematian, lalu mengapa khawatir tentang apa pun yang Dia katakan? Masalah di mana segala sesuatu tergantung bukan soal apakah Anda menyukai ajaran-Nya atau tidak, tetapi apakah Dia bangkit dari kematian atau tidak (Timothy Keller).
Salam hangat dari Biara Novena MBSM, Kalembu Nga’a Bongga (KNB), Weetebula, Sumba “tanpa wa”.