Oleh Pater Kimy Ndelo, CSsR, Provinsial Redemptoris
“Kami menyatakan kematian-Mu, O Tuhan, mewartakan kebangkitan-Mu, hingga Engkau datang lagi”.
I ni adalah anamnese, yang diucapkan atau dinyanyikan di tengah Doa Syukur Agung dalam perayaan Ekaristi.
Anamnese dari bahasa Yunani berarti “mengenangkan”.
Yang dikenangkan di sini adalah Kematian, Kebangkitan dan Kenaikan Yesus ke Surga. Inilah tiga pondasi utama iman kristiani.
Kenangan ini juga merupakan perwujudan dari pesan Yesus kepada murid-muridNya: “Perbuatlah ini menjadi peringatan akan Daku”. (Luk 22:19).
Yesus menghendaki agar apa yang pernah dibuat dan dikatakan-Nya selalu dihidupkan kembali melalui tindakan iman, dalam liturgi dan dalam hidup harian.
Kenangan ini bukan sekadar sebuah tindakan pasif atau ingatan sesaat, melainkan sebuah tindakan nyata, yang memberi pengaruh langsung bagi tiap pribadi.
Mereka yang percaya pada kematian dan kebangkitan Kristus akan menghadapi kematiannya sendiri dengan penuh ketenangan karena ada harapan akan kebangkitan seperti Kristus.
Mereka yang menderita dalam Kristus akan menjalani penderitaannya sebagai keikutsertaan dalam penderitaan Kristus pula.
Kenangan ini bukan hanya membawa kita jauh ke belakang melainkan juga menuntun kita jauh ke depan karena Yesus ingin agar semua murid-Nya tidak disesatkan oleh macam-macam tanda hingga Ia datang.
Kedatangannya sulit diprediksi tetapi akan ada tanda-tanda yang mengawalinya: “Waspadalah supaya jangan kamu disesatkan” (Luk 21:8).
Kedatangan-Nya yang kedua akan menjadi kunci penentuan akhir zaman, sekaligus saat penghakiman semua umat manusia.
Tidak ada kisah hidup yang terpisah dari Kristus walau jalan hidup mungkin tak selalu mirip dengan Kristus.
Tak ada pengalaman yang benar-benar di luar jangkauan Kristus selama Dia tetap menjadi jalan, kebenaran dan hidup kita.
Tak ada seorang pun yang sungguh terasing dengan Kristus selama kita tetap menjadi murid Kristus.
Ketika Nazi Jerman menduduki Polandia pada tahun 1939, mereka dengan segera menekan Gereja Katolik.
Dalam beberapa tahun mereka membunuh sepertiga dari Imam-imam Katolik dan menutup sekolah-sekolah Katolik.
Seorang awam Katolik, Jan Tyranowski, memutuskan untuk melakukan sesuatu. Dia mulai membangun sebuah kelompok rahasia yang disebut Rosario Hidup.
Tujuannya untuk mengajarkan iman kristiani kepada umat. Dia menghadapi banyak tantangan bahkan risiko pembunuhan seandainya ketahuan.
Dalam perjalanan waktu, 10 orang yang rajin mengikuti kursus rahasia ini menjadi Imam. Satu di antaranya adalah Karol Wojtyla yang kelak menjadi Paus Yohanes Paulus II, lalu menjadi Santo, yang telah menginspirasi perjalanan sejarah dunia.
Bayangkan seandainya Jan Tyranowski menyerah! Bayangkan seandainya tidak pernah ada Paus Yohanea Paulus II. Dunia mungkin tidak akan pernah seperti ini.
Apa yang terjadi dengan Jan Tyranowski dan Paus Yohanes Paulus II adalah buah dari sebuah kenangan akan Kristus yang selalu dihidupkan.
Dari sini kita melihat menuju kemuliaan lebih sering ditempuh melalui ketekunan hari demi hari ketimbang sebuah tindakan heroik sesaat yang sifatnya pribadi.
Salam hangat dari Asrama Pewarta Injil Padadita, Waingapu Sumba “tanpa wa”.