Pater Kimy Ndelo, CSsR, Provinsial Redemptoris
Tanggal 1 Januari 2017 saya berdiri di atas gunung Nebo. Dari satu titik, kita bisa memandang jauh ke depan, dengan jangkauan lebih dari 100 km. Sebuah pemandangan yang menakjubkan.
Kita tahu sejarah Gunung Nebo dari kisah Perjanjian Lama, khususnya Kitab Keluaran.
Kisah selanjutnya tentang Gunung Nebo ditulis oleh seorang wanita peziarah bernama Aetheria.
Aetheria senang menulis kisah ziarahnya di tanah suci. Tulisannya dikenal dengan judul Peregrinatio Aetheriae.
Pada ziarahnya tahun 393-394 untuk pertama kali disebutkan bahwa di puncak Gunung Nebo sudah ada Gereja.
Gereja itu dibangun sebagai kenangan akan Nabi Musa.
Paus Benediktus XVI terakhir berkunjung ke Gunung Nebo pada tahun 2009.
Gunung Nebo masa kini terletak di wilayah negara Jordania. Di situ ada warisan sejarah iman yang sangat panjang; sejak zaman Perjanjian Lama sampai masa kini.
Gunung Nebo mencapai puncak keemasan pada zaman gereja Bizantium, abad ke-4 sampai abad ke-7.
Pada zaman kekuasaan Islam semua hancur. Warisan yang masih tersisa adalah bekas biara dan gereja zaman Bizantium.
Lantai dengan mozaik yang sangat indah masih terlihat jelas.
Musa dan bangsa Israel menciptakan sejarah di gunung ini.
Dari puncak gunung Nebo Allah memperlihatkan kepada Musa “Tanah Terjanji” dan wilayah sekitarnya.
Dari situ bahkan pada hari cerah Yerusalem bisa terlihat. Dari tempat itu Musa memandang masa depan sekaligus merenung masa lalu.
Masa perjalanan yang panjang, 40 tahun kisah exodus dari Mesir, tergambar sekaligus seperti alur film yang diputar di hadapannya.
Pada saat yang sama, masa depan terbentang jauh di depannya.
Hamparan bukit dan gurun pasir, sekaligus tanah subur lembah Danau Galilea terlihat jelas dari tempatnya berdiri.
Sebuah masa depan yang cerah tapi masih butuh perjuangan panjang untuk mewujudkannya.
Musa berdiri pada persilangan titik masa lalu sekaligus masa depan.
Di situ nasibnya ditentukan. Dari mata manusia nampak tragis. Dia mati tanpa memasuki tanah terjanji.
Tapi di mata Allah, itulah yang terbaik untuk dia dan bangsa Israel.
Pada peralihan tahun 2022 ke 2023 kita bagaikan Musa yang berdiri gunung Nebo.
Kita menengok ke belakang, melihat sejauh mana jejak kita melangkah, tapi kita juga menatap ke depan untuk sebuah mimpi dan harapan.
Musa mempunyai suratan nasib berhenti di titik itu. Tapi bangsa Israel terus melangkah.
Kita juga bagaikan bangsa Israel. Kita terus melangkah walau dalam rasa kehilangan dan kecemasan. Karena hanya takdir yang bisa menghentikan langkah kita.
Jika kita tidak mampu menjadi Musa yang menulis buku sejarah yang hebat, cukuplah jadi Aetheria yang menulis sepucuk surat tapi dikenang untuk waktu yang sangat lama.
Maria Bunda Allah dan Bunda Gereja adalah adalah ibu sekaligus teman seperjalanan kita untuk sampai ke “Tanah Terjanji”, tempat Yesus menantikan kita. Karena hanya dialah yang paling tahu jalan kepada Putranya.
Ambil Keputusan
Seorang anak bercerita tentang tiga ekor kodok yang berada di tepi sungai. Yang seekor mengambil keputusan untuk melompat ke dalam air.
Dia bertanya, “Berapa ekor kodok yang masih tinggal di tepi sungai?”
Temannya menjawab, “Sisa dua ekor”. “Salah”, katanya.
Yang seorang lagi menjawab, “Tidak ada lagi yang tersisa. Karena ketika yang satu melompat, yang lain pun ikut melompat”.
“Salah juga”, katanya. Kedua temannya bingung mana yang benar.
“Yang tersisa tetap tiga ekor. Karena yang satu baru mengambil keputusan tapi belum melompat”, jawabnya sambil tersenyum.
Dalam hidup kita sering mengambil keputusan. Tapi setelah satu tahun tidak terjadi apa-apa, karena tidak berani memulai suatu tindakan.
Butuh keputusan di awal tahun, tapi selanjutnya adalah tindakan. Tanpa tindakan, semua keputusan akan sia-sia.
Salam Tahun Baru dari Biara Novena MBSM, Kalembu Nga’a Bongga (KNB), Weetebula Sumba “tanpa wa”