Emanuel Dapa Loka, Wartawan dan penulis biografi
Hingga tahun 2023 ini, terhitung sejak tahun 2004, 18 tahun sudah Andre Graff (56 tahun) “menjadi” orang Indonesia, khususnya orang Sumba.
Bahkan dalam batas-batas tertentu yang penuh dengan pesan kemanusiaan, Andre jauh lebih Indonesia atau Sumba daripada banyak orang Indonesia atau orang Sumba.
Mengapa? Karena Andre dengan seluruh diri dan hatinya, datang jauh-jauh dari Prancis untuk menjadi abdi bagi orang-orang jelata di banyak kampung di Pulau Sumba, NTT.
Dia yang hidupnya sudah nyaman dengan tingkat ekonomi yang mapan, rela meninggalkan semuanya, lalu menjelata dan menyenasib di antara orang-orang kampung.
Ya, dia rela menjadi tukang gali sumur untuk masyarakat yang selama beratus-ratus tahun hidup tanpa kecukupan air. Ia bekerja tanpa pamrih. Satu-satunya “Pamrih” Andre adalah kehidupan sesamanya yang lebih baik.
Selama 18 tahun tersebut, berkat bantuan berbagai pihak, Andre berhasil menggali dan membangun 42 buah sumur. Menariknya, cukup banyak masyarakat yang kemudian secara insiatif pribadi ikut menggali sumur. Itu karena mereka melihat contoh.
Dari 42 sumur tersebut, 10 dia aktifkan menggunakan solarsel atau energi matahari dan pompa air bantuan perusahaan Shimizu.
Tentu saja 10 sumur ini merupakan sumur dengan sumber air yang besar. Air inilah yang ditarik ke penampung di kampung-kampung yang terletak di ketinggian. Air ini kemudian disalurkan ke rumah-rumah di bawah kampung.
Dengan air ini masyarakat memenuhi kebutuhan air minum. Dengan air ini juga mereka dengan leluasa bisa mandi, mencuci, memelihara ternak, menanam sayur, dan sebagainya.
Pandangan Pertama
18 tahun lalu dalam kedatangannya sebagai seorang turis, Andre menebar pandangan di Lamboya, Sumba Barat. Yang dilihatnya adalah bukit-bukit kapur.
Ada juga payau di dataran rendah yang ternyata kotor dan bau sebab menjadi tempat “perjumpaan” manusia, kerbau, babi, dan semua jenis binatang.
Boleh dikatakan, payau ini menjadikan “kamar mandi dan jamban” bersama untuk semua makhluk.
Tragisnya, untuk mendapatkan air semacam itu saja dari payau tersebut, ibu-ibu dan anak-anak harus naik turun bukit melewati jalan terjal zig-zag berbatu lepas dan tajam.
Air yang bisa dibawa pulang pun hanya sebanyak 10 atau 15 liter dalam setiap perjalanan.
Wadah yang digunakan adalah ember atau mangkuk gerabah atau priuk tanah yang diletakkan di kepala dengan bantuan alas melingkar bulat di kepala, terbuat dari jerami atau dedaunan.
“Ketika saya pergi untuk basuh diri di tepi sungai kecil, saya sering mendaki jalan yang curam ini dan mengalami betapa melelahkan menempuhnya meski saya tidak membawa barang bawaan!” ujar Andre kepada tempusdei.id.
Suatu hari saat malam tiba, ide Andre untuk membantu Niga, pengurus rumah tempat dia tinggal mulai muncul. Niga ini salah satu dari anggota masyarakat yang mengalami kekurangan air tersebut.
“Putri-putri dari Niga, para tetangganya dan Peda tua (Ina Peda) yang selalu tersenyum memperlihatkan gusinya yang ompong menghantui malam-malam sulit tidurku,” ujar Andre berkisah.
Kata Andre, sang mantan pilot dan instruktur balon panas di Prancis ini, tidak ada AC di tempat itu. Bahkan tidak ada Kasur.
Untuk mengalas lantai dari batang kayu atau bambo tempat merebahkan badan, dibentangkan satu atau dua lembar tikar pandan (anyaman tipis dari daun pohon pandan, semacam nanas liar yang tumbuh di tepi laut).
Andre juga bercerita, di bawah atap alang-alang “Umma Adat” (pondok rumah tradisional), terdengar suara-suara pelan bambu yang digigit atau dikerat oleh serangga. Serangga ini melepaskan bubuk kotoran ke tubuh Andre yang berkeringat. “Pikiran saya bermain-main ke mana-mana,” kenang Andre sambil tertawa.
Katanya, dalam beberapa tahun kemudian, dia mengumpulkan dokumentasi dan kemitraan yang diperlukan untuk mengaktifkan sistem hidrolik desa pertama di Waru Wora, Lamboya, Sumba Barat, NTT.
Dari sejumlah pengalaman belajar di lapangan dari banyak orang, Andre simpulkan bahwa energi yang paling masuk akal digunakan di Sumba adalah sistem dengan energi matahari.
Instalasi di Sumba kini telah menjadi ikon dan dipromosikan oleh sejumlah media. Dan prinsip unit pemompaan kecil yang diaktifkan oleh energi matahari telah diambil dan dipopulerkan secara luas oleh Kementerian.
Demi Keberlanjutan
“Hari ini (6/1/23) penting bagi saya untuk melakukan kembali kunjungan sistematis ke sebagian besar sumur (42) dan sistem hidrolik desa yang terpasang selama 18 tahun kehadiran saya di Indonesia,” kata Andre.
Tujuan dari kunjungan ini adalah untuk mempelajari atau mengevaluasi kekurangan, kelemahan, kelebihan.
Ini juga akan menjadi bahan pemikiran untuk melihat keberlanjutan proyek bagi peningkatan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Juga untuk melihat kemungkinan orang-orang muda (generasi mendatang) mengambil alih.
Kata Andre, dalam beberapa bulan mendatang akan ada sebuah lokakarya atau “sekolah air bersih” di Sumba Barat Daya yang melibatkan orang-orang yang pernah bersamanya dalam sejumlah proyek sumur sebelumnya. Juga bersama banyak pemerhati dan orang-orang muda.
Dan agar proyek kemanusiaan ini bisa berjalan dan berhasil, dia mengajak siapa pun untuk berkontribusi. Kekuatannya seorang diri tentu tidak cukup.
Andre juga mengharapkan kerjasama yang baik dengan Pemda Sumba Barat Daya, apalagi aku Andre, telah terjadi komunikasi yang baik dengan Kodi Mete, Bupati SBD.
Andre mendapatkan informasi bahwa Pemda SBD telah memesan peralatan yang diperlukan untuk proyek percontohan di Kodi.
“Karena itu saya sungguh berharap ada kerjasama yang konkret,” ujar Andre singkat.
Mari buka mata, hati dan dompet untuk “membantu” Andre. Ya, sesungguhnya, Anda sedang membantu rakyat Sumba yang masih menjelata di tengah kemiskinan.
Pembaca tempusdei.id bisa menyalurkan bantuan melalui Bank Permata (Provinsi Bali) dengan nomor rekening: 5830180178 atas nama Graff Andre Georges.*