Mon. Nov 25th, 2024

Ketua Umum PGI Menyangkut Pernyataan Presiden atas Pelanggaran HAM Masa Lalu: Sebuah Lompatan Besar

Ketua Umum PGI: Pdt. Gomar Gultom

Atas nama gereja-gereja di Indonesia, saya sangat mengapresiasi pernyataan pers Presiden hari ini terkait pelanggaran HAM berat masa lampau.

Ini sebuah langkah maju, bahkan lompatan besar pada proses penyelesaian pelanggaran HAM di Indonesia, yang selama puluhan tahun beberapa hal cenderung ditutupi bahkan disangkal adanya.

Saya menghargai setulusnya pengakuan dan penyesalan Presiden. Meski tidak disertai permohonan maaf, hal ini menurut saya sudah sangat maju. Sesungguhnya dengan penyesalan itu, implisit di dalamnya sudah terkandung permohonan maaf.

Saya juga mengapresiasi penegasan Presiden bahwa penyelesaian non judisial ini tidak menegasikan penyelesaian secara hukum. Malah menurut saya, pengakuan ini bisa menjadi pintu masuk untuk proses hukum selanjutnya.

Kini menjadi tugas seluruh elemen bangsa yang berkehendak baik untuk mengawal proses ini dengan lebih sungguh-sungguh.

Pada kesempatan ini saya juga menyampaikan penghargaan kepada Tim PPHAM bentukan Presiden yang bekerja cepat dalam perumusan masalah yang cukup pelik ini, sehingga Presiden bisa tiba pada pengakuan di atas pada waktunya.

Sebagai tindak lanjut pernyataan ini, saya mengusulkan dua hal: pertama, perlunya penghapusan segera berbagai bentuk memorial maupun materi sejarah yang ada selama ini, yang bisa dinilai sebagai pembelokan sejarah dan pengaburan fakta pelanggaran HAM yang terjadi.

Kedua, perlunya memorialisasi atas pelanggaran HAM berat tersebut dalam bentuk statuta, sebagai peringatan kepada generasi berikut agar tidak terulang.

Penyataan Presiden

Setelah menerima laporan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM (PPHAM) masa lalu yang diwakili Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu 11 Januari, Presiden Jokowi mengaku sangat menyesal atas kejadian-kejadian itu.

Pelanggaran HAM berat seperti yang tertuang dalam penjelasan Pasal 104 ayat (1) Undang-Undang Hak Asasi Manusia, adalah pembunuhan massal (genocide), pembunuhan sewenang-wenang atau di luar putusan pengadilan (arbitary/extra judicial killing), penyiksaan, penghilangan orang secara paksa, perbudakan, atau diskriminasi yang dilakukan secara sistematis (system discrimination).

Sedangkan, pelanggaran HAM berat menurut Undang-Undang no. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM didefinisikan sebagai pelanggaran HAM yang meliputi kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.

Berikut adalah pernyataan lengkap Presiden Jokowi soal pengakuan pemerintah terhadap Pelanggaran HAM Berat.

Bapak, Ibu, dan Saudara-saudara sebangsa dan se-tanah air, saya telah membaca dengan seksama laporan dari Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat, yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2022.

Dengan pikiran yang jernih dan hati yang tulus, saya sebagai Kepala Negara Republik Indonesia mengakui bahwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat memang terjadi di berbagai peristiwa. Dan, saya sangat menyesalkan terjadinya peristiwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat pada:

1. Peristiwa 1965-1966;
2. Peristiwa Penembakan Misterius 1982-1985;
3. Peristiwa Talangsari, Lampung 1989;
4. Peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis di Aceh 1989;
6. Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa tahun 1997-1998;
7. Peristiwa kerusuhan Mei 1998;
8. Peristiwa Trisakti dan Semanggi 1 dan 2, 1998 dan 1999;
9. Peristiwa Pembunuhan Dukun Santet 1998-1999;
10. Peristiwa Simpang KKA di Aceh tahun 1999;
11. Peristiwa Wasior di Papua 2001-2002;
12. Peristiwa Wamena, Papua di 2003; dan
13.Peristiwa Jambo Keupok di Aceh tahun 2003.

Saya menaruh simpati dan empati yang mendalam kepada para korban dan keluarga korban. Oleh karena itu, yang pertama, saya dan pemerintah berusaha untuk memulihkan hak-hak para korban secara adil dan bijaksana, tanpa menegasikan penyelesaian yudisial.

Yang kedua, saya dan pemerintah berupaya sungguh-sungguh agar pelanggaran hak asasi manusia yang berat tidak akan terjadi lagi di Indonesia pada masa yang akan datang. Dan, saya minta kepada Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) untuk mengawal upaya-upaya konkret pemerintah agar dua hal tersebut bisa terlaksana dengan baik.

Semoga upaya ini menjadi langkah yang berarti bagi pemulihan luka sesama anak bangsa, guna memperkuat kerukunan nasional kita dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. (tD/*)

 

Related Post