Cerpen Loise Angelica
Terlalu…! Terlalu…! Suster Maria tampak muram dan sangat kecewa saat menengok ke belakang biara usai bangun tidur pagi itu.
Ternyata benar! Bunyi-bunyi yang dia dengar sekitar pukul 02 dini hari dari arah kandang bebek dan ayam adalah bunyi aksi pencuri. Kandang itu tidak jauh dari kamar tidurnya.
Wah…! Tidak ada yang tersisa! Induk bebek, bebek tanggung, anak bebek bahkan telur-telur bebek ludes. Ayam juga habis.
Rupanya, pencuri yang diduga beberapa orang itu sudah membawa karung untuk mengisi bebek-bebek itu. Beberapa ekor ayam yang sedang mengeram juga tidak terkecuali.
“Hei, Suster Maria, mengapa Suster muram? Ada apa?,” tanya Suster Yenny, rekan sebiaranya. “Suster, bebek-bebek dan ayam kita su habis. Bersih! Tidak ada yang tersisa dicuri orang semalam. Saya dengar ada pencuri, tapi saya takut keluar,” kata Suster Maria.
Sambil melindungi kepalanya dengan telapak tangan dari gerimis halus yang sedang turun, Suster Yenny bergegas ke kandang yang terbuat dari bambu itu. “Benar-benar kurang ajar. Tega sekali,” kata Suster Yenny, lalu memutar langkah menuju teras biara.
Setelah mencuci tangannya, dia menuju ruang doa. Hari itu tidak ada Misa di biara karena imam yang biasa mempersembahkan Misa sedang ada acara komunitas di Waitabula.
Di ruang doa, Suster Maria dan Suster Yenny berusaha menenangkan diri. Dalam doanya, Suster Maria memang berkata, “Ampunilah mereka sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat.” Tapi rasanya, dia tidak bisa melupakan kejahatan yang baru saja terjadi itu.
Yang dia pikirkan “Bagaimana mungkin orang itu memelihara kebiasaan mencuri, padahal dia sendiri pun bisa memelihara bebek dan ayam”.
Hal lain yang dia pikirkan adalah anak-anak yang biasa mereka kasih makanan tambahan dari telur bebek dan ayam yang mereka piara itu. Terbayang di pelupuk matanya, tatapan sayu anak-anak itu.
Di biara itu tinggal lima orang suster. Mereka hidup sangat sederhana dan benar-benar menjalankan kaul kemiskinan.
Fasilitas hidup mereka sangat kurang, namun mereka selalu tampak gembira dan dengan senang melayani.
Untuk berkomunikasi, mereka memiliki sebuah handphone jadul yang mereka pakai secara bergilir sesuai kepentingan.
Kelima suster tersebut melayani di Balai Pengobatan, mengajar di sekolah dan memberikan pembinaan iman kepada umat.
Mereka tidak lagi menyisihkan waktu dan tenaga, bahkan keinginan untuk diri sendiri. Semuanya mereka persembahkan untuk Tuhan melalui orang-orang kecil.
Dengan tugas-tugas itu saja, waktu mereka sudah habis. Meski begitu, mereka sempatkan diri urus sedikit ternak seperti bebek dan ayam.
Ternak-ternak itu nantinya bukan untuk mereka makan sendiri. Jika sudah bisa dijual, mereka jual untuk beli beras dan kacang hijau untuk membuat bubur sebagai makanan tambahan untuk anak-anak di sekitar biara. Jika ada sedikit uang lebih, mereka belikan mainan.
“Sekarang mau apa lagi? Semuanya sudah habis,” kata Suster Maria sambil berjalan menuju teras. Melihat anak-anak dengan badan kurus dan berpakaian seadanya dan lusuh, dia semakin sedih.
Hari itu adalah hari Selasa. Biasanya mereka memberi bubur atau makanan tambahan kepada anak-anak setiap Kamis kedua dalam bulan. Itu berarti, dua hari lagi anak-anak akan berkumpul di teras biara untuk makan bubur lalu bernyanyi dengan gembira.
“Anak-anak itu yang saya pikirkan. Kasihan mereka. Mereka pasti berharap dapat tambahan makanan dan bisa bernyanyi bersama teman-teman,” gumam Suster Maria.
Hari itu suster yang merupakan anak tunggal dari sebuah keluarga di Waijewa ini stress dan bingung. Dia hanya berjalan mondar-mandir.
Uang saku bulanan para suster di biara tersebut hanya 25 ribu per orang, tentu saja selain kebutuhan makan dan minum. Uang sebesar 25 ribu itu mereka pakai untuk beli sabun, shampoo dan beberapa kebutuhan kecil lain. Untunglah mereka “tidak butuh” lipstik, pelembab, parfum dan sebagainya.
Karena tiga bulan lalu, seorang temannya berkunjung ke biara dan membawa beberapa pak sabun mandi dan beberapa botol shampoo, maka uang saku Suster Maria terbilang masih utuh. Masih ada 55 ribu. Sabun dan shampoo itu ditaruh di lemari bersama sehingga siapa pun boleh ambil.
“Suster Yenny, bagaimana kita bisa kasih makan anak-anak lusa? Bebek-bebek dan ayam su habis. Suster masih punya uang? Kita harus tetap kasih mereka makan. Mereka akan sedih sekali jika kita tidak kasih makan. Mereka tidak bisa nyanyi-nyanyi bersama teman-teman,” kata Suster Maria dengan mata berkaca-kaca.
“Benar, Suster. Kita harus tetap kasih mereka makan. Tapi dari mana? Saya masih punya uang 35 ribu,” ujar Suster Yenny sambil bergegas ke kamar untuk mengambil dan memberikan kepada Suster Maria. Dengan demikian, ada uang 90 ribu rupiah.
Berkendara motor bebek pemberian seorang donatur dari Jawa, kedua suster tersebut ke pasar untuk membeli beras, dan kacang hijau dan telur ayam ras. Biasanya mereka gunakan telur bebek dan ayam dari kandang sendiri.
Ketika hari Kamis tiba, anak-anak pun berdatangan. Kedua suster menjemput anak-anak itu dengan senyum ceria dan mengajak mereka bernyanyi dan berdoa, juga mewarnai gambar. Beberapa saat kemudian, mereka pun menikmati bubur bergizi dengan gembira.
Sukacita anak-anak itu adalah sukacita Suster Maria dan Suster Yenny. Sesungguhnya, mereka ingin berbuat lebih untuk anak-anak yang menderita stunting, dengan tulang iga yang menonjol dan bermata sayu karena kekurangan gizi itu, tapi belum bisa.
Setelah kejadian kecurian itu, Suster Maria dan Suster Yenny ingin membangun kandang permanen agar pencuri tidak lagi dengan mudah mencuri bebek-bebek mereka. Mereka ingin piara bebek dan ayam lebih banyak lagi. Om Yance tetangga mereka sudah nyatakan kesiapan untuk membantu.
“Piara bebek atau ayam kan gampang sekali. Makanan mereka juga tidak susah. Kok, orang masih mencuri, ya. Ini keterlaluan,” kata Suster Maria.
“Sudahlah! Semoga pencuri itu lekas berhenti mencuri dan piara bebek juga. Jadi kita sama-sama peternak bebek dan ayam. Siapa tahu dia nanti sumbang untuk anak-anak kita,” timpal Suster Yenny lalu menyapa Ibu Guru Sesilia yang melintas di samping biara menuju rumahnya yang jauhnya sepelempar batu dari biara.
Om Yance sempat anjurkan suster memasang kabel telanjang di kandang agar kalau pencuri datang lagi, tersengat stroom listik dan kapok.
“Hahahaha….. Suster bisa masuk penjara, Om Yance. Biarkan saja, suatu waktu dia akan sadar sendiri,” kata Suster Yenny sambil tertawa lepas.
Cerpen tersebut merupakan kisah nyata.