MARIA DOLOROSA
1/
debu mendulang gerimis di matamu
angin menyayat alis di wajah
pedang menyibak helai rambut di pelipis
di langit matahari merendah
kau bergegas menyiram jalanan berdebu
anakmu akan memadamkan nyala merah api
sejak adam dan hawa memakan buah pengertian
detak jantung dan pedang liar
merebutkan letak mata bumi dan langit
tak ada kembang yang bisa bertahan
noktah darah telah ditandai di jantungmu
2/
sebelum jam tiga sore
segerombolan gagak hinggap di bukit
gumpalan tangis nyaris tumpah
di kaki salib tergores kenangan
anakmu menyeruak nyeri
dan pulas dalam rahim
dalam tujuh musim bunga
bolehkah aku menangis, isakmu
kembang layu meredam tangis
sebongkah purnama merajut malam
bintang-bintang berderak gelisah
kau pandang keangkuhan sejarah
dengan luka dan gerimis di mata
Sendangsono, 19 April 2019
KABAR DARI KAMPUNG
Hutan rindang dengan jalanan penuh ilalang
masih di sini terbalut kenangan demi kenangan
Tebing yang dulu menggemakan teriakan kanak-kanak
masih meriahkan kampung kita dengan nyanyian
nyaring, bersahaja, kadang menitikkan air mata
Gemericik air pancuran membasahi kain gadis-gadis
menanamkan rindu pertama paling purba
Sudah lama burung pergam tidak kembali
Bougenvile tak memulai pagi dengan kuntum
entah apa yang dilakukannya di dalam kabut
Lonceng gereja berbunyi sembilan kali
pentas petani ladang dimulai di tengah terik
nelayan membuang jala di sela desau angin
Keriangan gaya kampung selalu kita rindukan
Ikan bakar, nyanyian, dan senda gurau
Hari beranjak senja,
Di langit, tujuh kereta kuda menarik matahari
melewati tujuh penjuru mata angin
menuruni Gunung Labalekan menyeberangi lautan
menjawab panggilan pedih serulingmu
Mereka pulang ke kampung membawa panenan
Jalanan di kampung sepi dan diam
Api di dangau sudah padam. Langit gelap gulita
Pintu rumah sudah tertutup rapat.
Di dipan tua, kulihat rambutku banyak beruban.
Aku ingin berkelana sepertimu. Aku merindukan api.
Yogyakarta, 4 Januari 2019
DI MUSEUM TSUNAMI
Langit dan laut merah saga
menghunus pedang pada leher
Suara logam dan kaleng terbanting
membungkam nyanyian para bocah
Angin dan air membara tiba-tiba
membakar batu-batu purba
Elang dengan lidah terpotong
bergegas meninggalkan puing-puing kota
Ada yang tetap tak terjawab
Sayatan itu dendam atau rindukah?
Di Museum Tsunami
Kulihat mata pisau itu terpejam
Banda Aceh, 13 Juli 2019
Yoseph Yapi Taum lahir di Ataili, Lembata, NTT, 16 Desember 1964. Saat menjadi dosen di Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
Ia menyelesaikan pendidikannya di SMA Seminari San Dominggo, Hokeng (1984), Seminari Tinggi Santo Paulus Kentungan Yogyakarta (1984-1985) dari biara Oblat Maria Imaculata (OMI).
Pendidikan S-1 ia selesaikan di IKIP Sanata Dharma (1990), S-2 di Universitas Gadjah Mada (1995) dan S-3 diFIB Universitas Gadjah Mada (2013) dengan disertasi berjudul Representasi Tragedi 1965: Kajian New Historicism atas Teks-teks Sastra dan Nonsastra Tahun 1966-1998.
Yapi Taum melakukan penelitian tentang Konflik dan Kekerasan di Papua (2015-2016).
Antologi puisinya Ballada Arakian (2015), Ballada Orang-orang Arfak (2019), dan Kabar dari Kampung (2023). Email: [email protected].