Benar kata penulis A. Bobby Pr, ketika menyampaikan sambutan dalam peluncuran buku biografi Suster Andre Lemmers di Balai Sarbini, 1 Juni 2019 lalu. Saat itu ungkap Bobby, “Untuk membantu sesama, manusia tidak perlu menunggu menjadi kaya atau pintar terlebih dulu. Dalam keadaan apa pun, setiap orang bisa membantu sesamanya”.
Melalui buku ini, Bobby menyajikan kisah hidup dan perjuangan Andre Lemmers, seorang biarawati dari Desa Purmerland, Belanda Utara. Kata-kata Bobby terbenarkan dalam diri Andre.
Andre lahir dan mekar dalam keluarga yang amat sederhana dan pekerja keras. Malah boleh dikatakan, tanpa kerja keras, mereka tidak bisa makan. Sejak kecil ia telah menyaksikan ayahnya yang bekerja mati-matian untuk menghidupi keluarganya. Meski telah menjadi penjaga gudang tentara, ia masih mengerjakan ladang-ladang milik orang lain, merawat sapi tetangga, atau mengumpulkan rumput kering yang kemudian dijual sebagai makanan sapi pada musim dingin. Sementara itu, Andre bekerja sebagai pembantu rumah tangga, pemerah susu sapi tetangga dan buruh di ladang milik orang lain. Meski perempuan Andre mampu menjalankan bajak yang ditarik kuda untuk menggembur tanah (halaman 20).
Dari kerja kerasnya, selain bisa membantu ekonomi keluarga, Andre juga bisa mencukupi kebutuhannya sebagai remaja yang sedang mekar, bahkan untuk bersenang-senang dalam skala kecil bersama teman-temannya di café-café desa.
Tangan Biarawati Penolong
Dengan kondisi ekonomi keluarga yang tergolong lemah dan tingkat pendidikan rendah karena SMP pun Andre tidak tamat, mungkinkah keinginannya untuk membantu sesama bisa terlaksana? Jawabannya, mungkin dan bisa! Persis ini terjadi pada Andre yang kemudian menjadi biarawati dan sekarang dikenal sebagai pendiri dan pengelola Yayasan Sinar Pelangi di Jatibening, Jakarta Timur ini.
Keinginannya untuk menjadi biarawati muncul saat menyaksikan dan merenungkan lamat-lamat perjuangan ibunya membesarkan dan mendidik sebelas orang anak. Andre membayangkan, jika ia menikah dan memiliki anak, dia akan seperti ibunya yang tenggelam dalam urusan domestik dan menghabiskan waktu di kebun. Sedangkan suaminya bisa seperti pria-pria yang ia jumpai di café-cafe (halaman 37). “Saya tidak merasa terbebani dengan tugas selama ini di keluarga. Tapi saya tidak melihat hidup berkeluarga menarik, mengingat bapak-bapak yang foya-foya dengan orang muda di café. Saya ingin menjadi suster karena ingin keluar dari lingkungan hidup yang menghidupi saya saat itu,”kata Andre di halaman 42.
Anehnya, sekali keinginan untuk menjadi biarawati itu muncul, tak kunjung padam walau berhadapan dengan banyak tantangan. Selain karena alasan tersebut dan rasa kagum melihat sosok biarawati, keinginan untuk untuk mengabdi Tuhan secara total melalui sesama yang membutuhkan, menambah bobot hasratnya itu. Ia bertekad mewakafkan dirinya untuk orang miskin dari kalangan manapun, tanpa motivasi untuk membaptis mereka menjadi Katolik.
Pada usia 21 tahun, tepat pada hari ulang tahunnya, ia memutuskan untuk masuk biara. Keputusan ini tidak diduga oleh siapa pun termasuk orang tuanya, saudara-saudara kandungnya, juga Kees sang pacar. Ia bahkan dikira gila oleh Pastor Jan Zutt, Pastor Parokinya. Mereka semua tidak percaya bahwa Andre yang mereka kenal sebagai remaja yang terbiasa dengan kehidupan bebas di kebun, kandang sapi dan café-café bisa menjadi biarawati. Bahkan ada dari kerabatnya yang taruhan satu krat bir jika dia bisa bertahan di biara, walau hanya tiga bulan.
Memilih Indonesia
Karena hanya memiliki ijazah SD, sebelum berangkat ke Indonesia (Papua), Andre harus mengikuti pendidikan SMP terlebih dahulu. Dan sebagai bekal di tanah misi, dia terlebih dulu mengambil pendidikan keperawatan, kursus instalasi listrik, perawatan dan perbaikan mobil serta tukang kayu (halaman 89). Pada 1 Mei 1973 ia terbang ke Jakarta.
Dan benar! Keterampilan-keterampilan tersebut sangat dia butuhkan dalam pelayanannya kemudian. Dengan sosoknya yang tomboy, ke mana-mana Andre menyetir truck, memasang instalasi listrik, memperbaiki mobil atau pompa air yang rusak, dan sebagainya. Dengan pengetahuan di bidang kesehatan, walau sangat terbatas, dia bisa mengajarkan cara dan pola hidup sehat kepada masyarakat.
Pada 20 Juli 1988, Suster Andre bersama Suster Sesilia dan Ryanna Mayame Kasioen mendirikan Yayasan Sinar Pelangi yang secara khusus melayani penderita bibir sumbing, luka bakar, hidrocepalus, microcepalus, struma, tumor, atresia ani (yang tidak memiliki lubang anus). Andre pun dijuluki “Bapak Sumbing”.
Dalam menjalankan pelayanannya tersebut, Suster Andre selalu mengingat janjinya untuk tidak membaptis menjadi Katolik orang-orang yang ditolongnya. Meski begitu, ia selalu mendasarkan pelayanannya pada Firman Yesus dalam Matius 25: 40: …sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, itu kamu lakukan untuk Aku.
Karena berpegang teguh pada semangat untuk memberikan pelayanan kepada mereka yang kecil dan tersisihkan tersebut, Andre tidak peduli dengan berbagai tantangan yang ia hadapi. Pada 19 April 1995 atap susteran tempat ia dan rekan-rekannya tinggal dibakar orang, walau api bisa segera dipadamkan (halaman 184). Lalu pada 26 April 1996 lima orang perampok menyantroni susteran dan mengalungkan celurit di leher Suster Andre (halaman 185), dan masih ada sejumlah pengalaman lain termasuk sulitnya mengurus perizinan, dan teror-teror dalam banyak bentuk.
Dengan jalan pelayanan yang semenakjubkan begini, wajarlah Penerbit Buku Kompas melalui A. Bobby Pr menuliskan biografi Suster Andre dengan judul Penolong Bibir Sumbing dari Spaarndam ini.
Apresiasi patut dialamatkan kepada penulis dan penerbit atas penyanjian kisah yang lengkap, sistematis, enak dibaca dan menggugah. Meski demikian, jika buku ini dicetak ulang, perlu memerhatikan beberapa hal. Tersua sejumlah kekeliruan kecil berupa penggunaan kata depan di yang masih ditulis melekat pada kata benda yang mengikutinya dan beberapa kekeliruan kecil lainnya yang dengan mudah bisa dibenahi.
Keterangan Buku
JUDUL BUKU : Sr. Andre Lemmers, FCJM; Penolong Bibir Sumbing dari Spaarndam. PENULIS: A. Bobby Pr. KATA PENGANTAR: Mgr. Ignatius Suharyo. PENERBIT: Penerbit Buku Kompas, 2019. KETEBATALAN: XX+324 halaman
EMANUEL DAPA LOKA, wartawan dan penulis biografi