Wed. Oct 30th, 2024
Begini cara warga AS tetap aman bersantai di taman.

Oleh Yustinus Prastowo

Pandemi justru memberi ruang dan waktu untuk berimajinasi, membayangkan dunia baru pasca-COVID, dunia yang akan terus kita hidupi dengan segala peluang kebaruannya.

Di tengah kota yang gegap gempita merayakan berakhirnya wabah, dokter Bernard Rieux masih merenung dalam. Tulisnya, “Basil sampar tidak pernah mati atau menghilang untuk selama-lamanya…. Ia dapat menetap berpuluh tahun tertidur di perabotan rumah dan pakaian. Dan barangkali, pada suatu hari, guna kemalangan ataupun pelajaran bagi manusia, sampar akan membangunkan tikus-tikus, kemudian menyuruh mereka mati di tempat-tempat terbuka di suatu kota yang bahagia.”

Kalimat-kalimat itu menutup mahakarya Albert Camus, La Peste, yang di masa wabah ini kembali nyaring terdengar. Dengan itu Camus menampilkan keyakinan yang sudah sejak lama ia olah dalam karya-karyanya: di hadapan absurditas, tak ada kemenangan definitif. Setiap kemenangan selalu kemenangan sementara–dengan kata lain, bukan “kemenangan” seperti yang biasa kita harapkan. “Tetap berada di tubir yang memusingkan itu–itulah kejujuran, dan selebihnya hanya dalih,” tulisnya suatu kali dalam Le Mythe de Sisyphe.

Kepasrahan fatalistik? Bukan. Camus, seorang mantan anggota Partai Komunis Aljazair dan aktif dalam gerakan Résistance saat Prancis diduduki Jerman Nazi, yang menulis sebuah karya berjudul L’homme révolté. Ia pernah berpolemik hebat dengan Jean-Paul Sartre, dan cukup pasti bukan seorang fatalis serba-nrimo. Barangkali ia sekadar menyodorkan jalan tengah antara dua ekstrem: kepasrahan fatalistik dan optimisme promethean.

Pencandraan sangat awas yang dilakukan Camus sungguh penting untuk merenungkan pandemi hari ini. Di hadapan wabah Covid-19, kedua sikap itu hanya akan berujung pada kematian konyol. Kita tak mungkin hijrah ke pertapaan, selamanya mengurung diri dalam diam.  Sebaliknya, kita tak mungkin beraktivitas seakan-akan tak ada virus yang berbahaya, apalagi vaksin belum ditemukan. Maka jalan tengah tak terelakkan: tetap produktif, seraya menerapkan perlindungan diri sebaik-baiknya. Jaga jarak, pakai masker, cuci tangan sesering mungkin, ikuti protokol kesehatan, dan seterusnya. Apalagi, faktanya, vaksin memang belum ditemukan. Tapi life must go on: yang punya pilihan, sila bekerja dari rumah; yang harus keluar rumah, musti berdisiplin tinggi.

New normal di depan mata.

Tegangan itulah yang kini kerap kita bahasakan dalam istilah “new normal”. Di balik lugasnya ungkapan itu tersembunyi masalah yang tak mudah. Mengubah kebiasaan bukan perkara sederhana, ibarat membersihkan kerak yang sudah kepalang mengeras. Kita perlu membiasakan diri hidup dengan virus baru ini, seperti seorang serdadu tidur dengan senapannya di medan perang. Ia terlelap dalam kewaspadaan tingkat tinggi!

Di tengah dunia yang sedang membiasakan diri dengan “new normal” itu, selalu saja ada suara-suara yang tak hendak merangkul perubahan. “Dulu,…” kata mereka. “Kembalikan situasi…” ujarnya. Betapa sulitnya memahami “point of no return”. Sebuah titik yang tak pernah kembali, ibarat Julius Caesar yang menyeberangi sungai Rubicon hanya untuk berperang dan menang atau tak kembali lagi. Kondisi ekistensial tanpa titik balik. Kita tak mungkin mengulang waktu, tak mungkin kembali ke masa pra-wabah.

Tak mungkin pula membebankan situasi ini seluruhnya ke pundak negara. Kolaborasi dengan seluruh lapisan masyarakat mutlak perlu. Sementara negara berjuang memperkuat pilar kebijakan dan memastikan daya tahan kolektif, warga dapat secara simultan memperkuat pilar lain: solidaritas, bela rasa, tertib, dan disiplin. Di saat seperti ini, tiap pribadi adalah kunci penting–baik untuk menang maupun binasa. Pada titik ini, kerap terngiang olok-olok tentang ketidaktegasan, sikap mendua dan ragu. Sikap dan pendirian yang sebenarnya menunjukkan jatidiri masing-masing dari kita terhadap situasi yang serba tak pasti.

Pandemi justru memberi ruang dan waktu untuk berimajinasi, membayangkan dunia baru pasca-COVID. Dunia yang akan terus kita hidupi dengan segala peluang kebaruannya. Entah karena komitmen menjaga lingkungan agar lestari, mengurangi sikap gelojoh konsumeristik, negara yang hadir kembali, pentingnya jaminan sosial, solidaritas yang menguat, birokrasi yang efisien, dan kebutuhan akan asesoris secukupnya. Pula tentang maut yang amat dekat.

Dengan kesadaran itu, kita bukan lagi Sisifus yang mendorong batu karang, kembali lagi dan lagi. Kita sedang melangkah maju, menuju tahap peradaban baru. Ungkapan ‘berdamai dengan corona’ tak semestinya dipergunjingkan sebagai sikap abai masa bodoh, melainkan ajakan untuk menghayati paradoks baru kehidupan: memeluk kebebasan sekaligus keterbatasan, merangkul sekaligus berjarak, dan menebar harapan seraya bermata awas. Kita semua sedang belajar, dan layaknya orang yang sedang belajar, sikap terbaik bukanlah merasa paling pintar dan benar, tetapi berkanjang dalam kerendahan hati yang bersahaja dan bening. Atau jika meminjam Thucydides, kita diajak menampik fakta “history was flux and humanity was constant”. Barangkali ini waktunya membuktikan bahwa cara kita menanggapi pandemi ini berbeda. Manusia membuat sejarah baru, tak sekadar mengulanginya?

Yustinus PrastowoPengamat Sosial, Pendiri ForGes

 

Related Post

One thought on “Berdamai dengan Korona?”

Leave a Reply