Fri. Nov 22nd, 2024
IBene di Monumen Selamat Datang Fransiskus Xaverius di Kagoshima, Jepang.

Oleh InBene, pernah tinggal di Jepang, sekarang berdomisili di Austria.

Katedral Francis Xavier, Kagoshima, Jepang. Foto: InBene

Di sebuah gereja kecil di Montmartre, Paris pada 15 Agustus 1534, Ignatius de Loyola dan partner kerjanya Francis Xavier mengadakan pertemuan. Di tempat ini mereka membuat kesepakatan untuk rencana mengunjungi Yerusalem, tempat Yesus hidup dan mengajar, wafat dan bangkit.

Akan tetapi, rencana tersebut gagal dilakukan. Paus pada saat itu menginginkan mereka pergi lebih jauh ke berbagai penjuru dunia. Sedangkan Raja John III yang saat itu berkuasa di Portugal, meminta Ignatius de Loyola untuk mengirim dua orang Jesuit ke wilayah India. Tampaknya harapan Paus maupun Raja John III sejalan. Mereka menginginkan Francis dan Ignatius berbagai penjuru dunia untuk melakukan misi.

Lagi-lagi rencana tidak dapat dijalankan karena Ignatius de Loyola sakit, dan ia mengatakan pada Francis Xavier, “Francis, inilah waktumu.” Dan Francis Xavier menjawab, “Inilah aku. Aku siap.” Peristiwa ini terjadi pada 16 Maret 1540.

Lalu Francis meninggalkan Lisbon pada 7 April 1541 dan mendarat di Goa 6 Mei 1542. Selama beberapa tahun Francis Xavier bekerja melakukan misi di wilayah India, kepulauan Molucca (kini Maluku) dan Malaka. Di Malaka, pada Desember 1547 Francis Xavier bertemu Yajiro, seorang samurai Jepang yang melarikan diri karena dituduh membunuh.

Pada 20 Juni 1549, Francis Xavier menulis surat kepada Raja John III, yang isinya, “Menemukan kehendak Allah Yang Maharahim dalam jiwaku, inilah karyaNya, bahwa aku harus pergi ke Jepang. Akhirnya, aku meninggalkan India untuk membawa misiNya yang ditunjukkan bagi diriku untuk melayaniNya di Jepang. Dari hambamu yang tak berguna, Francisco.”

Patung Francis Xavier, Yajiro dan Bernarno di Xavier Park, Kagoshima, Jepang. Foto: InBene.

Francis Xavier bersama Yajiro tiba di Kagoshima, Jepang 15 Agustus 1549. Bertepatan dengan Pesta Maria Diangkat ke Surga. Kagoshima merupakan kota kelahiran Yajiro sekaligus merupakan pelabuhan utama di tanah Jepang saat itu. Selama 2 tahun 3 bulan, Francis Xavier melakukan misi di Kagoshima, Hirado, Yamaguchi, Sakai, Kyoto dan Bungo (Oita).

Pada 29 September 1549, bertepatan dengan Pesta Malaikat Agung, Francis Xavier diterima oleh Shimatsu Takahisa, kaisar dari suku Satsuma dan mendapatkan izin untuk melakukan misi. Selanjutnya Francis Xavier membaptis sekitar 100 orang di Kagoshima dan Kuil Tsurumaru di Ichiki. Yajiro dibaptis dengan nama Paulo de Santa Fe. Selain itu, ia juga mengunjungi Fukushoji, kuil Zen Buddhisme. Akan tetapi, Shimatsu Takahisa melarang Francis Xavier membaptis para pensiunan Satsuma. Maka jalan bagi Francis Xavier adalah belajar bahasa Jepang dan menerjemahkan ajaran Kristiani dalam bahasa Jepang.

September 1550 Francis Xavier menuju Hirado ditemani Torres, Fernandez dan seorang Jepang yang telah dibaptis dengan nama Bernardo, serta tentu saja Yajiro. Melihat kedatangan kapal Portugis, kaisar Hirado, Matsura Takanobu Doka menyambut Francis Xavier dan rekan-rekannya serta mengizinkan Francis Xavier untuk melakukan misinya. Seorang samurai bernama Kimura ditugaskan menyediakan tempat tinggal bagi Francis Xavier. Di kemudian hari, cucu dari Kimura yang bernama Sebastian Kimura menjadi orang Jepang yang pertama kali menjadi pastor.

Perjalanan Francis Xavier selanjutnya adalah Yamaguchi. Pada abad ke-16, Yamaguchi merupakan wilayah paling makmur di Jepang dan kebudayaan disana disebut “ouchi culture”. Dua kali Francis Xavier mengunjungi Yamaguchi, yaitu November 1550 dan periode Maret-September 1551. Kaisar Ouchi Yoshitaka menyambut baik kedatangan Francis Xavier. Respon masyarakat Yamaguchi merupakan yang paling baik daripada wilayah Jepang lainnya. Seorang dari Yamaguchi yang dibaptis dengan nama Lorenzo, di kemudian hari menjadi anggota Serikat Yesus (Jesuits) Jepang yang pertama kali.

Perjalanan selanjutnya adalah menuju Kyoto. Dalam bayangan Francis Xavier, Kyoto (sebagai ibukota Jepang saat itu) merupakan wilayah yang sangat menjanjikan bagi misinya. Meskipun menempuh pelayaran yang teramat sulit dari Yamaguchi ke Kyoto, setibanya di pelabuhan Sakai, Francis Xavier disambut hangat oleh keluarga Hibiya dan Konishi. Kedua keluarga inilah yang di kemudian hari menjadi pilar utama berdirinya Gereja di wilayah tersebut. Amat disayangkan, impian misi Francis Xavier di Kyoto sirna karena terjadinya perang. Francis Xavier gagal bertemu kekaisaran Go Nara akibat jalur yang rusak dan tak mungkin ditempuh. Pada Maret 1551 Francis Xavier kembali ke Hirado. Pada waktu ini, kondisi Francis semakin menua meski usianya masih tergolong muda.

Kaisar muda dari Bongo, yang bernama Otomo Yoshishige telah lama bersahabat dengan orang-orang Portugis yang datang ke Jepang. Mendengar berita tentang Francis Xavier, ia pun mengundangnya untuk datang ke Bungo. Harapan Francis Xavier yang sempat sirna di Kyoto, kini muncul kembali dan ia memenuhi undangan Otomo Yoshishige untuk datang ke Bungo. Francis Xavier mempunyai harapan bahwa Otomo Yoshishige tertarik untuk menjadi seorang Kristiani. Dan benar, pada 28 Agustus 1578 (sekitar 26 tahun setelah kematian Francis Xavier), Otomo Yoshishige dibaptis dengan nama Francisco.

Surat dari India pun diterima Francis Xavier yang isinya meminta para misionaris Portugis untuk kembali ke India. Francis Xavier pun memenuhi panggilan tersebut. Dalam pelayaran menuju India, Francis Xavier sempat singgah di pelabuhan Nishi no Omote, di Pulau Tanegashima.

Akhirnya, Francis Xavier meninggal dunia pada 3 Desember 1552 di Sancian, China. Sebelum wafatnya, ia mengucapkan “Ya Tuhan, padaMu aku percaya.”

Belajar dari perjalanan hidup Francis Xavier, kita diingatkan bahwa kerapkali dalam kehidupan, apa yang kita impikan belum tentu sesuai dengan kehendak Allah. Namun di balik itu, pastilah ada suatu rencana besar Allah. Francis Xavier hingga akhir hidupnya tidak pernah pergi ke Yerusalem sebagaimana diimpikannya. Namun penyerahan hidupnya pada kehendak Allah untuk menjalankan misi ke Asia, telah membuat jutaan orang menjadi pengikut Kristus dan ia pun dianugerahi gelar orang kudus.

Hingga saat ini, Jepang masih dapat dianggap sebagai tanah misi. Prosentase umat Kristiani hanya 0,5% (sudah termasuk Katolik dan Protestan). Jepang memiliki 16 Keuskupan. Di Keuskupan Kagoshima, terdapat 29 paroki dengan 27 imam diosesan. Jumlah ini mungkin sudah berkurang, mengingat beberapa waktu lalu ada beberapa imam yang meninggal dunia. Maka jangan heran, jika di Jepang ada banyak imam dan suster yang didatangkan dari negara lain.*

BACA JUGA: https://www.tempusdei.id/2020/06/1102/kagoshima-napoli-nya-jepang.php

Related Post

Leave a Reply