Virus korona yang tiba-tiba saja mengepung dunia dan telah menelan begitu banyak korban, membuat seluruh dunia berada di bawah bayang-bayang maut. Tak satu tempat pun yang aman untuk menjadi tempat pengungsian. Virus yang dikenal sebagai Covid-19 ini kemudian “memaksa” manusia untuk berperilaku baru dan saling penuli. Tidak peduli berarti mati. Yang mati bisa siapa saja, dan sangat mungkin terjadi secara berantai.
Terhadap kenyataan tersebut, penyair Joko Pinurbo melihat pesan penting bagi umat manusia. “Manusia harus bisa mengendalikan egoisme dan egosentrismenya. Manusia harus membangun kembali harmoni dengan alam dan sesama makhluk hidup,” kata penerima sejumlah penghargaan, antara lain Kusala Sastra Khatulistiwa (2005, 2015), South East Asian (SEA) Write Award (2014).
Dan berhadapan dengan pandemik ini, menurut Tokoh Sastra versi Majalah TEMPO ini, manusia harus mengembangkan budaya hidup bersih dan sehat. “Juga harus meningkatkan solidaritas atau kesetiakawanan sosial karena dalam situasi seperti ini tidak ada seorang pun yang dapat bertahan hidup dengan kemampuan dan kekuatannya sendiri,” ungkap alumni Seminari Mertoyudan dan Fakultas Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Sanata Dharma Yogyakarta ini.
Lantas bagaimana Jokpin, panggilan akrabnya mengisi masa-masa stay at home? Ia tetap dengan kebiasaannya membaca dan menulis. “Kesibukan tidak berkurang, tetap membaca dan menulis. Sering juga mengisi acara-acara daring, dan melaksanakan berbagai kegiatan atau pekerjaan yang berhubungan dengan dunia sastra atau penulisan,” jelasnya menjawab tempusdei.id.
Meski mengaku belum banyak menghasilkan puisi di masa korona ini, ia telah menyelesaikan sejumlah puisi, beberapa di antaranya berkaitan dengan korona.
Memutuskan Secermat-cermatnya
Sebagai seorang penyair, Jokpin terampil dalam mengolah kata-kata agar puitik dan bertenaga. Menurut pengakuannya, kelahiran puisi-puisinya yang jenaka, namun filosofis itu dipicu oleh macam-macam hal seperti bacaan, berita, peristiwa aktual, renungan Kitab Suci, obrolan dengan teman, dan sebagainya. Namun untuk pemilihan atau penggunaan sebuah kata dalam puisi-puisinya, Jokpin mengaku menggunakan prinsip kerja Chairil, yakni menimbang, memilih, dan memutuskan secermat-cermatnya. Bukan hanya dari segi ketepatan makna, melainkan pula dari segi efek puitiknya. Meski begitu, ia tidak memerlukan waktu khusus untuk mengendapkan dan mengerjakan kata-kata. Bisa kapan saja.
Ia pun sepakat dengan penyair Sapardi Djoko Damono bahwa puisi juga adalah soal permainan bunyi, bahwa daya puisi antara lain memang terkandung dalam gema kata-katanya. “Puisi adalah bunyi yang telah dibekukan dalam teks atau tulisan,” jelasnya.
Kembali ke soal Covid-19, apa yang bisa dilakukan para seniman susastra dalam melawan Covid-19 ini? “Tetap kreatif dalam keterbatasan gerak fisik. Imajinasi toh tidak bisa dibatasi. Gunakan media digital untuk berkreasi dan melakukan sosialisasi karya,” jawabnya.
Menyangkut dunia yang telah banyak beralih ke dunia digital, Jokpin mengatakan bahwa dirinya sudah lama menyadari bahwa perkembangan zaman merupakan keniscayaan yang tidak bisa dielakkan dan akan semakin banyak produksi karya sastra secara digital. Meski begitu, menurutnya, produk cetak tetap dirindukan dan dibutuhkan. “Buktinya, di tengah-tengah masa pandemi ini, buku-buku puisi saya tetap dicetak ulang,” katanya menunjuk contoh, termasuk novel Srimenanti karyanya yang telah mengalami cetak ulang.
Membaca dan merenungkan puisi-puisi Jokpin, akan tersua karakter puisi yang merupakan perpaduan narasi, humor, dan ironi. Ia terampil mengolah dan meletakkan kata-kata secara tepat pada konteks bersama gema bunyi yang menyertainya. Puisi-puisinya banyak mengandung refleksi dan kontemplasi atas kehidupan sehari-hari. Sekadar contoh, antologi puisinya berjudul Selamat Menunaikan Ibadah Puisi.
Penyair dan pengamat sastra Yoseph Yapi Taum dalam Kegelisahan Eksistensial Joko Pinurbo : Sebuah Tanggapan Membaca (dalam Jentera, Volume 5, Nomor 2, Desember 2016) menyebutkan bahwa Joko Pinurbo memberi pengaruh besar dalam perpuisian Indonesia mutakhir. “Ia berhasil membangkitkan bahasa sehari-hari dengan frasa yang terang sebagai alat puitik, sementara kebanyakan penyair hanya mendedahkan keruwetan (dan bukan kompleksitas) dengan kalimat patah-patah yang sering mengabaikan logika,” tulis Yapi.
Kata Hikmat Dermawan masih seperti ditulis Yapi, Jokpin tidak segan-segan menggunakan kosa kata sehari-hari atau bahasa lisan dalam keseharian. Jokpin bahkan tidak mengharamkan kata-kata semacam kok, nampang, sewot, ngacir, celana kolor, emoh. Kehadiran kata-kata sehari-hari ini mengurangi unsur defamiliarisasi dalam pilihan kata yang biasanya menjadi ukuran nilai kesastraan sebuah puisi. (TD)