Fri. Nov 22nd, 2024
Eleine Magdalena. Foto: dokumen pribadi

Oleh Eleine Magdalena, Penulis buku-buku best seller, sedang menempuh studi doktoral Teologi

Seorang teman, yang istrinya baru saja meninggal, menceritakan pengalaman sepuluh tahun pernikahannya. Ia membuka ceritanya dengan mengatakan bahwa istrinya adalah jodoh yang tepat dari Tuhan untuknya. Jujur waktu itu saya kaget. Karena kami semua tahu betapa berat perjuangannya melalui sepuluh tahun pernikahannya. Istrinya mulai sakit sejak tahun pertama pernikahan mereka.

Ia melanjutkan ceritanya bahwa sulit baginya untuk menerima dan mengampuni keadaan, istri, dirinya dan juga Tuhan. Setiap malam selama bertahun-tahun ia hampir tidak pernah menikmati tidur nyenyak karena sakit istrinya yang kian hari kian parah.

Malam hari istrinya kesakitan dan sering harus ke UGD untuk menerima suntikan pereda sakit. Gangguan pada ginjal menahun yang diderita istrinya telah “memenjarakan” dirinya. Sekadar pergi jalan-jalan berdua seperti layaknya pasangan suami istri sudah tidak mungkin. Menikmati hobi adalah sesuatu yang tidak pernah ia lakukan sejak menikah. Bahkan untuk membaca buku rohani pun ia harus mencuri kesempatan dengan berangkat ke tempat kerja lebih awal. Sejak pagi hingga pagi lagi sakit istrinya membuatnya harus terjaga baik secara psikis maupun fisik.

Sebagaimana di awal ceritanya, ia menutup kisahnya dengan pernyataan bahwa Tuhan telah memberikan jodoh yang paling tepat dari semua wanita yang dikenalnya. Mengapa? Karena melalui peristiwa yang mereka jalani bersama akhirnya mereka menemukan Tuhan. Teman saya melihat campur tangan Tuhan yang nyata melalui orang-orang yang bahu-membahu menolong keluarganya sepanjang hidup perkawinan mereka. Mulai dari pertolongan dana, darah, tempat tinggal, dukungan moral dari orang-orang di sekitarnya. Semua itu dilihatnya sebagai pertolongan Tuhan bagi keluarganya.

Ia pun mengakui bahwa tanpa penderitaan yang sedalam itu mungkin ia tidak pernah mengenal Tuhan secara sungguh-sungguh. Ia pun menguatkan istrinya untuk tidak merasa bersalah. Istrinya merasa menjadi beban yang menyusahkan bagi suami, keluarga, dan orang lain. Dengan bijak suaminya meneguhkan bahwa justru penderitaan hebat yang ditanggungnya selama lebih dari sepuluh tahun sakit itu telah menguatkan banyak orang yang sakitnya tidak separah dia. Dalam sakit ia tetap dapat menjadi saksi. Melalui sakitnya pula Tuhan berkarya untuk menumbuhkan iman, harapan, dan kasih dalam diri suaminya. Ia justru telah memberi diri kepada orang lain melalui sakitnya.

Beberapa bulan menjelang akhir hidupnya, sang istri mulai rajin berdoa. Hal yang amat disyukuri oleh suaminya. Ia meninggal tepat ketika suaminya berdoa koronka, doa yang paling disukai oleh istrinya. Di usia yang ke-38, istrinya telah menyelesaikan tugasnya di dunia ini. Hidup dan sakitnya telah menumbuhkan kebajikan-kebajikan dalam diri suaminya. Ia semakin mengenal Tuhan. Tuhan selalu memberi sentuhan yang menguatkan untuk meneruskan langkah setapak demi setapak.

Tanpa tindakan cinta yang sejati, sulit dibayangkan suaminya bertahan dalam perkawinan yang seberat ini. Kesetiaan dan komitmen membuahkan kebaikan. Kasih dan kesetiaan tanpa pamrih yang diterima istrinya tentu merupakan kekuatan istimewa untuk memanggul salib penyakit. Bisa dibayangkan betapa berharganya perhatian dan kasih sayang yang tulus di saat sakit seperti itu. Hanya cinta dan bukan perasaan, hanya komitmen dan bukan selera yang telah menumbuhkan hidup rohani suami istri ini.

Perasaan bukanlah dasar kita mencintai. Perasaan dapat berubah-ubah. Sedangkan cinta adalah tindakan karena kehendak. Mencintai adalah keputusan dan komitmen. Dalam memegang komitmen kita bertumbuh menjadi dewasa. Dalam keputusan untuk mencintai Tuhan dan sesama, kita bertumbuh dalam iman, harap, dan kasih. (Kisah Kasih Tuhan, 2015)

 

Related Post

Leave a Reply