Fri. Nov 22nd, 2024
Romo Felix Supranto, SS.CC. Foto: EDL

Oleh Romo Felix Supranto, SS.CC

Kita semua pasti memiliki cara pandang  yang berbeda tentang kehidupan.  Cara pandang tersebut menunjukkan kedalaman batin kita dalam menghayatinya seperti dalam ceritera  berikut ini.

Pada suatu hari seorang bapak yang kaya raya membawa puteranya yang masih kecil ke sebuah desa yang sangat terpencil. Tujuannya adalah ia mau menunjukkan kepada anaknya  betapa miskinnya kehidupan masyarakat desa tersebut.  Mereka tinggal beberapa hari di kebun dari sebuah keluarga yang dianggap paling miskin.

Sehabis perjalanan dari desa tersebut, bapak itu bertanya kepada puteranya tentang yang sudah ia lihat di sana.  Puteranya tersebut menjawab, “Saya melihat betapa diberkatinya keluarga – keluarga itu! Kita memiliki sebuah kolam kecil di taman kita, tetapi mereka memilki sungai yang tak ada  ujungnya. Kita membeli beberapa lampu penerangan, tetapi mereka memiliki bintang-bintang yang tak terhitung jumlahnya yang bertaburan  di langit. Kita harus membeli makanan, tetapi mereka menumbuhkannya sendiri. Kita harus membeli daging, tetapi mereka beternak sendiri”.  Bapak tersebut tidak bisa berkata  apa-apa mendengarkan pernyataan puteranya, “Ayah, terima kasih ya, telah memperlihatkan kepadaku betapa miskinnya kita”.

Ceritera tersebut mau menunjukkan bahwa kualitas batin seseorang menentukan  cara pandangnya tentang sebuah keadaan.  Ayah dalam ceritera tersebut hanya melihat orang-orang miskin itu dari apa yang tidak mereka punyai.   Sebaliknya, puteranya tersebut memandangnya dengan lensa yang berbeda sehingga ia akhirnya berkesimpulan  bahwa keluarganya adalah lebih miskin daripada orang-orang di desa itu.  Lensa batinnya sangat jernih sehingga ia bisa menemukan banyak hal yang baik  dalam segala sesuatu. Ia tidak tertipu oleh keadaan.

Pada saat ini banyak orang  berpikir bahwa virus korona telah menghancurkan dunia.  Sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, mereka berkata dengan frustasinya “Dunia kita sudah kacau dan berantakan”.  Kita  memang harus mengakui bahwa kita sedang berada dalam masalah yang berat, tetapi kita harus yakin   bahwa banyak hal yang baik sedang terjadi juga di tengah situasi yang kini kita pandang sebagai sebuah kesuraman.  Kita harus percaya bahwa Allah sanggup membalikkan keadaan yang buruk menjadi lebih baik.

Yang kita butuhkan saat ini adalah harapan. Harapan itu harus kita bangun  bersama. Caranya: Kita  hendaknya saling mengingatkan bahwa telah terlalu banyak masukan negatif yang telah memenuhi pikiran kita sehingga kita tidak dapat menemukan lagi hal-hal yang positif. Hal-hal yang positif tersebut hanya dapat dilihat dengan lensa batin yang murni.

Setiap saat kita hendaknya mempertajam lensa batin kita dengan  melatih diri untuk senantiasa mencari hal-hal yang baik dalam kehidupan kita dan dalam diri orang-orang lain di sekitar kita. Ketajaman lensa batin ini membuat kita tetap memiliki pengharapan di tengah kesulitan. Pengharapan ini memberikan kekuatan Ilahi kepada kita untuk menjadikan kesukaran sebagai sebuah peluang.

Kesimpulan dari permenungan kita ini: Cara pandang yang positif akan menjadikan kesulitan sebagai kekuatan untuk  melangkah menuju kebahagiaan di masa depan.

Embusan angin bukan bertujuan untuk merobohkan pohon, tetapi untuk menguatkan akarnya. Karena itu, jangan terus menerus  menangisi keadaan  saat ini, tetapi tataplah dan raihlah  impian indah di depan mata kita. Allah adalah kekuatan kita untuk terus maju walaupun banyak beban hidup di pundak kita: “Tidakkah kautahu, dan tidakkah kaudengar? Tuhan ialah Allah kekal yang menciptakan bumi dari ujung ke ujung; Ia tidak menjadi lelah dan tidak menjadi lesu, tidak terduga pengertianNya.  Dia memberi kekuatan kepada yang lelah dan menambah semangat kepada yang tiada berdaya” (Yesaya 40 : 28 – 29).

Salam Tangguh!

Related Post

Leave a Reply