Oleh Eka Budianta, Penyair dan Kolumnis
Vincentius Markus Marlon MSC, pastor dan intelektual itu telah gugur. Rabu pagi, 5 Agustus 2020, pukul 02:20 WITA umat paroki St. Yoseph, Dumaring, Tanjung Selor, Kalimantan Utara, kehilangan gembalanya. Dua jam berikutnya, kabar itu sudah menyebar ke seluruh Indonesia. Mantan wartawati Tempo, Sri Indrayati menyatakan shock pada pukul 04:06 WIB.
Kabarnya pastor yang cerdas itu terlalu lelah. Seharusnya pada 2 Agustus dia pindah ke Sulawesi Selatan. Tapi atas permintaan umatnya, keberangkatannya ditunda satu pekan, menjadi 9 Agustus. Nah! Dalam suasana berat hati karena umat tak mau berpisah dengan pastornya, Tuhan memanggil. Dengan begitu, Romo Marlon tetap di Tanjung Selor, menjadi monumen setia dalam pelayanannya.
Meskipun belum pernah bertemu muka, setiap hari saya rasakan kehadirannya. Pastor kelahiran Jawa Tengah, 1966 itu rajin mengirimkan renungan harian untuk WAG Komunitas Deo Gratias. Dia memang penulis andal. Renungannya ringkas, fokus dan sangat kaya akan referensi. Tentu saja setiap hari dia dihujani jempol, emotikon puas, bangga dan seruan “mantab!”
Belum pernah saya menemukan komentar yang berani meragukan keabsahan, keindahan, apalagi kebenaran tulisannya. Hanya sesekali saya ingin berdecak “Ah, masak?” Itu pun bukan karena ingin mempertanyakan, tapi semata-mata karena kagum. Hampir di setiap alinea tulisannya, Romo Marlon suka memberikan kosa kata baru. Bisa dari bahasa Latin, Inggris, maupun Jawa beserta nama-nama penulis terkemuka. Terkesan semua dilakukan karena ia menjiwai dunia intelektual yang dihidupinya.
Ada kalanya Romo Marlon mengirim pesan WhatsApp (WA) beberapa kali dalam sehari. Terutama bila ada pertemuan Zoominar atau Webinar yang kami ikuti bersama. Satu contoh, ketika saya ajak mengikuti diskusi tentang jagung manis yang ditanam dalam pot atau poly bag. Atau tentang buku-buku bagus yang pernah kami baca. Misalnya Bumi Manusia karangan Pramoedya Ananta Toer dan Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi AG. Semangatnya untuk belajar selalu berkobar-kobar.
Romo Marlon juga gemar membagikan suratkabar pada teman-temannya. Karena itu sedapat mungkin kami kirimkan aneka majalah dan koran untuknya. Ia ikut aktif ketika teman-teman komunitas penulis Katolik belajar membuat haiku dan tanka. Bersama Lisbeth Ho di Salatiga dan Koko Miko di Jakarta, Romo Marlon bahkan berencana menyusun buku kumpulan puisi untuk merayakan pesta perak imamatnya tahun depan. Bersamaan dengan itu, akan terbit pula buku-buku kumpulan renungannya, yang terdiri 8 jilid.
Di antara belasan buku karangannya yang terkenal adalah “Mencari Makna Peristiwa”, “Tuhan Mencintaimu”, dan “Perenungan Kematian”. Dalam renungan itu Romo Marlon mengutip neneknya yang menegaskan “kamu tidak pernah mati!” Saya pikir betul. Dia gugur, dan kasih sayangnya abadi. Romo Markus Marlon telah meneladani Kristus, menjadi gembala sejati.
Seorang Pastor yang bisa memiliki hati umatnya dari bayi hingga jompo pria maupun wanita.
menyapa dari rumah kerumah tanpa ada rasa beban bahkan dikejauhan pastoran tetap ditempuh dengan senyum dan ramah.Kepergian membuat umat bagai lautan mengantar dengan tangisan bagai nyanyian/koor yang dilontarkan serentak saat peti jenazah di angkat ke tempat pamakaman.