ANDA pernah nonton film Mel Gibson berjudul The Passion of the Christ? Jika iya, tentu Anda ingat momen mengerikan selama persidangan Yesus di hadapan Pilatus ketika orang banyak memilih untuk membebaskan Barabas daripada Yesus. Saat itu wajah Kristus berdarah, memar dan hancur, namun dalam kondisi itu wajahnya memancarkan ketenangan, kedamaian, dan keindahan, jika dibandingkan dengan wajah Barabas yang vulgar dan jelek. Ia seorang terpidana pembunuh, penuh pembangkangan, memiliki sifat buruk.
Tampak dalam sebuah adegan film tersebut, Barabas bertemu mata dengan Yesus dan berhenti sejenak. Barabas (Pietro Sarubbi) seperti tertikam oleh tatapan itu, sebelum menuruni tangga menuju kerumunan.
Para pemeran hanyalah aktor dalam adegan. Jim Caviezel dalam peran Yesus, dan aktor Italia Sarubbi dalam peran Barabbas. Keduanya dirias sedemikian rupa sehingga wajah asli tidak bisa dikenal.
Ada yang menggetarkan bagi kedua bintang tersebut. Proses pembuatan film tersebut memberi pengalaman transformatif bagi keduanya. Kesaksian Caviezel telah dibagikan dan didiskusikan secara luas. Sarubbi juga mengalami transformasi meski kemunculannya di layar hanya beberapa menit.
Kepada aleteia.org Sarubbi membagikan kesaksianya dan kemudian tempusdei.id menerjemahkan secara bebas. “Saya adalah seorang aktor dan juga seorang pria yang mencoba hidup sesuai dengan pengalaman kristiani yang saya miliki,” kata Sarubbi.
Ketika saya bermain sebagai Barabas, Roh Kudus menggunakan satu orang untuk melihat pria lain. Sekarang sudah jelas bagi saya, itu “mengganggu dan meresahkan”.
Kemudian, saya membaca ensiklik Benediktus XVI “Deus Caritas Est,” di mana ada ungkapan yang mengatakan dengan sangat jelas yang juga terjadi pada saya: Tuhan menjumpai kita selamanya, melalui mata pria dan wanita yang mencerminkan kehadiran Tuhan.
Inilah cara Tuhan untuk melihat orang melalui mata orang lain. Saya tidak dapat membayangkan bahwa seorang aktor sederhana yang memerankan Yesus dapat melihat saya dengan cara yang membuat jiwa saya terbalik. Sejak saat itu, ada perubahan dalam kehidupan pribadi, manusia, dan profesional saya.
Saya sangat terkejut dengan sebuah bagian yang ditulis oleh Uskup Nicola Lepori tentang St. Peter: “Dia bertemu Simon dan memanggilnya Peter, memanggilnya dengan nama baru, membuatnya baru dan meninggalkannya segalanya.”
Sejak tatapan mata itu, tantangan yang sepenuh manusiawi dimulai. Saya jatuh cinta dengan Kristus, dan berupaya untuk hidup sesuai dengan CintaNya. Memang saya tetap dengan dosa dan dan ketakberdayaan, tetapi saya diperkaya oleh harapan bahwa melalui doa saya dapat berjalan tanpa rasa takut ke arah yang baru. Pertobatan ini membuat saya meninggalkan teater, mual oleh kedangkalan dan kepicikan yang ada di sana. (EDL/aleteia.org)