Oleh G.F. Didinong Say, pengamat sosial politik, tinggal di Jakarta
Secara bercanda, Ahok pernah berkata bahwa ….jika dirinya dikritik atau ditantang, maka tanpa sungkan ia akan frontal menghadapi kritikan dan tantangan tersebut. Ahok akan menunjukkan secara terang benderang alasan dari sesuatu yang ia lakukan yang dikritik tersebut. Cara ini mewakili diri Ahok yang memang suka blak-blakan tanpa tedeng aling-aling.
Sebaliknya dengan Jokowi. Ia menghadapi demonstrasi berkepanjangan di Solo saat menjabat sebagai Walikota, dengan sangat telaten. Ia memilih berdialog dengan para pengunjuk rasa. Begitu sabar Jokowi, sampai-sampai para demonstran ini sadar, lalu berbalik berinisiatif bahkan proaktif bersama langkah dan kebijakan Jokowi. Itulah cara dan kejutan ala Jokowi.
Langkah taktis dan strategis Jokowi memang kerap di luar kalkulasi politik. Tak terduga. Yang teranyar adalah penganugerahan penghargaan Bintang Mahaputera Nararya kepada Fadli Zon dan Fachri Hamzah pada Kamis, 13 Agustus 2020, dalam rangka perayaan HUT Kemerdekaan RI ke-75.
Orang bertanya-tanya, bagaimana mungkin penghargaan kenegaraan setinggi itu bisa ia berikan kepada dua orang yang tidak pernah berhenti mengeritiknya dengan pedas, bahkan kadang teramat pedas? Rasanya, tidak ada kebijakan Jokowi yang benar di mata duo F itu. Karena itu, bagi sementara orang, serasa tidak masuk akal penghargaan itu diberikan kepada mereka!
Sesungguhnya apresiasi negara bagi warga negara adalah sebuah kegiatan rutin tahunan saja. Asal memenuhi berbagai syarat formal disertai sejumlah pertimbangan yang matang, maka Dewan Tanda Gelar akan merekomendasikan sejumlah nama untuk dianugerahi penghargaan dan tanda jasa oleh Presiden atas nama Negara.
Namun, untuk tahun ini kegiatan tersebut terasa “istimewa” karena muncul 2 nama politisi tersebut. Publik bertanya-tanya juga, apakah ini cara Jokowi membungkam mereka? Jokowi menanggapi dengan santai bahwa keputusan pemberian penghargaan tersebut sebagai konsekwensi dari demokrasi. Jokowi menegasi dugaan itu. Ia justru bangga dengan dinamika demokrasi. Baginya, para pengeritik bukanlah musuh. Mereka adalah saudara sebangsa yang berusaha memberikan koreksi dengan cara masing-masing bagi kemajuan bangsa.
Lalu, apakah selanjutnya kedua politisi ini akan bungkam? Kiranya tidak demikian.
Karakteristik kepemimpinan Jokowi sejauh track record yang telah ditorehkannya memang sangat beraroma harmoni gaya politik Jawa. Namun catatan tentang kegigihan dan keteguhan Jokowi juga senantiasa menjadi warna dominan dalam setiap langkah dan kebijakan yang diambilnya.
Dengan “merangkul” Fadli Zon dan Fachri Hamzah, seperti juga ketika menerima Prabowo dalam kabinet pemerintahan, Jokowi secara tulus dan total sedang mengirimkan signal tentang pentingnya persatuan dan kesatuan bangsa terutama dalam menghadapi tantangan berbangsa dan bernegara hari ini dan ke depan yang tidak ringan.
Masalah pandemi global Covid 19 berikut dampaknya, terutama di bidang ekonomi yang menjurus kepada resesi, persoalan intoleransi dan radikalisme yang bersumber dari paham trans nasional adalah contoh-contoh dari problem dan tantangan yang hanya bisa dihadapi dan diatasi bersama oleh segenap elemen serta komponen bangsa dan negara dalam semangat nasionalisme yang kuat. Demi Indonesia Jaya. Dirgahayu Indonesia.