Oleh Yustinus Prastowo, Staf Ahli Menteri Keuangan RI
Agaknya sudah menjadi takdir, semesta yang kompleks ini kerap diringkus dalam penyederhanaan, bahkan tak jarang dikotomis. Seolah hanya dua pilihan tersedia: optimistis atau pesimistis, penuh harap atau murung, progresif atau konservatif. Pula ritual pencandraan terhadap Nota Keuangan dan RAPBN. Namun tentu saja warna-warni penilaian itu sah dan penting bagi diskursus publik yang sehat.
Padahal baik juga bila RAPBN 2021 dan APBN 2020 ditilik sebagai anomali dalam konteks abnormalitas. Kondisi yang luar biasa karena pandemi covid-19, yang membuat kita tunggang langgang dan tatanan mapan pun porak poranda. Sudah barang tentu Nota Keuangan dijejali gugusan angka sehingga terasa kering dan pucat: target pertumbuhan 4,5-5,5%, inflasi 3%, nilai tukar Rp 14.600,- , desifit 5,5% dari PDB, target perpajakan Rp 1.481,9 T, belanja Pusar Rp 1.951,3 T, anggaran Kementerian PUPR Rp 149,8 T, biaya pemulihan ekonomi Rp 356,5 T, transfer ke daerah dan dana desa Rp 796,3 T, pembiayaan utang Rp 1.142,5 T, dan seterusnya.
Namun jika Pidato Nota Keuangan 2021 pada 14 Agustus 2020 dibaca dalam satu tarikan nafas dengan Pidato Kenegaraan di pagi hari, angka-angka itu menjadi bernyawa dan bermakna. Pidato Kenegaraan adalah kompas penunjuk arah, Nota Keuangan adalah bahteranya. Pidato Kenegaraan Presiden Jokowi yang disampaikan 14 Agustus 2020 sarat dengan imajinasi, pun amat bertenaga. Ada ajakan yang sangat kuat untuk tetap merawat harap, di tengah ketidakpastian yang dahsyat. Analogi yang pas: bak komputer yang sedang ‘hang’ dan perlu reset, rebooth atau install ulang, pula dengan kehidupan sosial ekonomi kita. Pandemi ini memberi kita waktu jeda, menginterupsi mobilitas, bikin sejenak bingung lantas merenung.
Selebihnya, kita perlu membajak momentum untuk bertransformasi, bikin terobosan, dan melakukan lompatan besar. Utopiskah? Tidak, lantaran banyak hal yang selama ini rapat tersembunyi menjadi tersingkap. Di balik wabah, kita mendapat hikmah dan berkah. Cara berpikir yang linier, rutin, dan amat biasa tak lagi relevan. Daya adaptasi dan kelenturan menanggapi perubahan yang amat cepat menjadi penentu. Meski sempat tertatih, kini kita terlatih. APBN 2020 menjadi sedemikian dinamis sekaligus fenomenal. Di tengah hantaman krisis karena covid yang tanpa ampun menghentikan laju pertumbuhan ekonomi, kita justru bisa merancang ulang desain kebijakan fiskal yang lebih berkualitas, fokus, dan punya prioritas.
Ketika pasar lumpuh dan rakyat terimpit, tuntutan akan kehadiran negara sangat kuat. Tak pernah terbayangkan kita mampu mengalokasikan belanja perlindungan sosial, kesehatan, insentif untuk UMKM, dan stimulus yang sedemikian besar: Rp 695,2 T! Defisit dibuat agak lebar sehingga kita punya ruang fiskal yang cukup untuk ekspansi. Jika pajak menjadi stimulus dan alat negara membantu warga, maka pembiayaan dengan utang menjadi pilihan paling mungkin. Berkat spirit gotong royong, kita berutang pada Bank Indonesia melalui skema berbagi beban yang meringankan. Secara tiba-tiba, bersama kedermawanan dan solidaritas warga, negara hadir dan semakin signifikan.
Mampu Belajar dan Beradaptasi
Ya, kita mampu, bahkan melanjutkannya! RAPBN 2021 adalah kesinambungan APBN 2020, maka percepatan pemulihan ekonomi dan penguatan reformasi menjadi pilihan. Sektor kesehatan, pendidikan, pangan, teknologi, dan pariwisata menjadi prioritas. Itu sektor yang berkat pandemi, tersingkap menggendong kekurangan dan penting diperkuat agar kita hebat. Birokrasi yang kerap dikeluhkan tak perlu dijadikan kambing hitam terus-menerus. Selama pandemi, toh mereka mampu belajar dan beradaptasi cepat dengan kombinasi kerja di rumah dan di kantor, menggunakan teknologi untuk melayani dan mempertanggungjawabkan pekerjaan. Kebijakan dan regulasi yang mempersulit dan bikin ribet, pelan tapi pasti dipangkas, prosedur yang tumpang tindih didandani. Berkat ruang jumpa maya, rapat berlangsung lebih intensif dan efektif. Efisiensi ditangguk, realokasi anggaran dilakukan dan banyak rencana besar dapat dirancang dan diwujudkan. Pembalikan paradigmatik inilah momentum yang harus dibajak dan terus dijaga.
Itulah bingkai kebijakan fiskal yang berkesinambungan dan diakselerasi pengalaman pandemi. Kembali ke awal, lantas perlukah kita pesimis? Atau wajib optimis? Tak perlu jatuh dalam dikotomi. Seyogianya, dengan panduan arah yang jelas dan kendaraan yang aman, kita menjadi lega meski harus tetap waspada. Situasi ini mengundang kita semua hadir dan terlibat, berkontribusi dengan talenta dan peran masing-masing. Ini saatnya komitmen pada visi konstitusi dan ikatan sebagai sebuah bangsa diuji. Situasi sungguh tak mudah, tetapi bukankah itu pula kesadaran dan tindakan yang melahirkan kemerdekaan Indonesia? Jerih payah yang terbayar lunas.
Pada akhirnya kita terjaga, ekonomi bukan sekadar urusan angka, tapi soal rasa dan asa manusia. Kiranya lebih tepat menilai RAPBN 2021: memijak realitas seraya merawat harapan. Pandemi membangkitkan imajinasi tentang apa makna menjadi Indonesia dan menghidupi kekitaan!
Merdeka!