Saya berharap bisa kembali ke Sumba secepatnya untuk meneruskan tugas yang sekaligus panggilan saya membantu masyarakat Sumba—Andre Graff
ANDRE GRAFF bukanlah pengangguran di negaranya Prancis. Sebelum datang dan menetap di Lamboya, Sumba Barat, NTT dia adalah seorang pimpinan perusahaan bidang pariwisata. Dia juga adalah pilot dan sekaligus instruktur pilot balon panas. Hidupnya terbilang nyaman. Dia datang dan menetap di Sumba bukan untuk menjadi pengusaha, atau menjalankan beberapa bisnis keren lain, tapi untuk menjadi tukang gali sumur untuk masyarakat miskin. Wow!
Mengapa ia tinggalkan kenyamanan di negerinya dan memilih hidup meranggas di alam yang keras bersama kaum jelata?
Pada sepenggal siang yang terik pada tahun 2004, tiga orang perempuan setengah baya dengan ember berisi air sekitar 20 liter di atas kepala, berjalan mendaki jalan setapak menuju Kampung Waru Wora, Laboya, sekitar 30 km ke selatan kota Waikabubak, Kabupaten Sumba Barat, NTT. Nafas mereka tersengal-sengal sebab jalan yang mereka lalui terjal dengan kemiringan sekitar 45 derajat dan berbatu lepas. Saat itu udara terasa panas. Keringat kembali mengucur membasahi badan setelah sebelumnya mandi di sebuah rawa. Jarak antara rawa dan kampung sekitar 3 km. Di rawa yang dihuni ikan karisa dan kodok itu, mereka mandi, mencuci pakaian lalu pada bagian rawa yang lain mereka mengisi ember mereka untuk dibawa pulang.
“Episode” kehidupan tersebut André Graff (59) saksikan dengan mata kepala sendiri dan membuat mata batin dan nuraninya “sangat terganggu”. Pria berbadan kurus itu berada di Sumba sebagai seorang turis untuk menikmati eksotika pulau yang terkenal dengan kuda Sandalwood, kampung-kampung tua dan megalitikumnya. André tak ubahnya turis-turis lain. Ia rajin keluar masuk kampung tua sambil menenteng kamera dan memotret setiap objek atau orang yang ia jumpai sambil meminta alamat mereka. Ia berjanji akan mengirimkan foto hasil jepretannya.
Dengan bahasa Indonesia seadanya, André berusaha menggali informasi seputar aktivitas ketiga ibu tersebut. Loru, salah satu dari antara mereka menjelaskan bahwa hampir tiap hari ia datang menimba air di tempat itu. Jika anaknya yang masih SD sempat, dialah yang menimba air sebelum berangkat ke sekolah.
Selain pengalaman dengan ketiga ibu tersebut, André sering bertemu dengan anak-anak kecil berkulit legam tanpa alas kaki berjalan jauh menimba air beberapa kali dalam sehari.
Sebelum André datang, masyarakat setempat belum pernah menggali sumur. Mereka juga tidak tahu bagaimana menemukan sumber air. Kampung mereka pun terletak di atas bukit sehingga kalau pun mereka menggali sumur, pasti sangat dalam dan belum tentu ada sumber airnya. Karena itu mereka tetap pergi ke mata air atau rawa meskipun jauh. Sekarang sumber air untuk kampung Waruwora dan sekitarnya sudah dekat rumah. Andre telah menemukan sumber air yang besar di legok tanah pada dataran rendah lalu menarik air hingga ke teras rumah masyarakat menggunakan tenaga matahari.
Gara-gara Alamat Tak Lengkap
Ketika izin plesirnya di Sumba pada Juli 2004 habis, André kembali ke negerinya, Prancis. Di sana ia mencetak foto-foto tersebut. Ia telah mencetak 3.547 foto dan siap-siap mengirimkan. Ternyata, alamat yang Andre dapatkan sama sekali tidak lengkap sehingga bisa dipastikan, kalau ia tetap mengirim foto-foto menggunakan alamat yang ada, suratnya tidak akan sampai. Bagi André, janji adalah hutang. Ia lalu bertekad kembali ke Sumba untuk membawa foto-foto tersebut setahun kemudian.
Saat datang untuk kedua kalinya pada tahun 2005, André kembali bertemu dengan beberapa ibu di rawa yang sama seperti kisah di awal tulisan ini. Di banyak wilayah, kondisi yang hampir sama pun ia jumpai. Ia melihat begitu sulitnya kehidupan masyarakat. “Tapi anehnya mereka masih tersenyum dan terus berjuang. Keadaan ini benar-benar menantang dan menggoda saya. Saya lalu bilang, sudah cukup saya senang-senang di negara kaya,” ungkapnya tertawa kecil. Dari dasar hatinya timbul keinginan untuk melakukan sesuatu. Tanpa banyak berteori dan berdiskusi, ia memutuskan untuk menjadi penggali sumur bagi masyarakat meski dia sendiri tidak punya pengalaman melakukan pekerjaan tersebut.
Di perkampungan yang di legok atau lembah, dia mengajak masyarakat belajar menggali sumur, membuat buis beton. Untuk jasa orang-orang tersebut, André “menggaji” Rp30.000/hari/orang. Sejak 2005 hingga hari ini (24/8/20), André telah berhasil menggali 42 buah sumur bagi masyarakat dengan biaya dari kantong pribadi dan bantuan beberapa temannya. Kalau dirata-rata, setiap sumur menghabiskan biaya Rp12-15 juta,- Kedalaman sumur bervariasi antara 4 sampai 23 meter. Waktu pengerjaannya bervariasi antara satu minggu sampai dua bulan. Sangat tergantung dari kondisi tanahnya, berbatu keras atau tidak.
Sumur-sumur yang menggunakan ember timba itu tersebar di kampung-kampung. Sejumlah sumur menggunakan pompa air bantuan perusahaan ponpa air Shimizu. Dengan air tersebut masyarakat bisa menanam sayur di sekitar rumah, memelihara ternak seperti bebek, dan lain-lain. Sebelumnya mereka hanya memelihara ternak yang mampu bertahan hidup walau kekurangan air seperti babi, anjing, kuda, kerbau dan lain-lain.
Yang menarik, selain terjun langsung menjadi penggali, sehari-hari pria yang hidup melajang ini tinggal di sebuah rumah yang terbuat dari alang-alang dan bambu dengan peralatan sangat sederhana. Andrepun berkali-kali mengalami kecelakaan saat menggali sumur dan mencari sumber air di gua-gua dan hampir mati, namun ia tidak menyerah.
Rumah tempat tinggalnya tersebut juga menjadi tempat penyimpanan material. Untuk menopang hidup dan biaya pembuatan sumur, ia mengandalkan uang hasil kontrakan rumahnya di Prancis dan visa sosial budaya pemerintah negaranya. Selain itu, ia harus “mengemis” kepada teman-temannya.
Minta Dikubur di Sumba
Sebelum ke Sumba, hingga tahun 2003, André adalah pilot balon udara panas, pelatih pilot, pimpinan sebuah perusahaan pariwisata. Ia berhenti dari pekerjaannya karena menderita Lymd atau boreliose, sakit yang terjadi akibat serangan virus dari serangga yang masuk ke aliran darah. Virus ini bisa mematikan syaraf otak dan menyebabkan kematian. Karena penyakit tersebut, ia berhenti bekerja, dan pada tahun 2004 ia datang ke Indonesia lalu mengunjungi NTT, termasuk Sumba.
Kehidupan André jauh dari kesan mewah. Ia hidup menjelata bersama penduduk. Yang membedakannya dengan masyarakat dari sisi fasilitas hanyalah bahwa dia memiliki kompor, menggunakan listrik tenaga matahari (solar system), dan laptop untuk mengakses internet kalau kebetulan dapat sinyal. “Inilah hidup saya. Saya tidak pilih hidup di Sumba tapi sekarang saya tidak bisa lari dan tidak mau lari juga. Inilah cerita hidup,” ujar pria yang ingin dikuburkan di Sumba nanti. Untuk keinginannya yang terakhir ini, ia telah menandatangani surat persetujuan dengan Kedutaan Besar Prancis agar jasadnya tidak dikirim pulang ke Prancis. Alumni Fakultas Biologi, Universitas Strassbourgh, Prancis ini minta dikuburkan di antara orang-orang miskin.
Beberapa waktu lalu Andre pulang kampung ke Prancis untuk mengunjungi keluarganya dan untuk meminta bantuan teman-temannya agar bisa menyelesaikan beberapa protek air minum lagi. Karena pandemik korona, ia masih tertahan di sana. “Saya berharap bisa kembali ke Sumba secepatnya untuk meneruskan tugas yang sekaligus panggilan saya membantu masyarakat Sumba. Saya berharap imigrasi ‘membukakan pintu’ bagi saya dan membiarkan saya ‘masuk’ dan bekerja. Saya berharap, setelah Covid-19 ini takluk, kita akan dapat melanjutkan dan memperdalam lagi persahabatan kita,” tulisnya kepada TEMPUSDEI.ID dari Prancis.
Menariknya, berbagai peralatan untuk pembuatan sumur dia datangkan dari luar Sumba. Pengiriman sebagian dari peralatan itu menggunakan jasa JNE. Ini artinya, JNE sudah menjangkau hingga pelosok-pelosok Indonesia.
Andre, kami menunggumu!
#jne #jne30tahun #connectinghappiness #30tahunbahagiabersama
EMANUEL DAPA LOKA