Wed. Oct 30th, 2024

Pesta Perak Imamat Pastor Paul Wolor, Pr: Semula Hanya Karena Mau Makan Enak

Pastor Paul, gembira atas pesta perak imamatnya. Foto: GMR

SERINGKALI, seseorang mau masuk seminari atau menempuh jalur pendidikan calon imam dengan alasan yang sepele, malah sering tidak masuk akal atau tidak ada hubungan langsung dengan tugasnya kelak sebagai seorang imam. Misalnya mau masuk seminari agar bisa bermain bola sepuas-puasnya karena seminari memiliki lapangan bola yang bagus. Atau agar pandai bicara sebab di seminari ada ajang latihan berdebat, dll. Tapi sering kali dari alasan-alasan yang sepele itu, kemudian lahir imam yang sangat mencintai imamatnya dan setia melayani. Kadang-kadang juga, ada yang masuk seminari dengan cita-cita yang sudah bulat, yakni untuk menjadi imam, tapi kemudian oleh karena alasan atau halangan tertentu, cita-cita itu kabur, lalu sang seminaris berhenti di tengah jalan.

Patut dicatat, kenyataan yang terjadi tidak selalu seperti dua contoh di atas. Bannyak ragam pengalaman yang menyertai para calon imam.

Pastor Paul Wolor, Pr memiliki pengalaman unik ketika mengambil keputusan untuk menempuh jalur pendidikan imam. Dia mau masuk seminari agar bisa makan enak dan bisa tunggang kuda ala koboy dengan topi di kepala.

Ia menjelaskan, keinginannya untuk menjadi imam berawal dari pengalamannya melihat kehadiran para pastor misionaris di stasi tempat tinggalnya di Wolorona, sebuah kampung di belakang Seminari San Dominggo Hokeng, Flores Timur. Maklum, ayahnya seorang pewarta atau guru agama.

Ceritanya, Pastor Cor Vermollen, SVD selalu mampir di rumahnya. Untuk menjamu sang pastor, kedua orang tuanya selalu menyiapkan makanan yang enak-enak. Dalam hatinya ia lalu berkata, “Kalau jadi pastor, pasti selalu makan enak”. “Jadi motivasi pertama, ya mau makan enak. Motivasi kedua ingin tunggang kuda dengan pakai topi koboy dan ingin naik sepeda,” ujarnya mengenang kepada tempusdei.id yang menyambanginya di Pastoran Paroki Kristus Terang Dunia Waena (KTDW), tempat ia berkerja sekarang. “Dulu, biasanya, setelah sarapan bersama pastor, kami anak-anak selalu memikul tas pastor keliling kampung. Itu juga yang membuat saya akhirnya memilih masuk Seminari Menengah San Dominggo Hokeng,” tambahnya lagi.

Ternyata alasan yang sepele itu, secara perlahan-lahan mengalami penjernihan dalam proses pendidikan dan penggemblengan. Dan akhirnya, 25 tahun lalu, tepatnya pada 8 September 1995, Frater Paul Wolor ditahbiskan menjadi imam Keuskupan Larantuka, Flores Timur oleh Mgr. Darius Nggawa, SVD. Ia memilih ayat “Yang Ada Padaku Hanya Ini” dalam Matius 14: 17 sebagai motto tahbisannya.

Untuk mensyukuri perjalanannya menjadi imam Kristus, diadakan Misa Syukur pada 8 September 2020 di Gereja Kristus Terang Dunia Waena (KTDW), Jayapura. Karena merasa bersyukur dan merasa moto tahbisannya tersebut menyemangati pelayanannya selama 25 tahun, maka moto yang sama ia pakai juga sebagai moto perayaan Pesta Perak imamatnya. “Dengan moto ini, saya juga mengajak umat Paroki KTDW untuk menghayati sikap rendah hati dan setia,” jelasnya.

Pastor Paul Wolor, Pr adalah putra kedua dari 8 bersaudara buah hati Aloysius Wiju Wolor dan Agustina Ago Liwu kelahiran Wolorona, Kecamatan Wulanggitang, Flores Timur, 19 Agustus 1963. Ia melayani di Jayapura karena ditugaskan oleh pimpinannya untuk membantu pendidikan para calon imam di Seminari Menengah Santu Fransiskus Asisi Waena.Masuk ke Papua sebetulnya tidak ada dalam bayangan. Hanya waktu masih di Seminari Hokeng sebagai pembina dan Ekonom, ada satu siswa seminari dari Papua yang sekarang sudah jadi pastor. Namanya Pastor James Kosay, Pr. Orang tuanya  mengantar Pastor James sekolah di Seminari Hokeng lalu sering ke rumah saya dan di Sesabanu. Saya mengatakan kepada kedua orang tuanya bahwa suatu waktu ketika James ditahbiskan pasti saya datang ke Papua,” jelasnya.

Ternyata rencana dan kehendak Tuhan lain. Dua tahun sebelum Pastor James ditahbiskan dia sudah di Papua, ditempatkan di Seminari Menengah Santu Fransiskus Asisi Waena. “Begitulah saya ke Papua tahun 2011. Memang saya punya kecintaan tersendiri untuk pendidikan calon imam. Ada rasa senang dan bangga bisa dipakai Tuhan untuk mempersiapkan para calon imam kita,” jelasnya kepada tempusdei.id yang menemuinya di pastoran Waena pada 7/9/20.

Dari pengalamannya mendampingi para seminari papua, Pastor Pastor Paul Wolor menemukan bahwa para seminaris Papua cerdas-cerdas. “Hanya keterbatasan akses dan fasilitas pendidikan di pedalaman selama SD dan SMP yang membuat mereka kurang ditempa,” jelas Pastor Paul sambil mengajak para orang tua memasukkan anak-anak mereka ke seminari. “Untuk orang tua, jangan takut memberi anak bersekolah di seminari. Mari dorong anak-anak kita untuk bersekolah di seminari. Soal menjadi imam itu urusan pribadi anak dengan Tuhan. Banyak hal tidak terduga dalam perjalanan waktu akan muncul dalam diri anak kita. Anak-anak kita akan menjadi anak hebat kalau orangtua memberi hati dan dukungan kepada mereka,” pungkasnya. (GMR/EDL/tD)

Related Post

Leave a Reply