SEKITAR tahun 1997 malam hari, di kediaman Gus Dur di Ciganjur, Jakarta Selatan, digelar acara doa bersama untuk kesehatan beliau. Saya bersama beberapa teman lintas agama (Forum Generasi Muda Antar Iman) meluncur ke sana.
Meski malam itu turun hujan rintik, namun tidak menghalangi semangat orang untuk hadir. Halaman di sekitar rumah Gus Dur yang luas sudah dipenuhi orang yang berdiri sambil mendaraskan doa.
Kami baru saja tiba saat seorang teman memberi tahu bahwa Pak Jakob Oetama ada dan berdiri sendirian. Saya langsung merebut payung yang dipegang teman, lalu menghampiri Pak Jakob dan memberikan payung kepadanya. Pak Jakob menolak dengan alasan tanggung sudah basah, sedangkan saya baru datang dan belum basah. Saya terus menyodorkan payung itu kepada Pak Jakob. Akhirnya beliau mau, asalkan payungan berdua. Jadilah kami payungan berdua. Tentu saja Pak Jakob tidak tahu saya adalah salah satu dari puluhan ribu karyawannya, dan saat itu saya juga tidak mengenalkan diri sebagai karyawannya.
Setelah agak lama berdiri, saya tanya kepada Pak Jakob, apakah mau masuk ke rumah Gus Dur? Pak Jakob menjawab, “Ndak usah Mas, dari sini saja.”
Beberapa saat kemudian, Pak Jakob bilang hendak pulang. Saya antar beliau sambil payungan berdua menuju tempat parkir mobilnya. Di jalan berpapasan dengan seorang tokoh pemimpin media cetak. Orang itu menyapa Pak Jakob dengan penuh hormat, sambil mengucap terima kasih atas dukungan dan bantuan Pak Jakob. Melewati jalanan yang becek, akhirnya bertemu sopirnya. Pak Jakob pun masuk mobil sambil melambaikan tangan dengan senyum khas yang menyejukkan.
Sambil berjalan untuk bergabung kembali dengan teman-teman, saya membatin, sebenarnya kalau Pak Jakob mau, beliau bisa memberitahu panitia atau pihak keluarga bahwa beliau akan hadir. Untuk seorang tokoh seperti Pak Jakob, yang juga sahabat baik Gus Dur, tentu bakal dijemput saat turun dari mobil, diantar dan masuk rumah Gus Dur bersama para tokoh yang lainnya. Tapi… Pak Jakob tidak melakukan itu. Sepertinya beliau lebih memilih menjadi dirinya, berbaur dengan orang biasa, tidak ingin diperlakukan istimewa.
Membiarkan diri kuyup diguyur rintik hujan, yang seolah tidak menggangunya saat mendaraskan doa bagi kesehatan sahabat baiknya.
Rasa senang, bangga, dan kagum masih saya rasakan sampai sekarang.
Kini orang baik itu telah kembali kepada Sang Maha Baik.
Namun, kebaikannya akan selalu terpatri abadi di sanubari banyak orang, terlebih di hati para karyawannya, baik yang masih berkarya maupun yang sudah purnakarya. Pak Jakob telah dipakai Tuhan menjadi penyalur berkatNYA. Hidup Pak Jakob menjadi berkat bagi banyak orang, juga bagi karyawan beserta keluarganya.
Kiranya Tuhan telah mempertemukan kembali Pak Jakob dengan sahabat baiknya di surga yang damai. Juga dengan para kolega yang telah mendahuluinya, yang juga seperti dirinya, tak lelah mencerdaskan dan merawat bangsa, dengan karya, pikiran, sikap, dan teladannya. (Karto Mandiro, salah satu karyawan Kompas-Gramedia)