Oleh Pater Remmy Sila, CSsR, Superior Misi Samoa Kongregasi Redemptoris Provinsi Oceania
ADA pepatah populer yang mengatakan bahwa berbuat salah itu manusiawi, sedangkan memaafkan atau mengampuni itu ilahi. Ungkapan ini mengandung makna yang mendalam, yaitu bahwa di satu, kecenderungan orang berbuat salah atau berdosa adalah sifat manusia. Sedangkan di sisi lain, tindakan memaafkan atau mengampuni tindakan yang ilahi karena yang bersangkutan berpartisipasi dalam sifat keilahian Allah yang suka mengampuni: “Tuhan adalah penyayang dan pengasih, panjang sabar dan berlimpah kasih setia. “ (Mzm 103: 8)
Sirakh 27:30-28:9 berbicara tentang hal penting berkaitan dengan pengampunan. Pertama, nabi mengingatkan, bila kita ingin doa kita dikabulkan, maka kita harus mengampuni orang lain. Kedua, nabi juga mengingatkan bahwa kita semua adalah orang berdosa yang membutuhkan pengampunan dari Tuhan. Oleh karena itu, agar kita diampuni, maka pertama-tama kita harus mengampuni orang lain. Sang nabi menyerukan: “Ampunilah kesalahan kepada sesama orang, niscya dosa-dosamu pun akan dihapus juga, jika engkau berdoa.” (Sirakh 28: 2). Ini adalah sebuah panggilan untuk membebaskan orang lain sekaligus membebaskan dan menyembuhkan diri sendiri.
Sedangkan melalui suratnya kepada umat di Roma (Roma 14:7-9), kita diingatkan bahwa kehidupan dan kematian kita masing masing memiliki pengaruhnya terhadap satu sama lain. Selain itu, kemampuan kita untuk memaafkan atau mengampuni memiliki pengaruh besar bukan hanya pada orang lain, tetapi juga pada diri kita sendiri. Jadi sangat penting diingat bahwa dan disadari bahwa pengampunan mempunyai efek ganda. Ini ibarat satu obat mujarab yang menyembuhkan beberapa orang pada waktu yang bersamaan. Pengampunan yang tulus di satu sisi membebaskan orang yang diampuni, tetapi di sisi lain juga menyembuhkan orang yang mengampuni.
Maka dalam bacaan Injil (Matius 18: 21-35), Yesus mengajarkan soal pengampunan dalam tingkatan yang lebih praktis, tetapi menantang. Ini terungkap dalam jawaban Yesus atas pertanyaan Petrus, “Tuhan, sampai berapa kali aku harus mengampuni suadaraku jika ia berbuat dosa terhadap aku? Sampai tujuh kali?” Yesus menjawab dengan cara yang paling praktis. “Bukan! Aku berkata kepadamu: Bukan sampai tujuh kali, melainkan sampai tujuh puluh kali tujuh.” Jawaban Yesus sangat jelas bagi Petrus dan bagi kita semua bahwa pengampunan seorang pengikut Yesus itu tidak ada batasnya. Kita harus memaafkan semua, selalu dan selamanya.
Lantas, apa artinya mengampuni semua, selalu dan selamanya? Pertama, mengampuni itu berarti kita siap hidup rukun dan damai lagi. Mengampuni sebagai seorang pengikut Yesus tidak boleh disertai dengan syarat misalnya: “Saya maafkan engkau, tapi saya tidak mau melihat wajahmu lagi sepanjang hidupku,”, atau “Saya maafkan engkau, tapi saya tidak pernah akan lupa kelakuanmu terhadap saya.” Atau “Saya maafkan engkau, tapi ingat! Kalau engkau ulangi lagi, maka tiada maaf untukmu selamanya.” Ungkapan-ungkapan seperti menandakan bahwa pengampunan kita sesungguh belum tulus dan masih terbatas disertai dengan syarat. Dan ini jelas belum membebaskan sama sekali saudara kita yang bersalah dan kita sendiri belum tersembuhkan dari luka sakit hati atau tersinggung. Maka sangat penting untuk selalu diingat bahwa pengampunan di satu sisi membebaskan saudara yang diampuni, tetapi di lain sisi juga menyembuhkan orang yang mengampuni. Oleh karena itu, marilah kita senantiasa saling memaafkan dan mengampuni tanpa batas dan tanpa syarat.*