Sat. Nov 23rd, 2024

Pernah Melihat Wajah Yesus di Medan Perang Irak, Kini Bernardus Dwie Guntoro Melihat-Nya di Surga

Dwie Gun

Pukul 15.30 WIB, tanggal 12 September 2020, Dwie Guntoro mengontak saya dan memberi tahu bahwa dia sedang antree ruangan rawat inap di RSPAD Gatot Soebroto, Jakarta. Dia meminta bantuan saya agar lekas mendapat ruang inap. Belum saya bantu, tidak lama kemudian, dia kabari bahwa sudah aman karena sudah masuk IGD. Saya hanya mengtatakan padanya, “Semoga lekas sembuh, ya Mas”. Ingin rasanya menjenguk, tapi mengingat Covid-19 di Jakarta, sangat mengkhawatirkan, saya urungkan niat.

Setelah itu, tidak ada komunikasi lagi. Saya hanya mengikuti keadaan kesehatannya di wall FBnya, yang rupanya selalu di-update anaknya. Tidak ada hal lain yang saya lakukan, selain mendoakan agar Mas Dwie lekas mendapatkan kesembuhan dari Tuhan.

Pagi ini saya mendapat kabar bahwa cameramen senior RTV-Rajawali TV itu telah dipanggil Tuhan. Saya menundukkan kepala, memohon kerahiman Tuhan agar Ia berkenan menerima Mas Dwie ke dalam surge bakaNya. Masih teringat suatu saat saya mengunjungi di rumahnya di Depok bersama Mas Pipit Prahoho dan dua ponakan saya. Huh… dadaku sesak!

Berikut saya turunkan sebuah tulisan yang saya pernah ramu dari hasil obrolan dengan pribadi yang ramah dan bersahabat ini.

Dwie Tipe Wartawan Sejati

Sebagai “wartawan sejati”, dalam kamus Bernardus Dwie Guntoro atau biasa disapa Dwie tidak ada istilah menolak penugasan, apalagi dengan alasan takut. Di tugaskan ke wilayah sesulit apa pun, dia jalani. Pun ke medan perang yang sangat berisiko dan sewaktu-waktu bisa mengancam nyawanya.

Dan benar! Risiko tertinggi, berupa ancaman kehilangan nyawa dia alami ketika bertugas meliput perang Irak pada Mei 2003. Sebuah peluru mengenai kepalanya. Dan di saat inilah, ia mengalami mukjizat. Ia pun selamat dan tetap berkarya hingga saat ini.

Bagaimana peristiwa itu terjadi?  Ketika rombongan wartawan dari berbagai media di dunia itu—yang di dalamnya Dwie ikut serta dan dikawal pasukan Amerika—memasuki perbatasan Jordania dan Irak, gerilyawan Suni yang merupakan pasukan Sadam Husein memeriksa mereka satu per satu. Saat itu sentimen anti syiah oleh pasukan Suni sangat kental. Ramadi adalah basis Suni, pendukung fanatik Sadam Husein.

Saat pemeriksaan pasport oleh gerilyawan Suni, kata Dwie, salah satu juru kamera dari Jepang turun dari mobil dan mengambil gambar pemeriksaan pasport serta suasana pemeriksaan. Pengambilan gambar ini membuat petinggi pasukan gerilyawan tidak suka dan meminta sang kameraman untuk menghapus gambar yang diambilnya. Juru kamera Jepang itu menolak. Sontak, gerilyawan memukulnya dengan popor senjata AK47. Penolakan tersebut menyulut kemarahan semua gerilyawan, juga kepada semua media, terutama yang masih sekutu Amerika. Tidak hanya popor yang bicara. Dalam hitungan detik, peluru senjata AK47 diberondongkan ke arah mobil rombongan tersebut.

Saat itulah Dwie menjadi salah satu korban. Sebuah peluru mengenai kepalanya. “Setelah itu, saya tidak ingat apa-apa lagi,” ujarnya.

Satu-satunya yang dia ingat sebelum tak sadarkan diri, dia melihat sebuah tangan dan wajah Yesus yang menolong. “Saya melihat tangan dan wajah Tuhan Yesus melindungi wajah saya dari peluru yang ditembakkan ke arah saya dari kaca depan mobil yang saya tumpangi itu,” ujarnya penuh syukur.

Akibat tembakan itu, dia tidak sadar selama 1,5 hari. Yang dia rasakan setelah sadar adalah nyeri yang luar biasa pada kepalanya yang sudah diperban. Ketika bangun, dia mendapati dirinya sudah berada di dalam sebuah gereja di Irak. Di sana ada seorang imam Katolik asal Italia, dokter tentara Amerika dan pasukan Amerika.

Dia mendengar cerita dari Ilham, penerjemahnya dan Joko wartawan Jawa Pos, soal pemercikan air suci di kepalanya oleh pastor tersebut. Anehnya, percikan itu serta-merta menghentikan pendarahan. Dia pun didoakan oleh para rohaniawan gereja di wilayah bagian Irak itu.

Cerita Dwie, di Irak ada beberapa gereja Katolik dan gereja Protestan. Rohaniwan sudah ada sejak pecah perang Irak dan Iran untuk menolong anak-anak dan wanita korban perang. Mereka melayani tanpa meminta imbalan, ataupun meminta yang ditolong pindah agama.

Ketika Dwie dibawa ke gereja dan menyaksikan yang dilakukan pastor itu (memerciki air dan mendoakan), teman-temannya hanya pasrah. Yang membawa Dwie dan kawan-kawan ke gereja adalah pasukan Amerika yang mengawal rombongan. Mereka kembali mengawal rombongan karena mendengar suara tembakan berkali-kali.

Selama empat  hari Dwie dirawat di dalam gereja. Di saat itulah dia mengalami banyak “hal gaib”. Setelah sadar, dia merasakan panas yang luar biasa di dalam tubuhnya. Dia juga bisa melihat makhluk lain di sekelilingnya.

Pada hari kelima, wartawan lulusan Ohio University ini sudah merasa sehat kembali meskipun masih sedikit nyeri di kepala. Hari itu juga dia pamit dan mendapat sebuah surat dalam bahasa Arab. “Saat pamit itu, saya sudah dibawain surat berhuruf Arab yang artinya nama baptisku Bernardus. Itu kata penerjemahku. Dan reaksi spontan saya, saya pasrah dan merasa bersyukur masih bisa merasakan Kuasa-Nya,” jelas Dwie.

Liputan Konflik Menantang

Bagi Dwie, liputan di daerah konflik itu sangat menarik dan menantang, membuat adrenalin terbakar. Sebagai wartawan, dia harus menyuarakan berita yang benar ke masyarakat luas seputar akar masalah yang terjadi sebenarnya dalam konflik tersebut.  “Saya bisa berdiri di tengah-tengah yang sedang berkonflik. Dengan catatan liputan, saya berharap bisa membantu menyelesaikan masalah. Itu saja. Tidak lebih. Saya kasihan terhadap anak-anak dan para wanita yang jadi korbannya,” ujarnya.

Baginya, soal terkena peluru atau tembakan, sudah risiko kerja wartawan. Dia hanya ingin memberitakan bahwa berkonflik itu tidak baik, kalau masih bisa berdamai kenapa tidak berdamai saja.

Soal Hidup Barunya

Atas “status baru” sebagai manusia terbaptis, keluarganya terutama, tante (adik ibunya), merasa tidak senang, tapi Dwie tanggapi santai. Prinsipnya, “Ini jalan hidup saya yang baru, yang harus saya jalani ke depan.” Anak-anaknya justru tidak mempermasalahkan. Mereka, menurutnya, memiliki pola dan cara berpikir yang sangat dewasa. Warna-warni keyakinan di keluarga Dwie sangat kuat. Ada yang Muslim, Protestan, dan Katolik.

Ada juga dari teman-temannya yang kecewa dengan status barunya. Tapi dia santai saja. “Toh saya tidak minta apa-apa sama mereka. Ini hidup saya, kenapa juga harus memikirkan omongan orang lain. Soal dosa, itu urusan saya, Tuhan dan iman saya,” tambahnya.

Hal pertama yang dia lakukan sepulang dari Irak adalah berjumpa Kardinal. Oleh Kardinal dia diarahkan untuk bergabung ke Paroki Maria Bunda Karmel karena saat itu Dwie tinggal di Kemanggisan. Dia pun mencari buku tentang Santo Bernardus dan mempelajarinya. “Saya mengagumi Santo Bernardus karena dia bersedia menjadi Martir. Rupanya karena itulah Romo yang di Irak itu memberikan nama Bernardus ke saya. Mungkin karena saya dianggap berani,” ujarnya tersenyum.

Setelah menyandang “status terbaptis” tersebut, menurut teman-temannya, dia banyak berubah. “Saya yang tadinya kasar, keras, jadi calm dan bicara tidak ngeyel lagi. Puji Tuhan,” ucapnya penuh takzim.

Kanker Otak

Tahun 2010, setelah resign dari SCTV, kepalanya selalu sakit seperti dipukul-pukul. Akhirnya dia memutuskan untuk memeriksakan kepala dan seluruh tubuhnya ke dokter. Ternyata, dia menderita kanker otak. “Serasa dunia saya runtuh. Sempat saya marah sama Tuhan. Saya tidak mau Tuhan panggil saya cepat-cepat, karena saya merasa belum bisa membahagiakan bapak dan ibu saya, juga anak-anak saya. Saya selalu bilang sama anak-anak saya, maafin ayah, ya nak. Ayah bukan ayah yang baik untuk kalian, tapi ayah selalu berusaha menjadi ayah yang baik untuk kalian,” jelasnya tenang mengulangi kata-katanya.

Dengan keadaan kesehatannya yang naik turun Dwie pasrah kepada Tuhan. Dia yakin, Tuhanlah yang empunya kehidupan dan masa depan manusia. Dia mendekatkan diri kepada Tuhan melalui Persekutuan Doa di Katedral Jakarta. Dia juga menjalani pengobatan sedot lintah setiap 2 minggu sekali untuk mengurangi cairan di kepala.

Pada fase-fase terakhir hidupnya, yang  ia harapkan mendapat kesempatan sekali lagi dari Tuhan untuk berbuat baik. Dari Persekutuan Doa (PD) dia belajar menjalani kehidupan kedua dan belajar menikmati hidup tanpa beban. “Dari PD saya belajar ikhlas, dari PD saya belajar sabar sesabar sabarnya, dan dari PD saya belajar lebih tawaqal dan pasrah kepada Tuhan,” ujarnya.

Di tengah segala situasi yang ia alami, Dwie tetap berdoa dalam kepasrahan pada kuasa Tuhan. Ini rumus doa yang dia kirimkan kepada saya:

Tuhan Terkasih . . .
Aku berdoa agar Engkau menjadi Tuhan pada mataku, agar aku dapat melihat kebaikan di setiap sesamaku.
Aku berdoa agar Engkau menjadi Tuhan pada mulutku, agar ketika aku berkata-kata ada kekuatan yang membangun iman, bukan menjatuhkan.
Aku berdoa agar Engkau menjadi Tuhan atas hatiku, agar aku boleh memiliki rasa empati kepada sesamaku.
Aku berdoa agar Engkau menjadi Tuhan atas kasihku, agar aku boleh mengasihi sesamaku seperti mengasihi diriku sendiri.
Dan aku berdoa agar ketika hatiku terluka oleh perkataan atau perbuatan sesama, tetap ada tempat untuk memaafkan.
Aku berdoa agar lewat kehidupanku nama-MU boleh aku muliakan, dalam segala perkara. Amin
Satu hal yang sangat Dwie syukuri, dengan stadium sakitnya yang terbilang tinggi, dia tetap bisa bekerja normal. Hanya kalau kesehatannya sedang menurun, dia beristirahat di rumahnya di Depok lalu bekerja kembali saat sudah pulih. “Tolong doakan saya,” ujarnya memohon doa. (Iman Mereka Hidup, 2019).

Saat ini, Dwie sudah beristirahat dari berbagai keletihannya. dia pun tidak merasakan lagi sakitnya mengalami kanker otak. Dia sudah sembuh total. Requiescat in Pace. (Emanuel Dapa Loka)

Related Post

Leave a Reply