Oleh Dr. Renny Bengu
John Dewey, seorang tokoh besar dalam sejarah intelektual Amerika Serikat mengerti pendidikan sebagai upaya menolong manusia agar dapat berefleksi terhadap masalah yang timbul dalam masyarakat. Pendidikan juga merupakan upaya memperlengkapi manusia agar (dapat) menghasilkan perubahan yang nyata dalam kehidupan mereka.
Jika dalam proses pendidikan, ditemukan tidak adanya pengaruh yang positif terhadap alam dan masyarakat, maka yang sedang berproses itu bukanlah pendidikan. Pendidikan sejatinya harus memberikan pengaruh besar dalam perubahan dan pertumbuhan. Dan untuk mencapai maksud tersebut, guru memiliki peranan penting dalam membimbing pelajar untuk memperluas pengetahuan dan kemampuan berpikirnya dalam menjelajah hubungan baru yang dibangunnya di atas pengetahuan yang akan dimiliki sebelumnya. Guru juga dijadikan sentral bagi banyak orang dan berperan dalam mengawasi dan membimbing belajar siswa, tanpa mengganggu minat dan kebutuhan siswa.
Guru memiliki “lumbung” yang amat besar dan peran strategis bagi masa depan bangsa ini. Jauh dari itu, guru memegang peranan terpenting bagi kemajuan peradaban. Maka profesi guru memiliki nilai sosial dan spiritual yang tinggi.
Dalam perannya, guru mengemban dua dimensi tugas sekaligus, dimensi vertikal yang langsung menjalankan amanah dari Tuhan dan dimensi horizontal menyangkut tugas sosial dari masyarakat dan pemerintah. Keduanya tidak bisa dipisahkan, saling terkait, dan terpadu. Dengan memahami posisinya sebagai pendidik, seorang guru menjadi tidak “dislokasi” yang bisa berakibat “disorientasi”.
Di manakah posisi guru di era bebas ini? Ini perkara yang cukup sulit. Sebab, mau tidak mau guru akan dituntut oleh keadaan untuk mau berubah, baik berubah dalam konteks pengetahuan umum, materi pelajaran, maupun metodologi.
Kemajuan teknologi yang amat pesat menjadi tantangan tersendiri bagi guru yang acapkali membuatnya “kalah” dibanding murid. Bahkan, ketekunan dan kesungguhan guru dalam mendidik dan mengasuh anak dengan ikhlas, ternyata belum cukup tanpa kesabaran ekstra dan pemahaman yang dalam tentang filosofi dasar seorang guru.
Tidak Mudah Mengukur
Memang diakui, kita sulit mengukur keberhasilan guru dalam mengajar dan mendidik dengan menggunakan parameter umum yang selama ini dipakai untuk menilai kinerja sumber daya manusia (SDM) guru.
Maklum, guru bukanlah semata-mata karyawan pemerintah daerah yang hanya diukur kerjanya berdasarkan presensi atau kinerja yang terpaku dalam jenjang birokrasi. Guru bukanlah karyawan pabrik rokok yang bisa dihitung berapa ribu rokok ia linting dalam setiap hari. Guru juga bukanlah pedagang yang bisa diukur berdasarkan laku atau tidaknya dagangan dalam sehari.
Guru tidak berhubungan dengan benda dan barang. Guru mendidik manusia yang setara dengan dirinya. Guru melekat dengan nilai-nilai yakni baik-buruk, wajar-tidak wajar, sopan – tidak sopan, jujur atau bohong, dan seterusnya. Guru adalah pilar penjaga nilai. Ia menjadi salah satu penentu masa depan sebuah bangsa.
Randolph Crump Miller mengatakan bahwa yang penting dari seorang pendidik atau pengajar, ia adalah seorang beriman. Dengan itu, ia akan mampu menyesuaikan dengan pengetahuan dan keterampilan yang ia miliki.
Sementara, Robert W Pazmino mengatakan bahwa dalam keberadaannya sebagai pendidik, seorang guru harus membangun kehidupan yang berdampak mengubahkan dan memulihkan kehidupan peserta didik kepada hidup yang kekal.
Sejatinya, setiap pendidik harus sadar bahwa pendidikan berarti berhadapan dengan kehidupan setiap orang, baik guru juga peserta didik yang sama-sama memiliki keterbatasan dan tantangan yang harus dihadapi dengan kekuatan kepribadian dan kesiapan untuk berkorban.
Untuk memudahkan cara pandang publik, penulis akan mengakhiri artikel ini dengan meminjam terminologi yang sering dipakai budayawan Emha Ainun Najib dalam memotret sosok guru.
Guru wajib adalah guru yang keberadaannya sangat dibutuhkan oleh murid dan sekolah. Indikatornya adalah: jika guru ini tidak ada, murid dan sekolah akan kehilanga. Cara mengajarnya professional. Cara hidupnya dapat menjadi teladan. Sulit mencari gantinya dan sosok yang menjadi panutan.
Guru sunnah adalah guru yang keberadaannya sangat dibutuhkan oleh murid dan sekolah, namun tidak satu-satunya. Indikatornya adalah: jika guru ini tidak ada, murid dan sekolah akan kehilangan. Cara mengajarnya professional. Cara hidupnya dapat menjadi teladan, tapi tidak sulit mencari gantinya karena ada beberapa guru lain yang seperti dirinya. Dia sosok yang menjadi panutan.
Guru makruh adalah guru yang keberadaannya dianggap tidak penting oleh murid dan sekolah, bahkan bisa disebut menjadi beban, baik karena performance-nya maupun sifat-sifatnya. Indikatornya adalah: Jika guru ini tidak ada, murid dan sekolah justru senang, karena tidak membuat repot murid dan sekolah. Cara mengajarnya di bawah standar. Cara hidupnya tidak dapat menjadi teladan. Tidak sulit mencari gantinya, karena banyak guru lain yang kualitasnya di atas guru tipe ini. Dia sosok yang tidak menjadi panutan.
Guru mubah adalah guru yang keberadaannya biasa-biasa saja. Ada dan tidak adanya tidak diperhitungkan oleh guru dan murid. Semuanya standar, tidak menonjol tapi tidak juga tidak menjadi beban. Indikatornya adalah: Guru yang tidak istimewa. Cara mengajarnya sangat pas-pasan. Cara hidupnya juga biasa-biasa, tidak bisa menjadi teladan. Tidak sulit mencari gantinya, karena banyak guru lain yang kualitasnya di atas guru tipe ini.
Guru haram adalah guru yang keberadaannya sangat tidak dibutuhkan oleh murid dan sekolah. Indikatornya adalah: Guru semacam ini tidak mengajar dan tidak berada di sekolah. Cara mengajarnya tidak professional. Cara hidupnya tidak bisa menjadi teladan. Dia sosok yang tidak layak menjadi panutan.
Anda dan saya masuk dalam kategori guru yang macam apa?
Dr. Renny Bengu adalah dosen STT Injili Efrata Sidoarjo, dan STT Sabda Agung Surabaya. Ia meraih gelar doktoral di STT Berita Hidup Solo.
Luar Biasa Bu