Fri. Nov 22nd, 2024
Emanuel Dapa Loka

Oleh Emanuel Dapa Loka, Wartawan, tinggal di Bekasi

Seidaknya, dua buah pertanyaan mendasar mengemuka setelah melihat aksi Najwa Shihab melalui Mata Najwa (MN) mewawancarai kursi kosong pada Senin (28/9/2020) malam. “Apakah tindakan mewawancarai kursi kosong masuk dalam cara kerja jurnalistik atau tidak?” Pertanyaan lain, “Benarkah Najwa Shihab saat itu sedang melakukan misi suci jurnalistik atau ia sedang memainkan misi yang lain?”

Melihat aksinya yang sangat teatrikal itu, agak sulit menyebut Nana sedang menjalankan misi jurnalistik. Ia sedang memainkan misi “menghukum” Menteri Terawan yang tidak memenuhi undangan Mata Najwa.

MN tidak menerima sang Menteri hanya mengutus salah satu Dirjennya. Di sini MN  “mementingkan” keutamaan jurnalistik menghadirkan orang nomor satu, namun lupa bahwa ia bukan atasan sang narasumber sehingga harus patuh padanya. Dengan demikian, MN sama sekali tidak memiliki hak untuk memaksa Menteri Terawan melayani wawancara atau memenuhi undangan. Adalah benar bahwa seorang pejabat publik harus bersedia berbicara kepada publik, tapi sang narasumber pun berhak memilih caranya sendiri atau memilih media yang memberi rasa nyaman untuk menyampaikan sesuatu.

Hal lain yang Mata Najwa juga harus mengerti, tidak semua orang terampil berbicara di depan kamera apalagi di hadapan host yang tak ubahnya “investigator” yang dengan penuh determinasi bisa menggiring narasumber untuk mengikuti frame yang telah dibentuknya. Hal itu terlihat dari pertanyaan, gaya bertanya yang berusaha memotong pembicaraan atau malah menjebak narasumber.

Wartawan mengabdi siapa?

Najwa Shihab dan kursi kosong (ist).

Bill Covach dan Tom Rosenstiel dalam buku The Elements of Journalism yang kemudian diterjemahkan ISAI menjadi Elemen-elemen Jurnalisme, menurunkan hasil survei tentang nilai-nilai jurnalisme  pada 1999. Survei itu dilakukan oleh Pew Reseach  for the People and The Press dan Committee of Concerned Journalist. Dalam survei tersebut, lebih dari 80% responden menempatkan kewajiban pertama adalah kepada pembaca/pendengar/pemirsa sebagai “prinsip inti jurnalisme”. Dalam wawancara mendalam dan terbuka dengan psikolog, lebih dari 70 % wartawan menempatkan audiens sebagai subyek loyalitas pertama mereka, jauh di atas atasan  mereka, diri mereka sendiri, profesi mereka, atau bahkan keluarga mereka.

Salah satu responden bernama Nick Clooney, seorang mantan penyiar berita di Los Angeles, menegaskan bahwa dalam tugasnya sebagai seorang wartawan, dia selalu bekerja untuk orang-orang yang menyetel televisi. “Selalu. Kapan saja saya berdiskusi dengan general manager atau dengan seorang dewan direksi, sikap sadar saya adalah tak bekerja untuk anda. Anda membayar gaji saya, dan saya sangat berterima kasih. Tapi yang sebenarnya, saya tidak bekerja untuk Anda, dan jika sudah sampai urusan loyalitas, loyalitas saya akan tertuju kepada orang yang menyalakan televisi,” kata Nick.

Di sini jelas, tuan dari wartawan yang independen dan memegang teguh prinsip kerja jurnalistik yang hakiki adalah publik. Tidak bisa tidak, media atau wartawan harus menempatkan  publik pada tempat utama. Ini sejajar dengan para anggota legislatif yang harus mengabdi rakyat sebagai tuannya karena memang para anggota legislatif adalah wakil rakyat. Karenanya, ketika para wakil rakyat itu mangkir dari kewajibannya mengabdi sang tuan, publik marah dan mengumpat-umpat dengan berbagai cara. Dan persis pada posisi ini, wartawan termasuk Najwa Shihab selalu bersuara keras bahkan tidak jarang garang. Cara kerja wartawan seperti ini menunjukkan pikiran, hati dan tindakannya berisi guratan hati dan pikiran publik.

Lantas, bukankah Najwa Shihab ingin menjawab pertanyaan publik tentang penanganan korona? Benar! Sekali lagi benar! Tetapi sang Menteri pun punya banyak cara untuk menjawab, termasuk melalui Dirjennya. Tentu saja Dirjen yang dia utus adalah orang yang memahami berbagai hal seputar penanganan covid. Bahwa ada hal menyangkut kebijakan yang tidak bisa dijawab Dirjen, iya. Dan masih banyak kesempatan untuk mendapatkan jawaban. Jadi menuntut “harus” menteri, berlebihan. Lalu, Mata Najwa marah dan mewawancarai kursi kosong. Ini pasti bukan kerja jurnalistik.

Jurnalistik itu adalah anak kandung komunikasi yang berasal dari akar kata Bahasa Latin communicare yang berarti membuat sama (make to common). Bagaimana bisa wawancara dengan kursi bisa untuk make to common?

Deklarasi paling terkenal tentang independensi intelektual dan keuangan muncul pada 1896 saat seorang penerbit muda dari Tennessee bernama Adolph Ochs membeli harian New York Times yang sedang berada dalam kesulitan. Di hari pertamanya, ia menulis dengan judul “Pengumuman Bisnis”. Ochs menulis bahwa ia berkehendak sungguh-sungguh memberikan berita yang tak berpihak, tanpa ketakutan atau berat sebelah, tanpa memandang partai, sekte atau kepentingan lain yang terlibat (to give the news impartiality, without fear or favor, regradless of party sect or interests involved).

Seringkali, siapa pun yang tahu prinsip kerja jurnalistik dan masih berpikiran jernih dan bernurani bening, pasti merasa jengah atau minimal nyesek melihat cara kerja media atau wartawan tertentu.

Tampak “pers” tergoda melakukan tindakan-tindakan “jurnalistik” yang mengkhianati keagungan hakiki kerja jurnalisme itu sendiri.

Sesungguhnya, insan pers sangat paham bahwa pers ikut menentukan berbiaknya hal-hal buruk atau baik dalam masyarakat. Oleh karena itu, pers berkewajiban menyajikan informasi yang benar, berimbang dan terpercaya sebagai salah satu cara mencerdaskan masyarakat sekaligus mempertegas martabat pers itu sendiri.

Perlu betul-betul menimbang kata-kata bertuah dari Wilbur Schramm (1950-an) yang mengatakan bahwa wartawan itu ibarat penembak yang menembakkan peluru dari senjata di tangannya. Khalayak yang menjadi sasaran tembak bersifat pasif dan tidak berdaya. “Peluru” yang media massa tembakkan itu berakibat sangat kuat dalam membentuk opini publik. Karenanya, sang penembak harus berhati-hati memilih peluru yang dia tembakkan seraya menimbang akibat yang muncul akibat peluru itu.

Related Post

3 thoughts on “Mata Najwa, Aksi Teatrikal dan Independensi Jurnalis”

Leave a Reply