Oleh Febry Silaban, Pengamat kebahasaan
Di tengah pandemi Covid-19 ini, webinar atau seminar daring (online) semakin menjamur. Kemajuan teknologi dan informasi kini telah menciptakan media pertemuan formal dan berkomunikasi meskipun tanpa harus bertatap muka langsung. Namun, sama seperti banyak seminar luring (offline), bagian paling membosankan bagi saya adalah sambutan-sambutan. Nah, yang paling mengganggu telinga saya sebelum rasa mengantuk itu menyerang mata adalah kalimat familier dari pewara (pembawa acara, host, MC) yang saban waktu diucapkan kepada pejabat atau narasumber yang mendapat giliran memberikan sambutan atau paparannya: “Waktu dan tempat kami persilakan”. Sepintas tidak ada yang aneh, bukan?
Namun, kalau jeli dan cermat, pengucapan kata-kata “waktu dan tempat kami persilakan” ternyata keliru sehingga tidak logis. Inilah salah satu contoh “salah kaprah”. Kalimat salah kaprah yang sudah mendarah daging dengan pewara di Indonesia. Pembahasan kalimat salah kaprah ini sebenarnya sudah sering disampaikan dan diingatkan tapi tidak ada salahnya diingatkan kembali.
Salah kaprah itu merupakan bentuk kesalahan berbahasa yang sudah sedemikian meluas sampai-sampai tak lagi berasa salah. Ini mengingatkan kita pada slogan menteri propaganda Nazi, Jozef Goebbels: kebohongan yang diulang-ulang akan membuat orang banyak jadi percaya, menjelma kebenaran.
Mengapa ungkapan “waktu dan tempat kami persilakan” itu dikatakan salah, keliru, bahkan tidak logis?
Ya jelas, kalimat tersebut sebenarnya tidak dapat diterima dengan akal sehat. Logika berpikirnya salah. Apakah betul waktu dan tempat dapat memberikan sambutan atau pemaparan? Bagaimana caranya waktu dan tempat berbicara? Jalan pikiran pewara tersebut kacau karena yang harus memberikan sambutan atau pemaparan adalah pejabat atau narasumber, tetapi yang dipersilakan justru waktu dan tempat.
Lagi pula, dengan pola kalimat ini, apa bedanya jika kita mengganti kata waktu dan tempat dengan kata lain yang sama-sama tak bernyawa? Udara dan air kami persilakan, misalnya? Atau, meja dan kursi kami persilakan? Sama-sama tidak logis, bukan?
Akan tetapi, ada saja orang yang berpendapat bahwa yang penting pesannya sampai dan dimengerti. Ya, oke, semua orang mengerti bahwa yang dipersilakan adalah seseorang, bukan benda mati, untuk berbicara. Namun, nanti jangan salahkan sang narasumber atau pejabat yang dipersilakan memberi sambutan atau pemaparan, lalu diam saja. Ketika ditanya mengapa diam saja, ia berkata: “Loh, yang dipersilakan ‘kan waktu dan tempat, bukan saya!”
Maksud kalimat pewara tadi sesungguhnya adalah mempersilakan pejabat atau narasumber untuk memberikan sambutan atau pemaparannya di tempat yang telah disediakan, dengan waktu yang telah disediakan pula. Penekanan kata waktu dan tempat sangat mungkin muncul sebagai upaya penerjemahan yang kurang tepat dari ungkapan “the floor is yours” dalam bahasa Inggris. Ungkapan “the floor is yours” sendiri dipakai untuk mempersilakan seseorang berbicara (memberi sambutan). Nyatanya, proses penerjemahan bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia memang tak selama bisa bulat-bulat diterjemahkan.
Kalimat bahasa Indonesia “waktu dan tempat kami persilakan” juga juga bukan termasuk idiom, karena semua buku rujukan tata bahasa Indonesia yang pernah saya baca menganggap ini kesalahan.
Sebuah kalimat, secara sederhana, harus mudah dipahami sekaligus dimengerti pendengar dan pembacanya. Jadi, alangkah lebih baik apabila kalimat tersebut diganti dengan yang lebih logis dan masuk akal. Misalnya
- Kami persilakan Bapak/Ibu untuk memberi sambutan;
- Bapak/Ibu kami persilakan memberi sambutan;
- Waktu dan tempat kami sediakan.
Logika atau nalar dalam bahasa menjadi hal yang penting untuk diselisik lebih dalam, sebab melenceng sedikit saja, maknanya akan sangat berbeda. Penalaran yang benar dalam penyampaian sesuatu lahir dari suatu pemikiran yang jernih. Sebaliknya, penalaran yang dilandasi oleh pemikiran yang kusut atau alasan yang sesat dapat menghasilkan penalaran yang salah sehingga menjadi tidak logis. Tak hanya itu, penalaran berbahasa yang tidak benar juga dapat menimbulkan kesalahpahaman akibat isi pesan yang ambigu.
Pemilihan kata, atau frasa menunjukkan kemampuan seseorang yang menggunakan bahasa dengan baik dan benar. Siapa yang akan bangga dengan bahasa Indonesia kalau bukan kita sebagai bangsa Indonesia sendiri. Persoalan sepele dan sederhana yang justru membawa dan menunjukkan betapa kita telah abai dengan bahasa sendiri. Cita-cita untuk menjadi bahasa internasional bagaimana bisa tercapai, kalau kita sendiri sebagai anak bangsa saja tidak memakai dengan baik dan benar.
Tapi biasanya sebelum menyampaikan kata waktu dan tempat kami persilahkan, MC nya akan menyebut nama pembicaranya, mis : kepada bpk. Ronggur Sinukaban waktu dan tempat kami persilahkan. Jadi sebenarnya jelas yang dipersilahkan itu bukan waktu dan tempat tetapi pembicaranya.
Menurut saya akan lebih tepat bila, “Kepada bpk. Ronggur Sinukaban, waktu dan tempatNYA kami persilahkan”
Ini pun keliru. kalau mau, bisa begini: Bapak Ronggur Sinukaban, kini waktu sepenuhnya untuk Anda (Bapak). Silakan…!
Kalau katakan “waktu dan tempatNYA kami persilakan”, waktu dan tempat bukanlah pihak yang dikasih kesempatan… Lalu, NYA (dengan huruf besar pula) tidak tepat… Salam hangat!
Sebenarnya semua orang di artikel ini terlalu ribet. Kalian semua ribet.
Paham apa maksudnya?
coba cari di KBBI, kata “ribet” itu baku atau tidak? Tapi Anda semua paham kan maksud saya apa?
Apa coba ribet? Apa etimologinya? Tapi Anda semua paham atau tidak?
Anda semua itu RIBET!