Oleh Pater Kimy R. Ndelo, CSsR, Provinsial Redemptoris Provinsi Indonesia
Dr. Madison Sarrat, mengajar Matematika di Universitas Vanderbilt, Amerika Serikat selama bertahun-tahun. Setiap kali mengadakan ujian untuk mahasiswanya, dia selalu menyampaikan hal ini: “Hari ini saya memberikan dua ujian buat kalian. Satu ujian Trigonometri dan yang satu lagi ujian Kejujuran. Saya harap anda lulus kedua-duanya. Memenuhi kewajiban anda terhadap gurumu dan terhadap Tuhan. Jika anda gagal, lebih baik gagal dalam ujian Trigonometri. Ada banyak orang baik di dunia yang tidak lulus Trigonometri. Tapi tidak banyak orang yang lulus ujian Kejujuran, padahal ini adalah hutang kita kepada Tuhan”.
Adu cerdik antara Yesus dan para musuh-Nya dalam Injil berawal dari sebuah pertanyaan menohok: “Apakah diperbolehkan membayar pajak kepada Kaisar atau tidak?” (Mat 22,17).
Pertanyaan kepada Yesus ini merupakan sebuah jebakan cerdik dari para Orang Farisi yang anti Romawi dan Herodian, yang kompromis kepada Romawi. Mereka bermaksud untuk menciptakan kesulitan bagi Yesus berhadapan dengan penguasa Romawi saat itu.
Saat itu ada tiga macam pajak yang berlaku. Satu pajak tanah, yang dibayar dengan sepersepuluh dari hasil gandum dan seperlima dari hasil minyak dan anggur. Kedua pajak penghasilan yang besarnya satu persen dari penghasilan. Ketiga pajak kepala atau pajak sensus. Pajak ini dibayar satu dinar per tahun. Untuk pria dari usia 14 tahun sampai usia 65 tahun. Untuk wanita dari usia 12 tahun sampai usia 65 tahun.
Yang dimaksud dalam pertanyaan tadi adalah pajak kepala. Ini mengandung arti bahwa jika seorang adalah warganegara, dia berutang uang kepada Kaisar.
Orang Yahudi percaya bahwa hanya ada satu Tuhan dan Pemberi Hukum, yakni Allah sendiri. Pajak atau segala jenis kewajiban hanya bisa diberikan kepada Allah.
Pertanyaan tadi sangat dilematis untuk Yesus. Jika Dia menolak membayar pajak, maka dia bisa dilaporkan kepada penguasa oleh para Herodian. Jika dia mendukung pajak, para pembenci akan mendapatkan alasan yang tepat untuk mendiskreditkan Dia karena mendukung penguasa kafir.
Sebetulnya pertanyaan ini sangat tidak mudah. Tetapi Yesus lebih cerdik dari perkiraan mereka. Dia justru menjebak mereka dengan kata-kata: “Tunjukkan kepada-Ku mata uang pajak itu” (Mat 22,19).
Dengan menunjukkan mata uang itu berarti mereka sendiri memiliki dan mengakui mata uang yang di dalamnya ada gambar dan tulisan Kaisar. Harusnya mereka tidak membawa mata uang itu jika mereka benar-benar orang Israel sejati. Mengapa? Karena dalam mata uang itu ada tulisan “Pontifex Maximus” (Imam Agung), sebagai bukti bahwa Kaisar bukan hanya Penguasa Politik tetapi dia juga mempunyai status ilahi. Mereka sendiri membawa simbol penghinaan kepada agama mereka.
Maka ketika Yesus mengatakan: “Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah”, (Mat 22,21) mereka sendiri tak bisa berkata-kata lagi. Ibaratnya, mereka terjebak oleh perangkap yang mereka sendiri pasang.
Dalam keadaan normal, tak perlu kita memilih kewajiban kepada Negara atau kepada Allah. Dua-duanya dilaksanakan. Tapi dalam keadaan luar biasa, jika dihadapkan pada pilihan, kita harus memilih Allah. Karena Allah adalah penguasa hidup dan mati kita.
Salam hangat dari Biara Santo Alfonsus-Konventu Redemptoris Weetebula, Sumba (tanpa Wa).