Oleh Pater Remmy Sila, CSsR, Superior Redemptoris Samoa Provinsi Oceania
Hukum atau perintah untuk mencintai Tuhan dan sesama adalah inti dari ajaran iman Kristen. Hukum ini merupakan dasar dari seluruh hidup kita sebagai seorang pengikut Yesus. Dan ini kita semua sudah tahu. Yang perlu kita lakukan adalah senantiasa berusaha untuk mempraktikannya dalam hidup kita setiap hari. Hukum ini sudah ada dalam Kitab Suci Perjanjian Lama dan telah dilengkapi dan disempurnakan oleh Yesus dalam Perjanjian Baru.
Hanya, kita selalu mempunyai alasan dan dalih untuk tidak saling mencintai. Kita memang tidak bermaksud untuk melawan perintah cinta kasih ini tetapi kita sering menghindari kebaikan yang dapat kita lakukan untuk mencintai Tuhan dan sesama.
Dalam Kitab Keluaran hari ini (Kel 22: 20-26), kita mendengar beberapa rumusan awal tentang bagaimana mencintai orang lain dan contoh praktis tentang orang yang harus kita cintai. Orang asing, janda, yatim piatu, dan orang miskin menuntut perhatian khusus dalam hal cintakasih. Pada zaman kita sekarang, perhatian dan cinta kita hendaknya dipusatkan pada orang-orang yang secara sosial disisihkan atau dipandang sebelah mata oleh masyarakat kita, yaitu para pelaku kejahatan, anak-anak jalanan, para narapidana, para pencandu narkoba, mereka yang memiliki gangguan mental, kelompok LGBT (lesbian, gay, biseksual dan transgender), dsb. Setiap zaman dan setiap generasi selalu memiliki orang-orang yang terkucil, terpinggirkan dan terluka. Mempraktikan panggilan dan tugas mulia untuk mencintai sesama tanpa melihat latar belakangnya memang tidaklah segampang dirumuskan dan diucapkan. Tetapi kalau kita sungguh mau menjadi pengikut Yesus yang benar dan sejati, kita harus berani keluar dari zona nyaman dan menara gading kita untuk menjangkau mereka yang terbuang, tersingkirkan dan terluka secara sosial. Seringkali mereka tidak membutuhkan bantuan materi. Mereka hanya butuh untuk dihargai sebagai manusia.
Maka bacaan Injil dari Matius 22: 34-40 sekali lagi mengingatkan kita: cintailah Tuhan dan sesamamu. Mencintai Tuhan sudah jelas, yaitu harus dengan segenap hati, segenap jiwa dan dengan segenap akal budi. Tetapi siapakah sesama dan bagaimana mencintai mereka. Untuk itu baiklah kita coba mengingat kisah tentang Orang Samaria yang murah hati (Luk 10: 25-37). Dalam kisah tersebut Yesus dengan sangat jelas menegaskan bahwa sesama kita adalah setiap orang yang membutuhkan perhatian dan bantuan kita dengan cara apa pun. Ini merupakan panggilan cinta yang bersifat universal. Sangat jelas bahwa ini bukanlah ajaran tentang siapa yang kita sukai dan siapa yang kita benci. Kita patut mengakui juga bahwa dalam praktik, Gereja sendiri dan juga masyarakat kita masih bergumul dengan perjuangan bagaimana mencintai mereka yang tidak mengikuti aturan (kadang-kadang aturan yang tidak masuk akal atau yang tidak mendasar), bahkan bagaimana mencintai mereka yang secara terbuka menolak ajaran resmi Gereja. Ini semua merupakan bagian dari proses belajar bagaimana mencintai Tuhan dengan segenap hati, segenap jiwa, segenap akal budi dan bagaimana mencintai sesama seperti diri sendiri.
Untuk itu Surat Pertama dari Santo Paulus untuk Jemaat di Tesalonika (1Tes 1: 5-10) mengingatkan kita bahwa tantangan kita adalah menerima Firman Tuhan dan menaatinya dalam kesulitan bahkan penindasan yang berat, tetapi hendaknya kesulitan dan penindasan itu kita terima dengan sukacita yang dikerjakan oleh Roh Kudus. Dengan ini Santo Paulus ingin meneguhkan kita bahwa tidak selalu mudah untuk hidup sebagai pengikut Yesus. Hidup sebagai pengikut Yesus tidak selalu penuh sukacita dan kemuliaan kebangkitan. Hidup seorang pengikut Yesus yang setia dan berkomitmen pada imannya mewajibkannya untuk menerima salib dalam ziarah menuju kemenangan dan kemuliaan kekal. Seorang pengikut Yesus yang siap untuk menderita karena setia kepada ajaran Yesus, akan menerima sukacita dari Roh Kudus. Dan kesetiaan dalam menanggung penderitaan karena mencintai sesama tanpa syarat akan menjadi teladan bagi banyak orang, termasuk mereka yang kita anggap orang-orang keras kepala atau orang-orang jahat. Santa Teresa dari Kalkuta mengatakan: “Kita harus mencintai sampai terluka.”
Pengalaman membuktikan kepada kita bahwa dalam keluarga, komunitas religius atau komunitas paroki, tidaklah mudah untuk mencintai orang-orang yang menolak aturan hidup keluarga, komunitas atau paroki. Tidaklah mudah untuk mencintai mereka yang memiliki perilaku jelek atau kebiasaan-kebiasaan yang buruk. Mengasihi orang-orang seperti ini tidak berarti kita mengorbankan aturan yang disepakati bersama, apalagi ajaran resmi (Magisterium) Gereja. Ini lebih dimaksudkan agar kita senantiasa berusaha mencari cara dan jalan alternatif untuk tetap merangkul dan mencintai mereka yang tidak menaatinya agar mereka tetap mempunyai tempat dan dihargai dalam kehidupan bersama. Memang sulit dan berat. Tetapi inilah bagian dari ujian dan tantangan iman kita dalam mengikuti Yesus sebagai Tuhan dan Guru Agung kita.
Oleh karena itu, hendaknya kita selalu mendengarkan Perintah Tuhan untuk mencintai orang lain (orang baik dan orang jahat, teman dan musuh, orang saleh dan orang berdosa) dan membangun komitmen baru untuk mencintai sesama tanpa syarat dan mencari cara-cara baru diluar cara tradisional untuk tetap mencintai mereka yang belum bisa hidup sesuai dengan aturan dan pedoman hidup bersama termasuk dalam hal hidup beragama dan beriman. Hanya dengan cara itu diharapkan bahwa tahap demi tahap mereka akan berubah, bertobat dan memperbaharui cara hidup mereka. Semoga Roh Kudus membimbing dan memampukan kita dan Bunda Maria, Ratu Rosario selalu mendoakan kita anak-anaknya.
Tuhan memberkati.