TEMPUSDEI.ID (2/11) – Barangkali publik tidak memerlukan banyak penjelasan lagi untuk mengakui kebesaran nama Jakob Oetama. Rekam jejak yang ia torehkan dengan tinta emas sepanjang perjalanan hidupnya, terutama di jagad jurnalistik menegaskan kebesaran itu. Namanya sendiri pun adalah sebuah kebesaran. Kata pepatah Latin, Nomen est Omen, nama adalah tanda. Artinya, dalam sebuah nama termuat makna mendalam yang bisa menjelaskan siapa orang yang memakai atau menyandang sebuah nama itu. Atau diharapkan, roh yang terkandung di dalam nama itu akan meresap ke dalam diri yang bersangkutan.
Dan tentu saja, orang tuanya memberi dia nama Oetama atau primus dalam Bahasa Latin, dengan harapan anak mereka menjadi yang oetama, dan itu terbukti melalui aneka penghargaan dan pencapaian.
Menempuh Jalan Wartawan
Mari “lupakan” sejenak aneka penghargaan formal yang pernah pria kelahiran 27 September 1931 itu dapatkan akibat kerja-kerja intelektual, kemanusiaan dan kebudayaan yang pernah ia lakukan. Bahwa itu sungguh merupakan pertanda jasa-jasanya, ya! Tak terbantahkan, tapi mari sejenak bicara tentang-jejak sederhana yang mengantarnya pada nama besar, harum nan melegenda itu.
Sebenarnya, ada dua cita-cita yang sama-sama tumbuh dalam diri Jakob, yakni menjadi guru dan pastor. Keduanya barang tentu dipengaruhi oleh iman dan profesi orang tuanya. Bapaknya adalah seorang guru beriman Katolik.
Dari perangai yang ia saksikan di rumah dan di sekolahnya masa itu, guru merupakan profesi mulia. “Karena guru saya lihat sebagai profesi yang mengangkat martabat,” kata Jakob dalam buku Syukur Tiada Akhir (2011). Keinginannya menjadi pastor muncul karena melihat kebutuhan tenaga imam, dan memesonanya hidup dan pelayanan seorang imam di matanya.
Dalam perjalanan selanjutnya, minatnya terhadap aktivitas menulis terasa makin mekar saat dia kuliah di Perguruan Tinggi Publisistik Jakarta dan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada hingga lulus pada 1961.
Dia memang sempat melakoni pekerjaan sebagai guru yang merupakan cita-cita awalnya. Namun pengalaman selanjutnya “membelokkan” jalan hidupnya untuk menjadi wartawan.
Dia bekerja sebagai sekretaris redaksi majalah Penabur sejak 1956. Meski jabatannya sekretaris, Jakob melaksanakan pekerjaan sebagai pemimpin redaksi. Jabatan tidak formal ini membuat wawasan dan pengetahuannya di bidang jurnalistik tumbuh subur.
Setelah lulus B-1 Sejarah dengan nilai rata-rata 9, salah satu guru sejarahnya yang juga pastor Belanda, yakni Van den Berg SJ merekomendasikan Jakob untuk mendapatkan beasiswa di University of Columbia, New York, Amerika Serikat. Jakob diharapkan kelak menjadi sejerawan dengan gelar Ph.D.
Sampai di sini, keraguan menyergap dirinya. Ia lalu melamar sebagai dosen di Universitas Parahyangan, Bandung. Lamarannya diterima, bahkan pihak universitas menyiapkan rumah dinas untuknya di Bandung. Tidak berhenti di situ, Universitas Katolik tertua itu juga akan memberi rekomendasi studi lanjut bagi Jakob untuk menyelesaikan Ph.D di Universitas Leuven, Belgia setelah beberapa tahun mengajar.
Di tengah kebingungannya memilih menjadi dosen atau menjadi wartawan, muncul kata-kata “magis” dari Pastor JW Oudejans OFM yang sungguh-sungguh “membelokkan” jalan hidup Jakob.
Pastor Oudejans bertanya tentang profesi yang Jakob ingin tekuni. Jawab Jakob dengan yakin, “dosen!”
Menimpali jawaban Jakob, Pastor Oudejans berkata, “Jakob, guru sudah banyak, wartawan tidak.”
Kata-kata tersebut membuat Jakob mengambil keputusan tegas untuk menjadi wartawan, namun wartawan yang professional. “Orang inilah yang mengubah hidup saya,” kata Jakob suatu ketika seperti diungkapkan dalam berbagai tulisan tentang dirinya.
Selain Pastor Oudejans, sosok lain yang sangat berpengaruh dalam jalan hidupnya adalah Petrus Kanisius Ojong atau PK Ojong.
Banyak kisah terajut di antara mereka sejak mengawali karier, dan dalam membesarkan Kompas. Salah satunya, ketika Kompas diberedel Orba. Ketika itu, rezim mengatakan bahwa agar Kompas boleh terbit lagi, Kompas harus membuat surat permintaan maaf atas pemberitaannya yang menurut rezim menyerang, walau sebenarnya yang dituliskan adalah fakta.
Seperti tersua dalam buku Menulis dari Dalam (2007), terhadap permintaan itu, PK Ojong bersikap frontal dan tidak mau minta maaf. Biar saja dibredel, kata Ojong. Sedangkan Jakob memilih “minta maaf” dengan alasan ”yang mati tidak bisa diajak berjuang, kecuali dikenang”. Ini sejalan dengan prinsip hidup Jakob Fortiter in Re, Suaviter in Modo” yang berarti “Keras dalam Prinsip, Halus dalam Cara!
Rekam jejak Jakob dan aneka pencapaian dengan proses yang menyertai, kiranya menjadi cermin bagi para wartawan atau pemilik media hari ini dalam mengarungi dunia jurnalistik dengan segala tantangannya. Dan pada tempat ini, selayak dan sepantasnya kita mengalamatkan terima kasih yang sangat besar kepada pria bersuara lembut dan rendah hati yang telah berpulang pada 9/9/20 itu atas aneka warisannya yang tak ternilai. Dia adalah “Manusia Pers Indonesia”. Tidak ada keraguan!
Requiescat in Pace!
EMANUEL DAPA LOKA