Oleh Romo Albertus Herwanta, O. Carm
Orang bodoh “kalah” terhadap orang pandai. Orang pandai “dikalahkan” oleh orang bijaksana. Karena itu, menjadi bijaksana jauh lebih penting daripada sekadar jadi orang pandai.
Orang pandai biasanya menghadapi hidup dengan mengandalkan ilmu pengetahuan. Sebagian darinya berbentuk teori yang dirumuskan lewat generalisasi. Sedangkan orang bijaksana tumbuh matang lewat pengalaman dan relasi dengan sumber kebijaksanaan. Yang pertama cenderung melihat realitas secara umum dan teoretis. Abstrak. Sedang yang kedua memahaminya lebih spesifik dan praktis. Konkret.
Seorang teman bilang bahwa “wisdom” itu “practical knowledge” yang amat bermanfaat untuk memecahkan masalah hidup secara tepat-akurat. “Wisdom” itu situasional dan kontekstual.
Perumpamaan tentang lima gadis bodoh dan lima gadis bijaksana (Mat 25: 1-13) mengajarkan hal itu. Mereka membawa pelita untuk menyambut pengantin. Yang bodoh tanpa cadangan minyak, yang bijaksana menyediakan. Saat tengah malam pengantin yang mereka tunggu datang pelita hampir padam. Yang bodoh meminta minyak kepada yang bijaksana, tetapi minyak tidak diberikan. Alasan praktisnya, tidak cukup untuk keduanya.
Secara teori, gadis bijaksana semestinya berbagi. Tapi teori itu akan mencelakakan keduanya. Karena itu, gadis bijaksana memikirkan langkah paling tepat. Mereka selamat (masuk ke dalam pesta nikah) karena tidak mau terjebak dalam kerja sama dengan orang bodoh.
Menarik, bahwa bodoh tidak disamakan dengan tidak pandai, melainkan dengan tidak bijaksana. Kepandaian yang berarti dimilikinya ilmu pengetahuan bisa diajarkan, sedangkan kebijaksanaan hanya diperoleh lewat pengalaman. Kebijaksanaan itu khas dan sulit diajarkan. Karena itu, jumlah orang bijaksana lebih sedikit dibanding dengan orang pandai.
Ilmu pengetahuan dan teori bisa dicari, sedang kebijaksanaan itu mendatangi mereka yang terbuka dan bersikap rendah hati. “Barangsiapa pagi-pagi bangun demi kebijaksanaan tak perlu bersusah payah, sebab kebijaksanaan itu ditemukannnya duduk di depan pintu. Sebab kebijaksanaan sendiri berkeliling mencari orang yang patut baginya, dan dengan rela memperlihatkan diri kepada mereka yang mencarinya; kebijaksanaan dijumpai pada tiap-tiap pemikiran mereka” (Keb 6: 13.16). Kebijaksanaan itu begitu penting.
Negara membutuhkan orang pandai dan juga orang bijaksana. Idealnya, memiliki banyak orang bijaksana. Faktanya, sedikit yang ada. Tapi yang sedikit itu pun mengalahkan orang-orang pandai yang suka gaduh berkomentar dan berteori. Mereka belum tentu sukses dalam mengatasi segala situasi. Benar, yang bodoh “dikalahkan” orang pandai dan kaum cerdik-pandai kalah dengan orang bijaksana. Berbahagialah bangsa yang pemimpinnya tidak hanya mengandalkan kepandaian, tetapi terutama mewujudkan kebijaksanaaan.
Malang, 8 November 2020