Fri. Nov 22nd, 2024

Budaya Informasi di Era Pasca Kebenaran

Eka Budianta, Sastrawan

Ada dua pernyataan Joe Biden yang penting dari pidato kemenangannya. 

Pertama, hentikan demonisasi.  Kedua, ayo bergerak dari fiksi ke sains. Kedua hal itu cukup melukiskan kultur zaman seperti apa yang sedang kita lalui.  Selama beberapa tahun terakhir, persaingan politik meruncing.  Bukan hanya di Amerika Serikat antara kubu Republikan dan Demokrat, tapi juga di tempat lain, termasuk di Tanah Air kita, Indonesia.

Demonisasi – awalnya saya rasa cukup diterjemahkan “mempersetankan”.  Tetapi, rasanya lebih dari itu.  Kita mendengar sendiri bagaimana para pemain politik diperburuk sedemikian rupa oleh lawannya.  Di Indonesia kita mendengar istilah-istilah “kampret” dan “kecebong”  untuk mempertentangkan pendukung dua tokoh politik yang bersaing dalam Pemilihan Umum, Pemilu 2019 lalu.

Kita juga mendapat istilah “kadrun” atau kadal gurun yang berkonotasi memandang rendah kalangan dogmatis yang fanatik pada ajaran tertentu.  Bukan hanya untuk kaum yang entitasnya tidak jelas, tapi untuk pemimpin yang bisa ditunjuk hidungnya tersedia sebutan “Penista Agama” dan “Gabener”.

Singkatnya, ada cara untuk membuat orang takut, benci dan marah sampai melebihi proporsi yang bisa disandang oleh pribadi manusia. Inilah yang diminta Joe Biden agar dihentikan.  Tentu bukan hanya di Amerika Serikat, tapi juga di seluruh dunia.   Bagaimana pun perlu diakui setiap negeri bisa menjadi tanah air bagi siapa saja, dan setiap bangsa bisa menjadi bangsa kita, umat manusia.

Yang tidak bisa dibantah adalah kita punya dua sisi yang mungkin saling bertentangan, tapi juga saling melengkapi. Joe Biden tidak menyebut hal ini, tetapi menegaskan, “Sekarang saatnya saling mendengarkan.”  Dalam kebenaran yang  ekstrim kita diajak mendengarkan diri sendiri.

Secara kultural, Amerika dilahirkan oleh budaya Inggris, meskipun secara politis meneruskan keyakinan Perancis.  Hal ini jelas dari bahasa yang dipakai dan sistim republik yang dijalankan dengan prinsip liberte – egalite – fraternite: kemerdekaan – kesetaraan dan persaudaraan.

Sudah hampir 250 tahun belakangan ini, sejak Revolusi 1776, Amerika menjadi proyek umat manusia bagaimana membangun negara Republik yang berbeda dengan sistem kerajaan.   Kita di Indonesia suka atau tidak suka terinspirasi oleh negara itu dalam membangun budaya politik kita.  Setahun sebelum Sumpah Pemuda, pada 4 Juli 1927,  Bung Karno dan kawan-kawannya mendirikan Partai Nasional Indonesia, PNI, bersamaan dengan hari kemerdekaan Amerika.

Setelah merdeka, kita juga menggunakan istilah Revolusi 1945 – untuk menyebar luaskan semangat kemerdekaan.  Bahkan setelah Bung Karno jatuh, sejak 1966 kita menganut isme pembangunan, yang jelas-jelas mengacu pada Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa, sebuah gagasan yang bersumber pada “Amerikanisasi” dunia sejak 1948.

Tentu, kita tidak suka kalau dibilang mengekor pada bangsa lain, baik mengikuti India, China, Amerika, apa lagi Belanda khususnya dan Eropa pada umumnya.  Tetapi dalam kebudayaan, kita mau tidak mau, suka tidak suka setiap bangsa harus memberi dan menerima yang terbaik.  Kita belajar pada Inggris misalnya, bagaimana menghormati pahlawan.

Dulu saya bangga punya Hari Pahlawan 10 November.  Setelah tinggal di Inggris, saya merasakan November memang bulan untuk mengenang para pahlawan, dan kita sematkan bunga popi di dada kanan.  Sebagai umat Kristen kita juga mendedikasikan November sebagai bulan untuk mendoakan jiwa-jiwa yang telah menghadap Tuhan, bulan untuk para arwah.

Jadi, dalam menarasikan kebudayaan pada prinsipnya kita tidak bisa memisahkan diri, tidak perlu merasa lain daripada kebudayaan lain dan bangsa mana pun.  Kita sama-sama menjunjung kebudayaan manusia.  Dan di dalam kebudayaan itu, mau tidak mau, suka tidak suka kita juga harus mengakui adanya beragam agama.  Di sini kita menyadari  bahwa agama masuk dalam sistem kebudayaan, bukan sebaliknya.

Nah – selama beberapa tahun terakhir kita didorong untuk menjadi lebih patuh pada agama.  Dunia mengajarkan kita agar mengedepankan agama lebih dari budaya.  Seolah-olah, justru kebudayaan adalah bagian daripada agama.  Jadi dalam Kristen ada budaya Flores, budaya Batak, budaya Jawa, Tionghoa, dan seterusnya.

Padahal kalau kita cermati, istilah Hindu Bali, Islam Nusantara, Katolik Italia, dan seterusnya jelas-jelas mengakui bahwa  Hindu yang mendukung kebudayaan Bali, Islam yang  memperkaya Nusantara, Katolik yang berkembang di Italia, dan seterusnya.

Dampak dari berpikir terbalik – hemat saya telah melahirkan kembali umat yang menyukai dogma lama, saat manusia yakin bahwa bumi diyakini sebagai bidang yang datar.  Itulah yang mungkin menumbuh-kembangkan lagi aliran bumi datar di hampir semua keyakinan.  Rasanya dengan kembali berpikir secara tidak ilmiah, manusia dapat menemukan kebahagiaan yang hilang.

Maka, kita lihat dan dengar informasi berhadapan dengan jaman baru, yaitu pasca-kebenaran.  Jaman itu muncul karena saat masyarakat lebih meyakini persepsinya sendiri daripada fakta. Jadi, sebagai jurnalis kita tidak perlu marah bila berita yang kita kabarkan dianggap sama sekali tidak terjadi.

Pada penutupan Oktober kemarin, saya memposting jumlah korban yang wafat kena Covid-19 setelah yang terpapar lebih dari 50 juta orang di seluruh dunia.  Tiba-tiba muncul reaksi spontan singkat sekali: Cuma data tanpa bukti.

“Suruh dia datang ke Pondok Rangon, dan membantu petugas gali kubur di sana!” jerit istri saya.  Bagaimana mungkin ada orang tidak percaya statistik dan tidak mengakui begitu banyak dokter yang telah meninggal dunia?  Saya terdiam cukup lama.

Setelah mendengar pidato kemenangan Joe Biden, saya mengerti.  Mungkin orang yang bereaksi itu merasa lebih bahagia hidup di alam fiksi.  Dia tidak mungkin diajak turun ke lapangan, dan melihat kebenaran berdasarkan fakta yang melandasi kebenaran.

Pemilihan umum di Amerika masih menyisakan debat.  Banyak pemimpin dunia telah memberikan ucapan selamat atas terpilihnya Joe Biden.  Tetapi  lawan politiknya belum mengakui, bahkan masih ada yang unjuk-rasa menuduh telah terjadi pencurian suara dan membawa poster bertulis  “Hentikan Kebohongan”.

Inilah jaman pasca-kebenaran yang sedang kita lewati.  Sekarang pertanyaannya, bagaimana wartawan Kristen menjalankan tugasnya.  Apakah perlu  mengorbankan informasi agar dipercaya oleh khalayak umum.  Atau tetap percaya dan membawa harapan, sesuai dengan iman bahwa Tuhan begitu mencintai manusia ciptaannya ini, dan seterusnya, dan seterusnya, termasuk iman penebusan dan kebangkitan?

Semoga hati nurani dan akal sehat kita mendapatkan berkah keseimbangan.

Disampaikan dalam “Malam Cinta bagi Negeri” pada 10 November  dalam rangka HUT ke-17 Perkumpulan Wartawan Media Kristiani Indonesia (Perwamki) di Hotel Aston, Pondok Indah, Jakarta Selatan. 

 

 

Related Post

Leave a Reply