Oleh Fransisca Stella
Berkhotbah dalam konteks ibadah kristiani adalah menyampaikan kabar baik (evangelion). Dengan demikian, pesan yang hendak disampaikan adalah pesan Injil. Karena itu, cara penyampaiannya berbeda dengan penyampaian pesan-pesan yang lain.
Ada sisi spiritualitas di dalamnya yang disampaikan oleh sang pengkhotbah. Injil disampaikan dalam semangat keselamatan dari Tuhan yang telah dirasakan oleh orang yang menyampaikan. Seseorang yang berani melakukan penginjilan namun tidak beiringan dengan spiritulitasnya, itulah keberanian tanpa makna injili.
Spiritualitas hadir bukan sebagai hasil tangan manusia melainkan lahir dari roh dan membiarkan roh itu bekerja untuk manusia. Roh sebagai koneksi antara manusia dengan Allah. Karena itu, setiap penginjil sering dikatakan sebagai pembawa kabar gembira dari Tuhan sendiri.
Tentunya seorang pengkhotbah harus memiliki aspek penting yang diperhatikan ketika hendak berkhotbah yaitu, persiapan hati, jiwa, dan roh. Ketiga aspek tersebut begitu menentukan mengenai kualitas khotbah yang akan disampaikan kepada jemaat dan diharap mampu menyentuh hati para jemaat.
Khotbah yang berkualitas tentu juga harus melewati proses persiapan yang berkualitas pula. Hal pertama yang tidak boleh diabaikan ketika akan memberitakan kabar baik adalah doa. Doa menurut Henry Nouwen merupakan jembatan dalam dua sisi kehidupan, yaitu sebagai penghubung antara tempat Allah berada dengan dunia sendiri yang terlihat seperti jurang maut manusia dengan sekumpulan dosa-dosanya. Doa merupakan perjalanan “pekerjaan jiwa” karena jiwa kita adalah pusat sakral semua menyatu dan manusia menjalin relasi yang intim dengan Allah.
Lantas, bagaimana cara memersiapkan, memberikan rasa pada khotbah yang seharusnya? Mari belajar dari Henry Nouwen.
Henri Nouwen
Henri Jozef Michel Nouwen lahir di Nijkerk, Belanda pada 24 Januari 1932 – Meninggal di Hilversum, Belanda pada 21 September 1996 ketika umurnya 64 tahun. Beliau adalah seorang Katolik dan berprofesi sebagai pastor dari Belanda. Lebih dari 30 buku rohani telah ditulis dan sangat digemari oleh umat kristiani. Ia juga mengajar di banyak universitas kelas dunia salah satunya pada Universitas Harvard, namun setelah dua puluh tahun mengajar, ia memilih mengabdi pada lingkungan orang-orang cacat di Toronto.
Nouwen melakukan suatu pelayanan di Amerika Latin yang mengalami kemiskinan berakibat pada kemerosotan sosial kemudian dengan itu ia menjadi terkenal dan menjadi tokoh internasional. Sifatnya yang sangat rendah hati dan terbuka dapat menginspirasi banyak orang. Nouwen hanya berharap supaya dirinya dapat menjadi katalisator atau yang bisa memudahkan orang lain.
Nouwen memercayai spiritualitas akan bertumbuh seiring dengan perjalanan kehidupannya. Hidup menjadi sumber pembelajaran yang tak pernah habis untuk dipelajari. Khotbah merupakan salah satu sumber pembelajaran yang baik untuk setiap orang. Ada beberapa hal yang ditegaskan oleh Henry Nouwen untuk seorang pengkhotbah.
Berkhotbah Sebagai Sebuah Dialog
Sederhananya, berkhotbah merupakan usaha untuk menyampaikan tafsiran konsep pada orang lain. Pada kristiani, seorang penginjil mempunyai tugas mengkomunikasikan lebih jelas pada jemaatnya.
Sebelum menyampaikan khotbah haruslah memahami makna terhadap teks yang akan disampaikan. Keadaan ini disebut sebagai pra-khotbah menurut Nouwen.
Tugas pengkhotbah itu hanya menyampaikan teks yang telah dipahami. Namun, agar tidak terlihat membosankan dan monoton saat berkhotbah, proses modifikasi boleh dilakukan tetapi tidaklah berlebihan karena jika berlebihan akan mengarah pada keinginan subjektif pengkhotbah saja padahal tujuannya agar pesan yang sesungguhnya dapat tersampaikan.
Maka, dapat dikatakan bahwa dialog bukan sebuah teknik melainkan suatu sikap seorang pengkhotbah yang mampu menyatukan korelasi antar umat dan membawa efek yang baik. Dialog yang tersampaikan dengan baik akan membuat umat masuk dan merasa terlibat langsung dalam penyelesaian pergumulan hidup secara umum dan ikut dirasakan semua umat. Nouwen menegaskan dialog yang dimaksudkan bukanlah dialog pada umumnya tetapi sebuah “sikap hidup”. Saat berdialog, pengkhotbah harus bersikap lebih terbuka pada jemaatnya, inilah inti spiritualitas pengkhotbah bagi Nouwen.
Spiritualitas yang Membebaskan
Konsep spritualitas yang membebaskan ini oleh Nouwen disebut sebagai sebuah keadaan di mana seorang pengkhotbah harus sudah merasa terbebas dari adanya rasa takut, khawatir akan kehidupannya, sehingga mampu untuk membawa umat lainnya untuk bebas juga dari problematika dirinya. Konsep khotbah bukan lagi sebagai pembahasan ulang mengenai teks yang telah dipahami namun lebih mengarah kepada kebebasan untuk berdialog antara pengkhotbah dan umat Allah.
Bagaimana cara agar pengkhotbah dapat memiliki spiritualitas yang membebaskan menurut Nouwen? Dengan memiliki sifat yang sangat terbuka. Mengapa demikian? Nouwen mengatakan, keterbukaan dapat membuat pemahaman yang lebih luas dan terbuka juga. Dialog tidak dapat berjalan jika keadaan diri pengkhotbah tertutup. Diri yang tertutup akan memperlihatkan kegelapan saja, dan ini dapat menyesatkan umat. Pengkhotbah harus mampu berjumpa dengan realitas diri dalam keterbukaan sehingga ia mampu melihat kuasa Allah dalam hidupnya untuk kemudian disaksikan pada orang lain.
Manusia mampu terbuka apabila ia dapat menghayati kehidupannya. Diri yang tertutup bisa mengakibatkan seseorang kehilangan bagian dari realitas dalam dirinya. Pengkhotbah yang telah menghayati kehidupannya dengan penuh rasa syukur dan baik pasti mampu untuk menyentuh hati umatnya yang sangat beragam.