Oleh Emanuel Dapa Loka
Yang pasti, hari ini banyak orang yang merasa pikiran, perasaan dan sikapnya terwakili dalam sikap Nikita Mirzani.
TEMPUSDEI.ID (15/11) – Artis Nikita Mirzani tak henti-hentinya menjadi perhatian publik, mulai dari kehidupan pribadi sampai ke profesinya. Gayanya yang ceplas-ceplos atau apa adanya dan cara berpakaiannya acapkali juga membuat sebagian orang “gemes”. Dan memang, artis sebagai public figure harus menjadi perhatian publik. Karenanya, banyak artis yang suka mencari perhatian publik melalui berbagai aksi baik yang normal, sensasional bahkan kerap tidak senonoh bahkan yang benar-benar membuat publik geleng-geleng kepala. Tapi kerap kali, aksi cari perhatian itu dipandang sebagai jalan pintas atau mungkin juga jalan efektif untuk merebut perhatian publik.
Kita kembali ke wanita kelahiran 17 Maret 1986 tersebut. Bersamaan dengan kembalinya Habib Rizieq Shihab ke Tanah Air, tiba-tiba Nikita Mirzani menjadi trending topic. Kali ini hanya karena sepotong kalimatnya yang menyebut Rizieq sebagai “tukang obat”. Dua kata ini menyebabkan pengikut Rizieq bernama Maheer At-Thuwailibi tersinggung kelas dewa sehingga mengancam akan mengeruduk rumah Nikita dengan janji membawa laskar, jika Nikita tidak minta maaf dalam waktu 1×24 jam. Maheer pun melontarkan ancaman sambil memaki-maki Nikita dengan kata-kata yang tak semestinya. Maheer menyebut Nikita lo*te dan penjual selang****** Sungguh! Kata-kata yang sangat tidak layak diucapkan oleh seorang “beriman”.
Lantas, dengan ancaman dan makian tersebut Nikita takut, menyerah dan lunglai lalu bersembunyi dan tiba-tiba pergi jauh dan raib? Tidak. Dia tetap berdiri sebagai Nikita yang apa adanya dengan sikap “keras kepala” dan tidak mau sok suci. Dia pun tidak melawan dengan kata-kata penuh amarah dan cacian. Melalui akun instagramnya ia justru dengan santuy menulis: “Yuk bawa deh tuh 800 orang itu sekalian kita makan bakso bareng. Gue open house, dan jangan lupa bawa KTP, gue mau kasih hadiah untuk rumah terjauh.” Simpati dan pembelaan netizen dan berbagai pihak pun berdatangan untuk pembawa acara televisi itu, bahkan mucul tagar #savenikita atau meme “Nikita For President” dan macam-macam tanda simpati yang lain. Polisi pun berjaga di rumahnya.
Nama adalah Tanda
Nomen est omen, begitu bunyi sebuah ungkapan klasik yang berarti “nama adalah tanda”atau the name is a sign, the name speaks for itself. Ungkapan ini membawa pesan bahwa dalam sebuah nama termuat makna mendalam yang bisa menjelaskan siapa orang yang memakai sebuah nama itu, “nama berbicara atau menjelaskan dirinya”. Atau, diharapkan semangat atau roh yang terkandung dalam sebuah nama meresap ke dalam diri penyandang nama. Karena itu, tidak ada orang yang menamai anaknya secara sembarangan. Tidak ada orang tua yang menamai anaknya “kucing” atau “tikus” yang sudah terlanjur menjadi simbol sikap koruptif atau “babi”sebagai simbol kerakusan dan keharaman.
Bagaimana dengan nama Nikita? Kalau kita sepakat dengan makna omen est omen tersebut, nama Nikita membawa pesan tersendiri. Nikita berarti “penakluk orang” atau “tidak tertaklukan” atau “menang”. Kalau roh tidak terkalahkan atau berpendirian kuat itu meresap dalam diri orang yang memakai nama Nikita, maka mungkin itulah salah satu alasan Nikita Mirzani berani berdiri tegak, melihat (pirsa) dan menghadapi ancaman yang bagi kebanyakan orang lain bisa bikin gemetar itu.
Kalau mencoba mengutak-atik lagi dengan iseng nama Nikita, nama ini bisa menjadi “ini kita” yang membawa pesan semangat solidaritas dan kebersamaan yang melibatkan semua orang tanpa membuat pemisahan secara primordial atau dengan batasan apa pun. Dan mungkin karena itu, kedua orang tua pemeran figuran Lihat Boleh, Pegang Jangan (sebagai debutnya) itu tidak memberi dia nama Nikami, Nieka (Nimereka). Mungkin karena di dalam “kami” tidak ada “kita” sedangkan di dalam kita ada kami, saya, kamu.
Yang pasti, hari ini banyak orang yang merasa pikiran, perasaan, sikapnya terwakili dalam sikap Nikita Mirzani.
Mantap mbak Nikita, semangat selalu…
Mungkin anda mewakili banyak suara yang sedang menyaksikan politik bangsa ini. Kata “mungkin” tersebut seperti nya harus saya ganti dengan kata yang lebih bijak, hehehe