Oleh Febry Silaban, Pengamat bahasa
Kata “guru” (गुरु) berasal dari bahasa Sanskerta yang terdiri dari dua suku kata suku kata: gu (गु) dan ru (रु). “Gu” artinya kegelapan dan “Ru” artinya cahaya atau terang. Sangat menarik, ternyata kata “guru” tersusun dari dua suku kata yang bermakna berlawanan, yaitu gelap dan terang.
Dalam linguistik, kontradiksi dalam bahasa seperti ini disebut oksimoron. Menariknya, kata “oksimoron” ini sendiri adalah sebuah oksimoron sebab ia mengandung kontradiksi. Mengapa? Istilah “oksimoron” berasal dari bahasa Yunani dan terekam pertama kali sekitar tahun 400, dan terdiri dari kata oxús (ὀξύς) yang artinya “tajam” dan mōros (μωρός) yang artinya “tumpul”, yang secara jelas saling bertentangan. KBBI menjelaskan oksimoron sebagai ‘penempatan dua antonim dalam suatu hubungan sintaksis (dalam koordinasi dan subordinasi)’. Contohnya, “kue ini manis pahit”.
Kembali ke guru, secara harfiah, guru dipandang sebagai orang yang “menghalau kegelapan, ketidaktahuan”. Guru adalah orang yang menunjukkan “cahaya terang” atau pengetahuan dan memusnahkan kebodohan atau kegelapan.
Manusia secara alamiah pada mulanya adalah “gu”, yaitu tidak berpengetahuan atau gelap. Dalam posisi ini sering disebut masih belum memiliki arah atau orientasi. Setelah menjalani pendidikan, ia akan menjadi “ru” atau terang, bercahaya, bersinar, dan ringan karena disinari oleh pengetahuan yang dimilikinya. Proses transformasi dari “gu” ke “ru” atau gelap (awidya) menuju terang (widya) berjalan secara terus menerus tanpa henti sebagai proses pendidikan hidup sepanjang masa. “Widya” dalam hal ini dapat juga berarti pengetahuan.
Dengan demikian, dari sudut etimologi atau sejarah asal kata bahasanya, jelas martabat insan yang bernama ‘guru’ ini amat tinggi. Pertanyaan refleksi: apakah kita masih memahami dan menghormati martabat guru ini pada zaman sekarang ini?
Selamat hari guru kepada teman-teman dan keluarga yang berprofesi sebagai guru, khususnya ibundaku sendiri yang sangat kubanggakan, pahlawan bangsa dan pahlawan keluarga.