Pastor Chrisanctus Paschal Saturnus, Ketua Komisi KKPPMP Kevikepan Utara Keuskupan Pangkalpinang dan BPH KKPPMP KWI
TEMPUSDEI.ID (17/12/20)
Apa yang hendak dikatakan dengan judul di atas? Sejarah itu Diam Tak Diam. Tak lekang oleh panas, tak lapuk karena hujan. Ia menjadi indah dan menarik dalam lintas kenang perjalanan Keuskupan Pangkalpinang yang dihadirkan lewat geliat sebut saja para rasul awam migran yang memilih “tak diam”. Ya, mereka menjadi perintis lahirnya sejarah komunitas umat Katolik perantau (Migran) di wilayah Keuskupan Pangkalpinang.
Semula mereka meninggalkan kampung halaman bukan untuk menjadi pewarta Injil. Mereka adalah pencari kerja. Namun mereka “tak diam” melihat kenyataan: Gereja belum hadir. Tidak ada para rohaniawan. Mereka para perantau migran ini menjadi Gereja yang hidup dan saling menghidupi iman Katolik mereka melalui kegiatan doa seadanya dalam pertemuan yang mereka adakan.
Mengenang peristiwa ini sungguh mengharukan bagi panggilan saya sebagai seorang Imam. Saya melanjutkan yang telah mereka lakukan dalam segala keterbatasan dan kesederhaan. Sedehana memang, namun memikat.
Sebut saja antara lain, Paulus Tjen On Ngie (kelahiran 1795). Ia seorang perantau asal Tiongkok. Ia merantau ke Penang (Malaysia) dan dibaptis di sana pada tahun 1827. Tiba di Bangka tahun 1830 dan menetap di Sungai Selan di antara kuli Tiongkok. Atas prakarsanya sendiri, ia menyebarkan benih iman Katolik di antara para penambang Tiongkok. Para katekumen yang telah dia persiapkan dikirim ke Singapura dan Penang untuk dibaptis di sana. Baptisan pertama di Sungai Selan pada tahun 1849 oleh Pastor Claesens, Pr dari Batavia. Jumlah mereka 50 orang, dan Paulus Tjen On Ngie diangkat menjadi katekis. Ketika terjadi kekosongan tenaga pastor di Bangka (1867), Paulus Tjen On Ngie berperan sebagai “pastor” sampai akhir hayatnya pada tahun 1871.
Komunitas Nelayan Katolik di Sugi Bawah (Moro) Kepulauan Riau dari Fu Kien (Tiongkok) kebanyakan sudah masuk Katolik di tempat asalnya dan sebagian besar dari paroki Ping Hai. Di sekitar tahun 1920, mereka mengadakan kontak dengan pastor di Singapura yang beberapa kali datang melayani mereka. Dan pada tahun 1925 Mgr. Herkenrath SS.CC mengunjungi mereka.
Sekitar tahun 1950-an, para perantau asal Flores yang banyak tersebar di Pulau Senayang hingga ke Pulau Batam, Tanjung Pinang, Tanjung Balai Karimun, setiap Sabtu dan Minggu berdoa rosario bersama dan menyanyikan lagu-lagu dari Jubilate. Mereka juga membangun kapela-kapela sebagai tempat berkumpul. Semua ini menjadi cikal bakal berdirinya Gereja dan berkembangnya agama Katolik di wilayah Kepulauan Riau.
Faktanya mereka rata-rata tidak menamatkan sekolah dan memilih merantau, namun memiliki semangat merasul yang cukup tinggi tanpa pamrih. Puji Tuhan! Yang mereka lakukan pada saat itu berbuah rahmat hingga saat ini. Gereja Katolik diterima dengan baik oleh masyarakat Tempatan (suku Melayu) dan berkembang dangan baik. Itu semua karena para perantau ini memilih untuk “tidak diam” bekerja buat Tuhan. Mereka bergerak dan bertindak demi Gereja yang hidup.
Dari lintasan kenangan di atas dapat disimpulkan betapa kuat peranan para perantau migran dalam memberikan diri mereka dipakai Tuhan sebagai mata, kaki, tangan, telinga, hati Tuhan di tengah lingkungan saat itu sehingga Yesus Kristus dan Ajaran Gereja Katolik dikenal dan berkembang baik sampai saat ini.
Ironika Kaum Migran
Kata pepatah, pahit di ujung manis terbuang atau lain dahulu lain pula sekarang. Ada hal yang sangat ironis ketika berbicara perihal para pekerja migran hari ini. Sejak dua puluh tahun terakhir, masalah kaum migran/buruh perantau telah menjadi perhatian cukup besar bagi penggiat kemanusiaan karena masalah yang mereka hadapi telah masuk dalam tindak kejahatan kemanusiaan yang keji. Perdagangan manusia yang kian masif seperti tak pernah berhenti. Pekerja asal Indonesia menjadi korban terbesar dengan ragam kasus. Keuskupan Pangkalpinang sebagai daerah transit dan juga tujuan para migran dan perantau menjadi saksi betapa maraknya penderitaan dan rumitnya persoalan yang mereka alami. Provinsi NTT misalnya menjadi penyumbang tenaga kerja non prosedural terbanyak baik untuk tujuan wilayah Keuskupan Pangkalpinang maupun sebagai transit untuk mencari nafkah ke negera seberang. Mereka rawan menjadi korban perdagangan orang. Parahnya lagi, separuhnya adalah umat Katolik.
Masihkah Gereja “Bergerak Keluar” ?
Pertanyaan reflektif buat Gereja dan tentu buat saya pribadi sebagai seorang Imam, sudah sejauh mana keberpihakan Gereja terhadap masalah perbudakan di zaman modern ini? Bagaimana semangat Injil Yesus Kristus berkarya nyata di dalamnya? Atau serupa ‘Gereja Pilatus’, cukup air dalam baskom dan handuk untuk cuci tangan? Atau cukup berkata: Gereja bukan LSM, serahkan saja pada Pemerintah. Kenapa Gereja harus cuci piring?
Dalam seruan Apostoliknya 7 tahun silam (Evangelii Gaudium, 24 November 2013), Paus Fransiskus menyatakan Gereja harus “bergerak keluar”. Gereja yang pintu-pintunya selalu terbuka dan menjumpai setiap orang tanpa kecuali sebagai bagian dari tugas perutusannya. Injil suci menegaskan kepada siapa Gereja harus pertama-tama pergi. Orang-orang miskin, orang sakit, mereka yang teraniaya dan terabaikan, “mereka yang tidak bisa membalasmu” (Luk 14:14). Gereja sebagai rumah Bapa, tempat untuk setiap orang dengan segala persoalan hidup mereka menimba limpahan rahmat Tuhan dan hidup Yesus Kristus.
Secara mendalam Paus Fransikus menyampaikan keinginannya bagi seluruh Gereja menjadi Gereja yang memar, terluka dan kotor, karena telah keluar di jalan-jalan, daripada Gereja yang sakit karena menutup diri dan nyaman melekat pada rasa amannya sendiri. Terperangkap pada obsesi dan prosedur. Tertutup pada struktur-struktur yang memberikan rasa aman palsu, dalam peraturan-peraturan yang menjadikan kita hakim-hakim yang kejam, sementara di luar pintu kita, orang-orang sedang kelaparan dan Yesus tak lelah-lelahnya bersabda kepada kita: Kamu harus memberi mereka makan” (Mrk.6:37).
Gereja dalam segala misinya hadir untuk memberitakan dan menghidupkan kabar baik dalam dunia dan karena itu harus memiliki kepekaan akan realitas yang umat hadapi. Jika Gereja menjadikan Allah dan Yesus Kristus sebagai sumber utama ucapan dan tindakan pemberitaan kabar baik, maka kabar baik serupa apa yang telah dihidupi bila Gereja mengambil jarak dalam realitas permasalahan yang dihadapi khusunya yang dialami para kaum migran ini.
Ketika Gereja sendiri tidak dapat mengartikan dirinya dalam penderitaan umatnya, maka Gereja telah gagal menghidupi kabar baik itu, khawatir terjebak pada relasi finansial, relasi status sosial, relasi kekuasaan dan kebendaan digerus arus zaman nyaris tak berbatas lagi.
Sebagai seorang Imam, menjalani fungsi kenabian (profetik) untuk menyuarakan keadilan dan kebenaran, serta menjalani tugas kegembalaan dalam hal pendampingan dan keberpihakan kepada mereka yang tertindas dan menjadi korban dari kejahatan kemanusian atas perdagangan manusia ini tidak jarang menghadapi kecaman dan hal yang dilematis.
Hemat saya, tidak ada tempat berhenti, selagi tugas perutusan yang menjadi tujuan Allah itu belum selesai. Menghadirkan Allah sebagai penghibur dan penyelamat umat manusia. Bagian dari menghidupi Injil dalam konteks di atas adalah dipanggil secara bersama-sama untuk menjadi alat Kerajaan Allah dengan meneruskan misi Yesus Kristus di dunia, yakni untuk terlibat dalam perjuangan pemenuhan nilai diri dan martabat manusia sebagai ciptaan Tuhan yang baik adanya.
Gereja memang harus bergerak ke luar, menjadi semakin transformatif. Yesus saja memilih meninggalkan surga dan turun ke dunia menderita demi umat yang di kasihi-Nya. Mengapa kita memilih nyaman-nyaman saja dengan realitas keprihatinan yang ada di depan pelupuk mata?
Diam Tak Diam! Keberadaan para pekerja migran dan perantauan pada kurun waktu sejarah tertentu menjadi kisah heroik dalam sejarah eksistensi Keuskupan Pangkalpinang. Bagian yang tak bisa kita potong dan campakkan begitu saja dengan alasan mencari aman dan melupakan sejarah pengabdian mereka pada Gereja perdana di seluruh wilayah Keuskupan tercinta ini. Ketika hari ini, para buruh migran itu datang pada Gereja dengan persoalan kejahatan kemanusiaan yang mereka hadapi, apakah mereka harus kita abaikan? (Orang melayu cakap, ape yang nak kite selambekan)?
Tragedi dan kisah pilu para korban kejahatan kemanusiaan dari perdagangan manusia terus terdengar jerit dan tangisnya. Semoga tulisan sederhana ini menjadi pintu terbuka bagi semua kita untuk kembali memberi hati, waktu, perhatian, dan tindakan nyata bagi melawan rupa-rupa kejahatan kemanusiaan di mana saja berada sebagai pribadi yang dipakai Tuhan sebagai alat-Nya.
Bersukacitalah hai pulau-pulau serupa ‘Rasul Awam Perdana’ di wilayah Keuskupan Pangkalpinang ini. Memilih aksi nyata bukan untuk bermegah diri, di lambung ombak berkawan gelombang. Diam Tak Diam dalam rasa nyaman berkarang batu. Semoga! (Sementare ini ‘luk, lain waktu kite sambung lagi. Aok!.
Selamat hari Migran Internasional, 18 Desember 2020!