Oleh Pater Kimy Ndelo, CSsR, Provinsial Redemptoris
Natal tanpa sebuah kisah kelahiran rasanya aneh.
Bagaimana mungkin berkisah atau berefleksi tentang Natal tanpa kehadiran seorang bayi, Yesus, di palungan dengan sang Bunda Maria dan Bapak Yosef di sampingnya, dikelilingi oleh gembala dan ternak peliharaannya?
Bagaimana mungkin bercerita tentang Natal tanpa warta rombongan malaikat yang turun dari surga dan para majus yang tergopoh-gopoh mencari raja yang baru dilahirkan?
Tapi ini semua justru terjadi pada Hari Raya Natal. Dengarlah kisah Injil yang dibacakan hari ini, pengantar Injil Yohanes (Yoh 1,1-18).
Mengapa Gereja justru mengambil bacaan Injil yang tidak ada sangkut pautnya dengan kisah kelahiran Yesus seperti tertulis dalam Injil Mateus dan Lukas?
Baik untuk memahami latar belakang Injil Yohanes khususnya bagian pengantar ini.
Ketika Injil Yohanes ditulis, diyakini di Efesus, umat Kristen sudah lebih berwarna Yunani daripada Yahudi. Latar belakang dan pola pikir mereka beda dengan orang Yahudi. Mereka tidak akrab dengan istilah Mesias atau Penyelamat atau Penebus. Itu tidak relevan untuk sejarah hidup mereka.
Karena itu Yohanes sebagai penulis Injil harus putar otak untuk menjelaskan dengan bahasa yang mereka pahami tentang SIAPA Yesus. Bukan tentang DIMANA dan BAGAIMANA Yesus lahir seperti diuraikan dalam Injil Mateus dan Lukas.
Satu kata yang bisa mewakili pola pemahaman mereka tetapi justru menjadi inti terdalam eksistensi Yesus adalah LOGOS atau SABDA (Word-Inggris/Parola-Italia).
Istilah Logos atau Sabda mempunyai nilai spiritual yang dalam karena itu adalah cara Allah mencipta dan berkomunikasi dengan manusia sejak awal mula.
Dalam kisah penciptaan Allah bersabda. Melalui para nabi selama ribuan tahun Allah bersabda. Dan sekarang Sabda itu hadir secara nyata dalam diri seorang pribadi bernama Yesus atau Yehosua.
Sada Allah yang menjelma menjadi manusia adalah Natal yang sesungguhnya. Ini adalah sebuah kisah KELAHIRAN yang sebenar-benarnya. Dan tak ada yang menyamai atau menyerupainya dalam sejarah umat manusia.
Di sisi lain eksistensi Yesus yang sudah ada sejak awal mula, dari saat penciptaan, dan menyatu dengan Allah sendiri, justru menjadi dasar kuat kehadiran Allah yang melampaui batas ruang dan waktu.
Disinilah makna ke-ILAHI-an Yesus sungguh mendapat tempat yang selayaknya. Disinilah kita memahami pribadi Yesus yang bukan sekedar seorang anak bayi yang bertumbuh menjadi besar lalu dinyatakan sebagai Anak Allah.
Dia adalah Anak Allah dan sudah hadir bahkan sebelum penciptaan dimulai oleh Allah.
Dengan kisah Yohanes ini kita menjadi makin sadar bahwa Natal bukan tentang sebuah kerapuhan manusia tetapi tentang keagungan Allah, dan tentu keagungan iman kita.
Kita tidak mengimani seorang bayi yang lemah tetapi mengimani seorang pribadi yang mulia.
Karena itu kritik tentang Natal, tentang kisah kelahiran Yesus yang disana-sini mengandung pertanyaan atau keraguan terpatahkan dengan sendirinya.
Kita boleh bangga tentang tentang Yesus kita dan dengan penuh sukacita bersorak: Kemuliaan bagi Allah Yang Maha Tinggi dan Damai di bumi bagi yang percaya kepada-Nya.
Seorang anak umur empat tahun dibawa oleh neneknya berkeliling kota untuk melihat bagaimana perayaan Natal di kota itu. Mereka melihat suasana yang begitu indah dengan hiasan-hiasan menarik.
Suatu ketika mereka masuk ke sebuah gereja dan melihat ke dalam kandang Natal. Neneknya dengan takjub menjelaskan pada cucunya, “Lihat dek, betapa indah gua ini. Maria dan Yosef yang begitu anggun, malaikat yang cantik, bintang, domba dan gembala, semua nyaris sempurna”.
Cucunya terus menatap kandang lalu berkata: “Iya Nek, tapi satu yang aku heran. Apakah Yesus tidak pernah menjadi besar? Dari tahun lalu ukurannya koq tetap sama!
Salam Natal dari Biara Santo Alfonsus-Konventu Redemptoris Weetebula, Sumba tanpa Wa