Eleine Magdalena, Penulis buku-buku best seller
TEMPUSDEI.ID (30/12/20)
Kita membaca dialog Yesus dengan para murid dalam perjamuan malam Paskah. Murid yang dikasihi, sangat mungkin adalah Yohanes, duduk di sebelah kanan Yesus. Sedangkan Yudas, menurut beberapa tafsiran, duduk di sebelah kiri Yesus karena Yesus dapat berbicara kepada Yudas tanpa didengar oleh murid-murid yang lain. Jika murid-murid lain dapat mendengar ucapan Yesus dalam ayat 26 tentulah Yudas tidak dapat meninggalkan ruangan tanpa dicegah oleh murid-murid lain.
Yudas dan Petrus pernah mengkhianati Yesus. Kalau Yudas akhirnya dikenal dan dikenang sebagai penjahat sebaliknya Petrus kemudian diangkat oleh Yesus menjadi pemimpin bagi murid-murid dan bagi Gereja-Nya. Yesus mengenal hati para murid-Nya. Termasuk motivasi yang melatarbelakangi perbuatan mereka. Kalau Yudas melakukan pengkhianatan terhadap Gurunya itu dengan sadar dan terencana sebaliknya Petrus karena kelemahan pribadinya, tiga kali menyangkal Yesus. Kita melihat perbedaan antara dosa berat dan dosa ringan. Yesus mengerti apa yang terjadi pada Petrus. Petrus biasa mengikuti dorongan hatinya yang sesaat kemudian dapat sangat menyesal. Namun, sesungguhnya Petrus sangat mengasihi Yesus. Kita melihat bagaimana Tuhan kita Maharahim dan memahami diri kita apa adanya. Tuhan melihat hati yang terdalam.
Yesus pun menubuatkan bahwa Petrus tidak mengikuti Yesus sekarang (ay 36b) namun kelak Petrus akan mengikuti Kristus di salib dan bersama-Nya juga dalam kemuliaan.
Sesungguhnya mengikuti Kristus adalah jalan yang berat sekaligus menyenangkan. Mengapa? Karena kita mempunyai Tuhan yang mengenal kekuatan dan kelemahan kita. Ia adalah Tuhan yang selalu memberi kita kesempatan kedua untuk kembali bila kita mau datang kepada-Nya dan mengakui kelemahan kita. Ia adalah Tuhan yang melihat kita secara benar bukan seperti tuan atau bos dunia ini yang dapat salah sangka terhadap kita. Ia adalah Tuhan yang melihat proses bukan semata-mata hasil. Bukan keberhasilan atau kegagalan kita yang terpenting buat-Nya melainkan upaya, kasih dan ketulusan kita dalam mengikuti-Nya dan melaksanakan kehendak-Nya. Ia tidak menilai berdasarkan prestasi melainkan berdasarkan mutu relasi kita dengan-Nya, yaitu mutu cinta kita kepada-Nya. (Menemukan Tuhan Dalam Hidup Sehari-hari, 2012)