Oleh Pater Kimy Ndelo, CSsR, Provinsial Redemptoris
Sekelompok anak sekolah ditanyai alasan mereka senang sekali membaca buku Harry Potter atau menonton filmnya. Mayoritas dari mereka menjawab, “Karena kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.”
Rasa penasaran mendorong penemuan-penemuan besar dalam sejarah umat manusia. Ingin tahu terus-menerus adalah sebuah petualangan intelektual yang menghasilkan lompatan pencapaian yang banyak membantu kehidupan umat manusia.
Para majus atau magi bukanlah Raja-Raja. Mereka adalah kelompok orang dengan status khusus sebagai Imam di kerajaan Persia yang tugasnya melayani Raja dengan keahliannya menafsirkan mimpi atau memperhatikan pergerakan bintang.
Perjumpaan para Magi/Majus atau ahli perbintangan dengan bayi Yesus yang baru lahir diawali pula oleh rasa penasaran. Para Majus melihat bintang dan membaca tanda-tanda, yang menunjukkan lahirnya seorang raja istimewa. Perjalanan panjang dari wilayah Persia atau Babilonia merupakan bentuk petualangan penuh risiko. Mereka rela meninggalkan kenyamanan hidup mereka untuk menyembah raja baru. Mereka rela berjalan jauh demi sebuah tanda ajaib.
Walau tidak begitu pasti siapa yang mengunjungi kanak-kanak Yesus, mereka dianggap mewakili bangsa-bangsa lain memberi pengakuan akan Yesus sebagai Raja dengan persembahan yang mereka bawa.
Perjalanan mereka bagaikan petualangan iman Abraham untuk sebuah janji negeri makmur sejahtera dan keturunan sebanyak bintang di langit dan pasir di laut. Rasa penasaran, ingin terpuaskan, semangat mencari, berpadu dalam sebuah petualangan iman. Perjalanan mereka juga bagaikan eksodus bangsa Israel dari Mesir untuk sebuah kemerdekaan namun penuh suka duka.
Hidup kita sesungguhnya merupakan bentuk petualangan. Setiap gerak maju kita adalah petualangan yang dipimpin oleh rasa ingin tahu. Berjalan bukan sekadar gerakan otomatis seperti air mengalir. Kita berjalan untuk sebuah tujuan.
Kedua, persembahan kita demi Yesus sang Raja hendaknya dari yang terbaik yang kita miliki. Bukan yang biasa-biasa saja atau bahkan sisa yang tak terpakai. Kita memberikan waktu yang terbaik dalam doa bukan sisa-sisa tenaga dalam kelelahan. Kita menyumbang pikiran demi perkembangan Tuhan di saat usia terbaik kita, bukan ketika kita pensiun atau tak bertenaga lagi. Kita memberikan harta yang terbaik untuk Tuhan, bukan yang tidak kita suka lagi.
Ketiga, seperti para majus, kita harus berani mengubah arah perjalanan manakala kita menjumpai bahaya atau halangan. Kita harus berani ‘banting stir’ untuk keluar dari zona nyaman.
Dalam konteks iman kita berjalan untuk semakin mengenal Allah dan PuteraNya. Kita keluar dari zona nyaman untuk berjumpa dengan Dia melalui pribadi-pribadi tempatDia mengidentikkan dirinya: orang miskin, orang sakit, orang terpenjara, orang lapar, orang tak berpakaian dan sebagainya. Kita diberi banyak tanda akan hadirnya Dia di luar sana. Kita bahkan mau dituntun untuk sampai pada sebuah perjumpaan dengan Dia.
Pertanyaannya, maukah kita keluar dari kenyamanan kita, memulai sebuah petualangan untuk berjumpa dengan Dia?
Salam Natal dan Salam Sehat dari Biara Santo Alfonsus-Konventu Redemptoris Weetebula, Sumba tanpa Wa.