Simply Yuvenalis da Flores
Dalam ajaran kearifan adat budaya, keyakinan dan agama-agama, manusia diakui sebagai makhluk istimewa di antara segenap ciptaan lainnya di semesta ini. Manusia adalah Nur Ilahi, Citra Allah, makhluk berjiwa dan berakal budi, makhluk religius, mitra Allah, makhluk multidimensi dan makhluk penuh misteri. Masih ada berbagai nama lain, yang intinya menempatkan keagungan manusia di tengah ciptaan lain dalam alam semesta.
Pada saat yang sama, manusia juga tetap ciptaan, dengan keterbatasan alamiah dan kelemahan hakiki. Manusia mutlak tergantung pada sesamanya dan manusia mutlak tergantung kepada ciptaan lain, yakni alam lingkungan. Tanpa orang lain, ibu bapa dan leluhur, tidak ada seorang pun anak manusia terlahir. Diimani dan diyakini bahwa Sang Pencipta, memilih ibu bapa, orang tua sebagai mitra-Nya, untuk melanjutkan keturunan manusia di bumi, setelah tercipta manusia pertama. Tidak ada seorang anak manusia pun meminta atau mengusulkan untuk terlahir ke dunia, sesuai seleranya; baik orang tuanya, waktu lahir, tempat lahir serta kemampuan dalam dirinya. Ini Misteri Allah Sang Pencipta, dan tidak tuntas didiskusikan otak manusia. Pada saat yang sama, semua manusia sangat tergantung pada alam lingkungan semesta. Tanpa manusia, semua alam lingkungan lestari dan terjadi. Tetapi, tanpa alam lingkungan, manusia pasti mati dan punah.
Dengan prinsip dan fakta hakiki demikian, maka ada keharusan manusia untuk menggunakan segala aspek dirinya: pikiran, rasa, raga, hati nurani dan jiwanya secara bijaksana dan seimbang dalam relasinya dengan sesama manusia dan dengan alam lingkungannya. Khusus dalam memanfaatkan dan mengelola alam lingkungan ini, manusia dituntut untuk menggunakan semua aspek dalam dirinya secara maksimal.
Bukan hanya kehebatan pikiran dan dorongan pemenuhan hawa nafsu keuntungan modal, tetapi juga kesadaran moral dan spiritual akan kemutlakan relasi ketergantungan kepada alam lingkungan. Hal ini dituntut pada setiap pribadi, apalagi kelompok komunitas; lebih lagi kepada para pengusaha dan pejabat pemangku kebijakan publik – negara dan lembaga internasional.
Mengabaikan Alam
Pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam (bumi – tanah, air dan lautan serta udara), harus dipertimbangkan keamanannya bagi manusia, keberlanjutan ekosistem, daya dukungnya, serta pemeliharaannya yang terjamin.
Jika aspek keuntungan ekonomis menjadi utama, lalu keseimbangan ekosistemnya diabaikan, apalagi analisa dampak lingkungan hanya manipulasi di atas kertas, lalu pemulihan setelah eksploitasi sumberdaya alam (reboisasi dan reklamasi), maka lahirnya bencana banjir, pemanasan global, kebakaran, wabah penyakit, dll. menjadi keniscayaan yang harus dialami.
Ironinya, pelakunya segelintir orang yang rakus untuk kaya raya, karena memiliki modal dan kekuasaan, korbannya adalah mayoritas masyarakat sederhana dan orang yang tidak tahu menahu tentang kebijakan eksploitasi sumber daya alam yang rakus dan brutal tersebut di berbagai wilayah negeri ini dan di dunia. Aneh ya, pelaku pengrusakan sumber daya alam adalah sekelompok kecil manusia bermodal dan berkuasa, tetapi dampak bencana dan penderitaan dialami mayoritas manusia sederhana yang justru tidak tahu menahu akan pengrusakan sumber daya alam yang tidak bijaksana tersebut. Ada sangat banyak manusia di lokasi eksploitasi sumber daya alam yang dibungkam suaranya – voice of voiceless, bahkan hilang atau dihilangkan nyawanya, demi kelancaran proyek eksploitasi sumber daya alam. Padahal mereka adalah penduduk asli, penjaga dan pewaris sumber daya alam tersebut. Contoh kasus di Kalimantan, Papua, Sulawesi. Juga di luar negeri seperti di Afrika dan Indian – Amerika Latin.
Terjadinya pandemi wabah saat ini, juga bencana alam di berbagai wilayah negeri kita, bahkan di dunia, adalah kenyataan yang menggugat kesadaran manusia tentang prinsip hakiki keberadaan diri kita manusia, dalam relasi ketergantungan mutlak dengan sesama; dan khususnya dengan alam lingkungan semesta ini. Masikah ada kesadaran dan tanggungjawab manusia dalam mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam lingkungan ini? Sebab, tanpa alam lingkungan dengan ekosistem yang seimbang, maka manusia mati dan punah. Sedangkan tanpa manusia, alam lingkungan masih berjalan asri lestari dengan hukumnya.
Bencana dan wabah penyakit dewasa ini, adalah jawaban dan gugatan alam kepada perilaku manusia selama sekitar 100 tahun terakhir. Para pemangku adat budaya di tanah air kita, para pebisnis dan pemodal, serta pejabat pembuat kebijakan eksploitasi sumber daya alam di negara kita harus bertanggungjawab untuk melihat kembali berbagai keputusan terkait pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam di negeri ini.
Apakah kebijakan lama, yang sedang berjalan atau yang sedang direncanakan saat ini. Perlu evaluasi dengan kesadaran multi aspek akan prinsip hakiki relasi manusia dan alam lingkungan. Jangan sampai, kebijakan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam hanya dimutlakkan pada prinsip ekonomi dan keuntungan pemodal, tanpa peduli dengan dampak negatifnya, serta melupakan kewajiban pemulihan dan prinsip keseimbangan ekosistem.
Lembaga pemberi izin, AMDAL, dan pengawas jangan sampai hanya penonton dan dipaksa mengikuti keinginana pemodal untuk mendapatkan untung sebesar-besarnya, tanpa peduli dengan ancaman bencana serta kerusakan ekosistemnya. Proyek perkebunan monokultur seperti sawit yang membabat jutaan hektar hutan, aneka tambang mineral dan migas, juga pengembangan pemukiman serta perkotaan, adalah kenyataan yang terus terjadi dengan dominasi kepentingan bisnis untuk segelintir orang kaya.
Peran negara, tokoh adat budaya, akademisi, pegiat sosial dan tokoh agama sangat diandalkan. Jangan sampai semua lembaga publik tunduk kepada kepentingan bisnis (lokal dan asing) segelintir orang yang sangat rakus mengeksploitasi sumber daya alam, yang akibatnya menjadi bencana bagi jutaan mayoritas masyarakat sederhana di negeri ini, yang juga punya hak hidup dan harus dijamin oleh negara.
Merebaknya pandemi wabah dan bencana, menggugat manusia, khususnya pejabat publik untuk mengevaluasi dan merevisi semua kebijakan eksploitasi sumber daya alam secara menyeluruh dan mendasar, dimana relasi manusia sangat tergantung pada alam lingkungan yang harmonis, agar dapat melanjutkan kehidupan ini dan anak cucu di masa mendatang. Negeri ini adalah warisan leluhur dan pinjaman anak cucu bangsa Indonesia.
Dalam prinsip dan cara pandang demikian, maka mengatasi pandemi wabah, tidak saja soal vaksin dan obat fisik lainnya, tetapi sangat perlu soal aspek moralitas dibenahi dan keharusan kembali pada aspek religiositas spiritual; baik sesuai adat budaya maupun dengan keyakinan dan ajaran agama masing-masing. Doa dan ritual, secara pribadi maupun bersama dalam komunitas adat dan agama masing-masing sangat penting untuk kembali berdamai dengan alam lingkungan, leluhur dan Sang Pencipta.
Doa dan ritual mohon ampun, doa dan ritual menolak bala bencana serta memohon keselamatan. Peran pemangku adat budaya, tokoh agama dan Lembaga Pemerintah sangat dibutuhkan untuk mendukung dan memfasilitasi masyarakat melakukan doa dan ritual. Khasanah kearifan dan spiritualitas dalam adat budaya di suku bangsa negeri ini, juga dalam keyakinan dan agama-agama, adalah bagian yang sangat handal untuk menghadapi wabah penyakit dan bencana.
Dalam kaitan dengan kebijakan dan pelaksanaan eksploitasi sumber daya alam selama ini, pertanyaannya adalah “apakah aspek spritual adat budaya, keyakinan dan agama mendapat perhatian proporsional dan maksimal atau hanya formalitas bahkan diabaikan?”
Seringkali, karena rahasia bisnis dan kepentingan keuntungan, maka aspek ini dikesampingkan, atau hanya formalitas dan di atas kertas, bahkan diselesaikan dengan uang. Misalnya soal hutan keramat, kuburan leluhur dan tempat ritual, bahkan pemukiman komunitas adat budaya, bisa dikalahkan dan disingkirkan demi eksploitasi sumber daya alam. Misalnya pembuatan lahan sawit dan proyek aneka tambang mineral dan migas. Deretan kasus pembebasan lahan di berbagai wilayah negeri ini dapat diungkapkan, oleh LSM lingkungan dan masyarakat adat (WALHI, AMAN, JATAM, Sawit Watch, dll.), tetapi cerita sedih kekalahan yang ada dalam menghadapi kebijakan negara untuk kepentingan Pengusaha – Pemodal.
Saatnya mendengar dan peduli akan fakta derita dan masalah, soal relasi tidak harmonis dan tidak bijaksana dalam pengelolaan dan eksploitasi sumber daya alam di negeri ini. Alam lingkungan adalah berkah Sang Pencipta, warisan leluhur dan pinjaman anak cucu. Maka semua pihak, khususnya pejabat publik wajib menjamin pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana, bertanggungjawab, adil dan berkelanjutan; baik bagi kita yang hidup saat ini, maupun anak cucu generasi yang terlahir sekarang dan nanti.
Pesan penyanyi legendari Ebiet G Ade dalam beberapa lagunya, bisa menjadi pengingat. Lagu Berita kepada Kawan adalah doa dan rintihan jutaaan masyarakat sederhana di negeri ini, “… Mengapa di tanahku terjadi bencana… Mungkin Tuhan mulai bosan, melihat tingkah kita…”
Untuk kembali kita introspeksi, ada syarat mutlak yang diingatkan,….“Kita mesti telanjang, dan benar-benar bersih, suci lahir dan di dalam bathin…. Tengoklah ke dalam sebelum bicara, singkirkan debu yang masih melekat.. Mari hanya tunduk sujud pada-Nya…”.
Menghadapi pandemi wabah dan bencana alam, ternyata kemunafikan, verbalisme – banjir kata-kata dalam keseharian maupun di medsos, saling mempersalahkan, memaksakan dan memutlakkan kebenaran pribadi, hoaks, menjelekkan lawan politik dan semua hal negatif lainnya adalah bukan jalan bijaksana menghadapi wabah dan bencana alam.
Kerendahan hati, rasa syukur, berpikir positif dan rela berbagi dalam semangat solidaritas kemanusiaan perlu sama-sama ditingkatkan dalam suasana sulit ini. Jadi, new normal adalah revolusi pembaruan diri untuk kembali kepada hakikat kehidupan sebagai manusia, di tengah sesama dan relasi harmonis dengan alam lingkungan, karena hormat dan syukur kepada Sang Pencipta Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang.
Karena itu, segala upaya menghadapi wabah dan bencana alam, jika hanya karena mengandalkan kemutlakkan pikiran dan kehebatan nafsu manusiawi semata, pasti bukan jalan yang bijaksana. Kecanggihan pikiran saja, tanpa peduli aspek lain dalam diri manusia, adalah melawan kodrat dan hakekat eksistensi manusia, baik pribadi maupun sebagai makhluk sosial dan religius.
Salam dari Flores