TEMPUSDEI.ID (4/2/21) — Seragam Sekolah mencuatkan satu kasus. Walau bukan hal baru, peristiwa atau kasus siswi-siswi non-Muslim dipaksa memakai jilbab tiba-tiba geger. Ini fakta yang setidaknya terjadi di SMKN 2 Padang, Sumatera Barat yang kemudian menjadi buah bibir nasional, yang kemudian memicu terbitnya surat keputusan bersama tiga menteri (Mendikbud, Mendagri dan Menag).
Atas kasus di SMKN 2 tersebut, muncul berbagai reaksi. Ada yang menolak dengan keras, tentu saja banyak juga yang menyetujui dengan berbagai alasan, termasuk alasan agar para siswi tidak digigit nyamuk. Ah! Ini alasan mengada-ada!
Setidaknya ada dua masalah atau pelanggaran besar di situ. Pertama, terjadi pemaksaan. Di mana-mana, yang namanya pemaksaan pasti tidak menyenangkan dan tidak boleh, bahkan dilarang keras karena melanggar HAM. Bahwa ternyata ada yang “menerima” sebuah pemaksaan, itu melulu karena ketidakberdayaan.
Para siswi yang dipaksa berjilbab itu pasti memberontak dalam hati, namun tak kuasa menolak. Lalu karena tidak bisa menahan gejolak dalam hati, maka informasi itu bocor ke publik melalui Medsos. Kedua, yang dipaksa menggunakan jilbab itu, siswi non Muslim. Entahlah, apakah ada siswi Muslim yang juga merasa terpaksa atau tidak. Anehnya, pemaksaan dilakukan dengan senjata Perda atau Peraturan Daerah. Artinya, bertindak atas nama negara.
Lalu mau apa sebenarnya dengan sesuatu yang bersifat pemaksaan? Pemaksaan, apa dan di mana pun hanya akan melahirkan kepatuhan palsu. Dan ketika pihak yang dipaksa itu tidak tahan lagi, muncul perlawanan dalam aneka bentuk.
Dalam kasus di atas, hanya dari luar anak-anak tersebut tampak sebagai anak-anak Muslim, dari bajunya. Ini hanya keseolah-olahan. Palsu! Kebijakan palsu hanya keluar dari sosok yang penuh kepalsuan pula.
Setuju atau tidak, kepalsuan atau perilaku palsu ini telah menjadi salah penyakit akut di tengah-tengah masyarakat. Diperlukan racikan obat dosis tinggi untuk membunuhnya. Betapa tidak dikatakan begitu?
Kepalsuan
Di mana-mana ada kepalsuan. Ia telah menjadi makanan sehari-hari bahkan berbiak dalam aneka rupa dan sajian. Saking lumrahnya, apa saja dipalsukan. Kasat mata muncullah hidung palsu, bibir palsu, bokong palsu, dagu palsu, pipi palsu, dan sebagainya. Tidak mengherankan pula bahwa di pasar, pusat perbelanjaan dan di trotoar-trotoar berserakan barang-barang palsu yang dilekati stiker bertulis “awas barang palsu!”.
Kembali ke SMKN 2 Padang. Yang memprihatinkan, pemaksaan tersebut terjadi di lembaga pendidikan, negeri pula. Lembaga pendidikan mestinya menjadi tempat subur menyemaikan landasan-landasan berpikir yang bernas nan mencerahkan. Yang terjadi malah sebaliknya, dijadikan ladang untuk menanam dan menumbuhkan cara perpikir sempit nan mengerdilkan.
Di lembaga pendidikan milik negara, dibiayai dari uang rakyat secara lintas SARA. Di dalamnya tidak boleh ada pemaksaan dari siapa pun. Setiap warga negara memiliki hak yang sama untuk mengenyam pendidikan di situ, apa pun latar belakangnya. Karenanya identitas mereka harus dihormati. Biarkanlah kepelbagaian yang melekat pada diri mereka bertumbuh karena memang inilah realitas Indonesia. Tidak boleh dipersekusi dengan cara apa pun.
Tugas Intelektual
Seorang Wali Kota atau Kepala Sekolah adalah intelektual atau setidaknya pernah melewati jenjang-jenjang pendidikan formal sehingga tahu untuk apa daya intelektualitasnya.
Seorang intelektual—apalagi yang memiliki kekuasaan—semestinya mengemban tugas memberikan pencerahan di tengah kegelapan. Hidup dan pengabdian seorang intlektual tidak hanya untuk diri dan kelompoknya sendiri, tapi untuk masyarakat banyak. Seorang terpelajar atau intelektual semestinya mampu dan cerdas menempakan diri. Dan pada kesempatan lain ia harus berani keluar dari dirinya sendiri dengan suluh di tangannya untuk membenderangi secara lintas batas.
Noam Chomsky, seorang profesor linguistik dari Institut Teknologi Massachusetts mengingatkan, tanggung jawab intelektual seorang terpelajar adalah berbicara kebenaran dan menguak kebohongan-kebohongan. Artinya, seorang intelektual dalam dirinya adalah orang yang berikhtiar menumpas kebohongan atau kepalsuan.
Jika perilaku seorang terpelajar adalah perilaku penebar kepalsuan, maka betapapun pemikirannya “tampak” cerdas dan cemerlang, itu tak ubahnya “omong kosong intelektual” atau yang Berhard Russel sebut intellectual rubbish. Sampah semacam ini tanpa makna, hanya ibarat sampah “orang kota kampungan” yang menyesaki wilayah jorok dan segera menjadi tempat berbiaknya penyakit-penyakit berbahaya.
SKB 3 Menteri: Dilarang Melarang atau Memaksa
Kita gembira atas surat keputusan bersama (SKB) Mendikbud Nadiem Makarim, Mendagri Tito Karnavian, dan Menag Yaqut Cholil Qoumas terkait penggunaan seragam dan atribut di lingkungan sekolah negeri. Mereka bersepakat bahwa tidak boleh ada pemaksaan penggunaan pakaian seragam dengan latar belakang agama tertentu.
“Kunci utama dari SKB ini adalah para murid dan para tenaga kependidikan adalah yang berhak memilih antara: a. Seragam dan atribut tanpa kekhususan agama atau b. Seragam dan atribut dengan kekhususan agama. Kunci dari SKB 3 Menteri ini yang harus ditekankan adalah hak di dalam sekolah negeri untuk memakai atribut kekhususan keagamaan itu adanya di individu. Siapa individu itu? Murid dan guru, dan tentunya orang tua. Itu bukan keputusan dari sekolahnya di dalam sekolah negeri,” tutur Nadiem Makarim dengan tegas.
Karena itu jelas Mas Menteri, sapaan akrab Nadiem, pemerintah daerah atau sekolah tidak boleh mewajibkan ataupun melarang seragam dan atribut dengan kekhususan agama. Pemerintah daerah dan sekolah pun tidak boleh mewajibkan atau melarang seragam atau atribut dengan kekhususan keagamaan.
Ya, keputusan ada pada setiap individu. Dengan demikian, sebagai manusia otonom, mereka sendirilah yang memutuskan. Setiap orang dewasa atau yang sedang belajar menjadi dewasa harus bisa mengambil keputusan atas dirinya. Tidak perlu dipaksa-paksa. Sejatinya, tak seorang pun mau dipaksa.
Oleh Emanuel Dapa Loka, tinggal di Bekasi, Jawa Barat
Seragam sesungguh nya bertujuan agar tidak ada kesenjangan antara mrk yg kaya dan miskin… Pemakaian atribut agama dlm hal seragam sah” saja sepanjang masih ada tolenransi dlm arti tidak memaksakan kehendak. Disamping kepalsuan krn tanggung jawab si pemakai harus menunjukkan sikap sesuai yg terlihat dr ketaatan atribut juga kerap menimbulkan gap diantara para siswa/i. Lebih baik berseragam saja ( tanpa atribut keagamaan ) hingga tidak menjadi batu sandungan.