Taufan Hunneman, Dosen Universitas Catur Insan Cendekia, Cirebon
Kodratnya, manusia adalah makhluk merdeka. Karena itu, semua upaya penjajahan terhadapnya pasti menimbulkan perlawanan, tak terkecuali untuk manusia di negeri ini.
Cara paling efektif melanggengkan kolonialisme, tiadakan pendidikan. Dengan kata lain, tingkat keterdidikan menentukan bertahan atau tidaknya penjajahan. Karena itu sejak politik etis diterapkan, kelas pelajar lahir, lalu mengubah gaya perlawanan terhadap kolonialis.
Kita bisa menyaksikan organisasi politik dan paguyuban sosial memberikan kesadaran betapa pentingnya persatuan menuju kemerdekaan.
Betapa penting pendidikan sehingga tokoh emansipasi R.A Kartini merintis upaya pendidikan. Dewi Sartika juga. Lahirnya Taman Siswa yang berbasis pada pendidikan akhlak manusia Indonesia sejati memiliki muara yang sama.
Amat pentingnya pendidikan disadari para founding fathers sehingga mereka mematrikan pendidikan dalam preambule konstitusi kita. Ini berarti, pendidikan dijamin oleh negara.
Bangsa yang beradab tentu concern pada pendidikan. Bisa dikatakan pendidikan merupakan keberlangsungan satu bangsa.
Para founding father di awal pergerakan sadar- sesadar-sadarnya bahwa pendidikan kolonialis terbatas dan penuh sensor. Karena itu tidak heran ruang diskusi serta sikap kritis tidak di anjurkan. Dulu di era Orde Baru, lebih ekstrem lagi. Bukan saja pendidikan disensor, tapi dimodifikasi untuk satu ketertundukkan. Lebih dari itu, institusinya diawasi sehingga ruang gerak mahasiswa terbatas.
Inikah Model Pendidikan?
Ivan Illich pesimis terhadap pendidikan yang ujung-ujungnya hanya mempertahankan hegemoni yang existing sehingga menjadi pendidikan sebagai duplikasi dari sistem yang ada. Untuk itu menuurut Ivan Illich diperlukan pendidikan alternatif.
Sebenarnya, kita tidak perlu sampai pada satu kesimpulan bahwa diperlukan pendidikan alternative. Yang kita butuhkan adalah satu itikad baik untuk kembali merefleksikan perjalanan awal sampai kemerdekaan di mana peran kaum terpelajar signifikan.
Pendidikan harus memastikan bahwa yang terjadi bukan proses duplikasi yang menekankan konsep text book thinking, apalagi polanya masih hafalan dan ujian-ujian dengan soal-soal berbentuk “apa yang dimaksd dengan” – masih seputar definisi.
Pendidikan yang mementingkan kemampuan menghafal menempatkan guru atau dosen sebagai pengajar yang serba tahu dan sumber pengetahuan. Hal ini membuat siswa miskin gagasan. Pada gilirannya, gaya ini hanya melahirkan siswa atau lulusan yang tidak kreatif dan miskin inovasi. Karena itu dibutuhkan model pendidikan yang strategis dan transformatif.
Pendidikan harus memerdekakan setiap siswa untuk mencari tahu baik grand theory maupun problem solving, juga uji keilmuan serta eksperimen-eksperimen jika itu ilmu eksakta. Pendidikan yang memfasilitasi ini menjadi tema utama satu kemajuan serta keberlangsungan satu bangsa.
Perlu kita pahami sampai hari ini bahwa kemampuan homo sapiens terus eksis karena imajinasi yang melahirkan kreativitas dan inovasi lalu berkembang terus dan membangun serta memperbaiki relasi sesama.
Inilah kunci dari pendidikan, yakni menumbuhkan serta menstimulasi sikap kritis setiap siswa hingga terus-menerus mengalami proses ini.
Menjadi ironis jika fokus kita bukan lagi pada persoalan subtantif melainkan hal-hal formal, yakni pernak-pernik dunia pendidikan yang sama sekali tidak memberikan nilai supporting bagi siswa.
Kedisplinan bukan satu pemaksaan represif institusi atas siswa. Penerapaan kedisplinan dengan atribut pakaian yang seragam bahkan memaksakan pakaian identitas agama tertentu pada siswa yang berbeda agama misalnya, merupakan satu kemunduran atas essensi pendidikan yang memerdekakan.
Sejatinya pendidikan itu memerdekakan kita dalam berpikir, bertindak serta memahami essensi dari pendidikan yang membawa setiap siswa menjadi seorang kreator, inovator serta berbudi pekerti.
Pendidikan Moral
Pendidikan yang memberikan kesadaran untuk menempatkan nurani dalam porsi utama, adalah agenda mendesak negeri tercinta ini.
Diperlukan pendidikan yang menekankan sisi nurani yang tidak mendasarkan diri pada kebencian. Pendidikan juga harus dikembalikan pada prinsip disiplin yang membawa peserta didik kreatif, berjiwa inovatif serta memiliki sikap egaliter. Dengan begitu, kita sedang melepas belenggu yang mengikat manusia dalam kungkungan kebodohan dan kekeruhan berpikir. Inilah hakikat pendidikan!