Oleh Suster Imelda Oliva Wissang
TEMPUSDEI.ID (16 FEBRUARI 2021)
Lagu Ina Maria, Ina Ata Sare terdengar sayup dari toa gereja dekat pelabuhan Sejengkal di perkampungan Balek Lewo, sebuah perkampungan para perantau termasuk dari Flores. Lambat laun alunan lagu terdengar senyap, sesenyap lintasan gelombang kecil yang hanya meninggalkan buih di celah bebatuan sepanjang pantai.
Kumandang syair Ina Maria dalam suasana tersebut menjadi isyarat bagi warga perkampungan Balek Lewo bahwa hari telah menjelang senja sekaligus menggegaskan warga ke pekuburan di ujung kampung lama untuk memasang lilin, menderetkan untaian doa bagi keluarga yang sudah meninggal. Sebagian warga bergegas ke Gua Maria samping gereja, menyalakan lilin permesa di depan Ema Bunda, mendaraskan doa sejauh harapan.
Ketika malam tiba terlihat nyala lilin di pekuburan lama, di Gua Maria berkedip tanpa henti menerangi kegelapan malam, meleleh hingga selesai.
Sore itu suasana Gua Maria terasa tenang dan teduh. Angin berembus perlahan menyibak dedaunan bunga seputar pelataran doa. Di antara nyala lilin, tampak seorang perempuan tua, Ina Bunga, begitu biasa disapa warga yang sedang berlutut sambil memejamkan mata. Lambat laun semakin terkatup bersama eratnya genggaman kontas merah di antara jemari tangannya yang semakin keriput. Ina Bunga melambungkan doa penuh harap, meletakkan semua keluh kesah di depan Ema Bunda, penjaga kehidupan, pendengar paling setia, penolong abadi. Di wajahnya terlukis perjuangannya yang tegas mengurai hidup ini, terpancar kegembiraan karena berhasil merawat kehidupan meski derita jiwa pun tak bersurut dan menyimpan penat lelah yang dalam.
Setiap sore, Ina Bunga melintasi jalan tua perkampungan Balek Lewo menuju Gua Maria. Jemari tangannya menggenggam kontas merah dan sebatang lilin. Dengan langkah perlahan, Ina Bunga berjalan tenang sambil menguntai doa-doanya mengangkasa bersama lepasan butir-butir kontas merah dari satu peristiwa ke peristiwa berikut. Di kaki Ema Bunda, Ina Bunga berlutut, menyalakan sebatang lilin yang dibawanya, lilin permesanya. Matanya terkatup membilang seribu doa. “Hanya engkau Ema Bunda, ina peten kame yang bisa menjawab doaku, menerima lilin permesa biar terus menyala,” batinnya selalu memohon.
Suatu sore selepas berdoa sebagaimana kebiasaannya, Ina Bunga melenturkan lutut, duduk berselonjor di pelataran doa, sesekali matanya memandang ke Ema Bunda lalu pindah memandang lilin permesa yang menyala terang. Kebiasaan ini dilakukan sambil menunggu jam Angelus tiba.
Dari kejauhan tampak Mama Rina, tetangga dekat rumah yang juga hari itu ke gua. Sambil tersenyum, Mama Rina menyapa Ina Bunga. Keduanya kelihatan gembira, sejenak larut dalam sunyi doa. “Ina, tiap sore datang pasang lilin untuk siapa,“ tanya Mama Rina penasaran. Ina Bunga memandangnya lalu menyahut, “Doa dan lilin untuk saya sendiri, terlalu banyak susah, saya datang ke Ema Bunda saja.” Jawaban Ina Bunga singkat membuat Mama Rina semakin penasaran. Akan halnya Ina Bunga kelihatan tenang saja, meski hatinya jadi tak karuan mendengar pertanyaan Mama Rina. Seketika keduanya terdiam. Lonceng Angelus berdentang, keduanya berlutut ikut mendaraskan doa Malaikat Tuhan yang dipancarkan dari toa gereja.
Selesai doa mama Rina mengajak Ina Bunga pulang. Keduanya berjalan melintasi perkampungan. Tidak banyak bicara, masing-masing larut dalam perbincangan yang menyisakan penasaran.
Pikiran Ina Bunga sudah melambung jauh bahkan ke sudut benua, tempat anak kesayangan, persembahan keluarga bertugas sebagai seorang Bruder. Entah mengapa, hari-hari selama masa Covid-19 melanda dunia, hati Ina Bunga pun menjadi tidak tenang, selalu bertanya-tanya mengapa tak pernah ada berita sedikitpun datang dari seberang sana.
Teringat dulu, saat pertama sang anak menyatakan keinginan dan mengambil untuk hidupnya, tak ada pikiran apa-apa di benak Ina Bunga yang kebetulan sudah beberapa tahun menjanda. Keduanya duduk di kubur bapak yang sudah meninggalkan mereka.
Ilyas, putera kesayangan yang diharapkan melanjutkan warisan dan kehidupan marganya tiba-tiba menyatakan keinginan yang sama sekali tak pernah terlintas dalam pikiran Ina Bunga. “Ema, saya mau izin pergi jauh, saya mau melayani Tuhan, bekerja di kebun anggur-Nya. Saya ingin masuk biara, jadi Bruder. Tapi saya mau jauh dari sini, di luar sana dan itu paling baik sudah.” Ina Bunga diam saja, sambil mendengarkan Ilyas terus mengutarakan niatnya. “Tugas Ema, pasang lilin permesa, titip doa ke Ema Bunda biar cita-cita ini tercapai,” pinta Ilyas jujur. Ina Bunga lagi-lagi tidak bicara apa pun, membiarkan anaknya bicara sampai ke ujung mana ia akan berhenti.
Seiring langkah, pikiran Ina Bunga terus mengembara. Baru tersadar ketika Mama Rina mengajaknya untuk melangkah lebih cepat karena sudah mulai gelap di sekitar.
Mama Rina sebenarnya agak terganggu melihat tingkah Ina Bunga yang akhir-akhir ini lebih banyak diam. Tidak biasanya. Ina Bunga memang paling rajin mengunjungi gua, selalu membawa sebatang lilin, mengantar doa yang dipersembahkan berulang kali untuk sang anak, Ilyas, seorang bruder yang bertugas di tanah misi.
Tahun-tahun awal selalu ada berita tentang berbagai kegiatan yang mulai dijalankan Ilyas bersama teman-temannya di seberang sana. Ina Bunga selalu bercerita dengan penuh semangat, bukan karena anaknya menjadi bruder tetapi karena Tuhan berkenan memilih Ilyas menjadi pekerja di kebun anggur Tuhan. Ina Bunga sangat yakin bahwa doa-doanya dan lilin permesa yang terus menyala itu melancarkan segala perjuangan Ilyas. Namun kini, setelah bertahun lamanya hingga tiba bencana Covid-19 ini tidak lagi terdengar Ina Bunga bercerita tentang anaknya. Bagaimana ia mau bercerita, sepotong berita pun tak pernah didapatnya lagi. Entah karena apa, tetapi memang sudah sangat lama.
“Ina, bagaimana berita anak kita Bruder Ilyas. Kapan akan berlibur, pasti kita semua senang kalau bruder datang,” begitu Mama Rina membuka pembicaraan ketika mereka melewati lorong menuju rumah. Belum sempat Ina Bunga menjawab, keduanya harus berpisah.
Hari sudah semakin gelap, sementara tetangga sekitar mulai cemas karena tidak biasanya Ina Bunga pulang terlambat dari gua seperti sekarang. Mendengar bunyi derak pintu, Mama Lebu yang paling dekat dengan Ina Bunga yang memang dari tadi sengaja menunggu langsung menyapanya “Ai, Ina, kita sudah gelisah mengapa sampai malam.” Ina Bunga hanya menatap sejenak lalu segera masuk rumah menyalakan lampu. Tatapan Ina Bunga membuat Mama Lebu bertanya-tanya sambil mengikuti Ina Bunga masuk rumah.
Keduanya duduk santai di lantai rumah Ina Bunga yang sebulan lalu baru dipasang keramik. Ina Bunga tiba-tiba meminta Mama Lebu untuk kontak Bruder Ilyas. “Sudah lama sekali tidak ada berita. Apa dia baik-baik. Bilang sama dia, doa Ema tidak berkurang, lilin permesa tetap menyala, tapi apa buat dia sudah bertahun-tahun ini tidak ada kabar berita,” demikian Ina Bunga mengungkapkan keresahan hatinya. Mama Lebu merasa bahagia mendengar curahan hati Ina Bunga tentang anaknya, bruder Ilyas.
Segera tangannya mencari-cari nomor kontak di handphone lalu pindah ke messenger, pindah lagi ke facebook barangkali akan bertemu nama Ilyas Ata Kiwan, begitu nama lengkapnya. Terpampang profil wajah Ilyas tetapi satu persatu diteliti ada Ilyas Ratu, Kiwan Ratu, Ata Lewo, Ilyas Duli dan sederet nama lain. Pelacakan terus dilakukan. Mama Lebu tidak berhasil dan tidak ditemuka nama yang dicari. Mama Lebu terus mencari, tetapi belum juga mendapat hasil.
Hati Ina Bunga tetap merindu. Adakah kabar berita yang bisa mengobati rindu pada anaknya nun jauh di sana? Lambat laun hanya bayangan yang menghampir. Ina Bunga hanya mampu menidurkan rindu yang pilu pada butiran doa yang tak pernah selesai, melingkar berulangkali sepanjang utasan kontas merah di bawah cahaya lilin permesa yang terus menyala sampai suatu saat Bruder Ilyas akan pulang berlibur ke kampung Balek Lewo meski berita seputar covid-19 semakin menggetarkan hati. Virus mematikan itu telah menelan banyak korban yang meninggal tanpa orang-orang terkasih bahkan tanpa sepengetahuan keluarga karena sesegera mungkin dimakamkan.
Mungkinkah sang anak semata wayang, Bruder Ilyas, permata Ina Bunga juga bernasib demikian? Ina Bunga terus menjuntai kontas merah itu membilang Salam Maria dari satu untaian ke untaian berikut berulang kali seirama kedap kedip lilin permesa yang terus menyala.
Seketika matanya memandang sekitar, tak ada harapan yang menghampir hanya jauh di selatan pekuburan lama, bunga-bunga November terus menjulur berbulu ungu berunjuk-unjuk membungkus sujud di pinggir-pinggir pagar yang sebagian kawatnya mulai berkarat.
Malang, awal November 2020
Catatan bahasa Lamaholot