Oleh Joanes Joko, Tinggal di Jakarta
TEMPUSDEI.ID (25 Februari 2021)
Satu dekade lalu sebuah perusahaan air minum kemasan meluncurkan serial iklan yang menggambarkan kesulitan mengakses air bersih di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) – lengkap dengan sederet aktifitas sosial melayani kebutuhan air warga setempat. Saking gencarnya iklan tersebut, telinga kita, para pemirsa televisi, tak asing mendengar suara seorang bocah berkata : “Sekarang sumber air su dekat…”
Saya beruntung karena beberapa kali ke NTT pada musim kemarau. Di balik eksotisme alam NTT, saya bisa mendengar secara langsung bagaimana upaya keras masyarakat bertahan hidup di musim kering. Ini bukan hanya soal memperoleh aliran air untuk mengolah lahan pertanian, tapi juga perjuangan hari demi hari mendapatkan air untuk kebutuhan basis hidup sehari-hari.
Lebih dari beberapa dekade Provinsi NTT merasa seolah “dianak-tirikan” oleh pemerintah pusat dibandingkan saudaranya,Timor Timur – kini Republik Demokratik Timor Leste—yang mendapat perhatian serius terus-menerus, dipicu tekanan politik global pada waktu itu.
Pembangunan infrastruktur di NTT hanya sedikit di masa itu. Problem utama kekeringan lahan di wilayah ini tak mendapatkan solusi permanen.
Namun dalam kondisi tersebut orang NTT tetap setia dan menyebut diri sebagai bagian integral yang membanggakan dari bangsa dan tanah air Indonesia. Masyarakat NTT sejauh yang saya temukan adalah orang-orang yang memiliki karakter kuat, ulet, egaliter, terus-terang, pekerja keras, dan selalu menerima saya di mana-mana dengan kehangatan yang meluap.
Tempaan alam yang keras, tidak membuat mereka mudah kehilangan harapan—termasuk berharap pada datangnya kelimpahan air yang dapat mengubah hidup mereka menjadi lebih baik. Harapan itu juga terpancar dalam anekdot-anekdot. Umpama, NTT adalah kepanjangan “Nanti Tuhan Tolong”. Kendati bernada satir, lelucon ini mencerminkan harapan mereka pada uluran tangan Tuhan dalam kondisi sesulit apa pun.
Pemimpin datang dan pergi. Kini, di masa Presiden Jokowi, harapan itu berbuah kebanggaan: NTT akhirnya memiliki pos lintas-batas negara yang megah dan membanggakan. Ini cerita seorang sahabat saya di sebuah kota di Pulau Timor: dulu orang jika ke pos lintas batas, orang lebih memilih berfoto di pos milik Timor Leste. Sekarang justru terbalik. Orang Timor Leste lebih memilih berfoto di pos milik Indonesia.
Hari ini “sumber air” itu benar-benar su dekat. Sumber air itu bukan sekadar tentang infrastruktur fisik melainkan tentang sumber harapan dan mimpi untuk bisa ke luar dari kemiskinan. Kondisi alam yang sulit mendapatkan air sebagai sumber kehidupan telah mengakibatkan kemiskinan tersebut.
Memahami kerasnya kesulitan alam, serta harapan panjang pada perbaikan kehidupan, rasanya kita bisa mengerti euforia, kegembiraan yang meluap-luap, saat menyambut pemimpinnya pada pekan lalu. Pemimpin itu, bernama Presiden Joko Widodo atau Jokowi, yang tiba bersama wujud nyata harapan panjang akan air melalui peresmian bendungan Napun Gete di Kabupaten Sikka.
Hingga kini, pemerintahan Presiden Jokowi telah menyiapkan sembilan bendungan bagi tanah NTT—baik yang telah selesai, mau pun yang tengah digarap dan akan dibangun. Dengan bendungan ini, ratusan ribu hektar tanah di NTT tidak akan lagi mengalami kekeringan di musim kemarau.
Pemimpin yang sama, telah berkali-kali datang ke wilayah kepulauan ini untuk memastikan aliran air yang dinanti segera terlaksana, untuk menunjukkan keberpihakan pada mereka yang selama ini merasa terabaikan.
Maka kita menyaksikan ledakan euforia selamat datang, kita melihat mereka melupakan sejenak bahaya pandemi Covid-19. Mereka berani menerabas penjagaan para Paspampres yang garang, kuat, dan ketat. Dalam hati mereka, barangkali kekuatan Paspampres tak ada apa-apanya dibanding keteguhan dorongan hati mereka untuk sekadar menyampaikan rasa terima kasih pada pemimpin yang mereka kasihi seraya mengatakan, “Selamat datang, Bapa Presiden. Terima kasih, air su tambah dekat”.