Fri. Nov 22nd, 2024

Catatan untuk Polemik Kerumunan Massa di Sumba Tengah dan Maumere saat Kunjungan Presiden Jokowi

Jokowi di Napun Gete, Maumere

KEBENARAN MENURUT APA DAN SIAPA?

Simply da Flores, Alumni STF Driyarkara Jakarta, Direktur Harmony Institute

TEMPUSDEI.ID (26 FEBRUARI 2021)

Simply da Flores

Bahwa Presiden mengunjungi Kabupaten Sumba Tengah untuk meresmikan proyek Food Estate, dan Kabupaten Sikka untuk meresmikan proyek Bendungan Napun Gete pada tanggal 23 Februari 2021 adalah fakta dan sebuah kebenaran yang tidak terbantahkan.

Bahwa dalam kunjungan kerja tersebut, Sang Pemimpin Negara dikerumuni massa dengan ekspresi yang histeris karena berbagai alasan pribadi mereka adalah sebuah fakta dan kebenaran yang tidak bisa dianulir. Nyata terjadi sesuai konteksnya, bukan dimobilisasi atau dipaksa dan diundang Presiden Joko Widodo, atau pejabat daerah setempat.

Bahwa ada protokol kesehatan karena Pandemi Covid-19, di mana dilarang kerumunan massa, harus pakai masker dan menjaga jarak adalah aturan yang sudah ditetapkan untuk ditaati segenap masyarakat adalah sebuah fakta dan kebenaran.

Bahwa karena adanya kerumunan massa dan reaksi begitu banyak pihak mempersalahkan Presiden, Pemda, protokoler dan satgas covid19 adalah fakta yang sedang terjadi dan itu pun adalah kebenaran.
Lalu, bagaimana seharusnya dan apa relevansinya untuk kita perdebatkan ?

Kebenaran untuk Apa dan Siapa?

Menurut saya, semua fakta itu adalah kebenaran. Maka untuk masing-masing pihak, hanya diakui ya, tidak terbantahkan dan selesai. Ada risiko masing-masing dan tidak pantas saling mempersalahkan, karena ada konteksnya.

Jika demi penegakan aturan protokol kesehatan karena Pandemi Covid-19, maka hemat saya, yang terindikasi melakukan pelanggaran adalah semua massa yang melakukan kerumunan, agar bisa melihat dari dekat Sang Pemimpin yang pertama kali datang ke daerahnya. Apa pun alasan mereka, hanya massa pelaku kerumunan yang mengetahui pasti. Mengapa mereka datang dan mengerumuni konvoi rombongan Presiden?

Presiden tidak mengundang, Pemerintah daerah tidak memobilisasi, petugas keamanan berulang kali mengingatkan menjaga jarak dan wajib pakai masker, mobil patroli mengingatkan, penjagaan begitu ketat. Maka, pihak Pemda, petugas keamanan, protokoler serta satgas Covid-19 tidak patut dipersalahkan. Bahkan Paspampres dengan motornya justru terjatuh oleh serbuan mama-mama yang menyerbu mengerumuni mobil Presiden.

Fakta dan kebenaran tersebut, ketika disoroti oleh berbagai pihak yang sangat peduli dengan penegakan protokol kesehatan, maka semestinya tidak mengadili siapa salah atas dasar kepentingan oposisi politiknya. Terkesan bahwa pokoknya Presiden salah, atau protokol dan Pemda salah, keamanan dan satgas Covid-19 yang salah. Atas dasar asumsi subyektif dengan alasan protokol kesehatan, tetap sangat penting untuk melihat dan memahami konteks peristiwa kerumunan secara sungguh objektif.

Pertanyaannya, untuk apa dan siapakah semua polemik, kritik dan tudingan penegakan protokol kesehatan itu dilakukan? Demi keselamatan kita semua, atau demi penegakkan aturan protokol kesehatan, demi kepentingan politik para pengeritik yang beroposisi dengan Presiden, atau demi balas dendam?
Jawaban pastinya hanya para pengeritik dan pelapor ke polisi untuk mengadili Presiden, merekalah yang mengetahui.

Menurut saya, yang harus dikritik dan dilaporkan adalah sekian banyak massa yang melakukan kerumunan di Sumba dan di Kabupaten Sikka. Saat diproses hukum, akan diketahui alasan pasti dari massa pelaku kerumunan tersebut.

Maka sekali lagi, pertanyaannya adalah kebenaran untuk apa dan siapa? Juga, kebenaran menurut apa dan siapa ?

Melihat Konteks

Presiden Jokowi dan Gubernur Laiskodat. (ist)

Harus diapresiasi dan dihargai mereka yang mengingatkan, mengkritik bahkan melaporkan ke polisi atas fakta kerumunan massa saat kunjungan Presiden di Sumba dan Sikka. Mereka melakukan kontrol dan sangat peduli akan penegakkan aturan demi kehidupan bersama. Khusus aturan untuk mencegah dan mengatasi pandemi Covid-19 yang sedang melanda bangsa kita dan dunia hingga saat ini. Dalam konteks ini, harus diberikan apresiasi bagi semua yang sadar akan bertanggungjawab, sudah melakukan kontrol sosial dan sudah mendesak penegakkan hukum bagi yang diduga melakukan pelanggaran.

Untuk massa pelaku kerumunan, jika sadar hukum, mestinya segera menyerahkan diri karena telah melanggar protokol kesehatan. Selanjutnya, para penegak hukum silakan melakukan tugasnya dengan benar dan adil.

Ada dua catatan, yaitu pertama, penegakkan hukum tidak boleh berdasarkan tudingan pihak yang anti Jokowi, atau untuk memuaskan selera para pelapor dan pembuat kritik. Namun harus atas dasar aturan yang berlaku dan proses penegakkan hukum yang benar dan tepat.
Kedua, menurut saya, massa yang datang berkerumun adalah pelaku pelanggaran protokol kesehatan, sehingga sekian banyak massa itulah yang harus diproses hukum.

Maka, poinnya adalah melihat konteks kejadian, fakta obyektif siapa yang melakukan pelanggaran protokol kesehatan. Bukan asal tuduh dan melakukan pengadilan subyektif melalui media.

Salus Populi Suprema Lex

Atas kejadian kerumunan massa kepada kendaraan Presiden saat kunjungan di Sumba dan Kabupaten Sikka, fakta dan kebenaran ada di beberapa ruang. Ruang obyektif kejadian kerumunan massa dan ruang di luar kerumunan massa.

Lalu, kebenaran pun menurut apa dan siapa, bisa menjadi perdebatan panjang. Akhirnya, penegakan protokol kesehatan, juga pertanyaannya untuk apa dan siapa?

Khusus untuk keselamatan kita semua menghadapi pandemi Vovid-19, apakah massa yang mengerumuni kendaraan Presiden itu, sungguh tidak tahu dan tidak mau selamat dari bahaya wabah Covid-19 ?

Rupanya, selain adanya protokol kesehatan pandemi Covid-19 yang sedang merenggut ribuan nyawa, kepentingan penegakkan hukum, peran para pemerhati, kepedulian dan tugas para wakil rakyat, kepentingan politik pribadi – kelompok dan partai; ternyata ada dimensi dan kepentingan yang berbeda dalam diri massa yang melakukan kerumunan kepada rombongan Presiden.

Fakta tersebut memiliki kebenarannya sendiri, yang secara hukum – protokol kesehatan melanggar, tetapi nyatanya dilakukan. Bukan karena tidak tahu, tetapi ada dorongan lain yang lebih kuat dari maut, pandemi Covid-19 dan penegakkan aturan.

Mungkin inilah kehausan akan pemimpin bersahaja yang mencintai dan melayani rakyat, dan kelaparan akan kesatuan kata dan perbuatan, wewenang dan tanggungjawab, nilai nurani dan bukti perbuatan dari seorang Pemimpin.

Fakta Kebenaran dari perayaan manunggalnya damba – rindu – cinta – syukur dari massa dengan Pemimpinnya; dalam kejujuran dan kesahajaan tanpa rekayasa serta tipu muslihat dan hujan banjir kata-kata janji.

Bangsa dan negara kita Indonesia, sedang haus akan kebenaran yang menyelamatkan rakyat, sedang lapar akan kebenaran yang menyejahterakan masyarakat dengan tindakan nyata dalam kerja kerja kerja;?, bukan hoaks, polemik, pertikaian, korupsi, saling menyalahkan dan permusuhan demi kerakusan akan harta dan tahta.

Kiranya semua sepakat bahwa pada hakikatnya, keselamatan dan kesejahteraan rakyat adalah hukum tertinggi – Salus Populi Suprema Lex.

Related Post

Leave a Reply