Oleh Viktor D. Engelbert, Mahasiswa STF Driyarkara Jakarta
TEMPUSDEI.ID (1 MARET 2021)
Ikhtiar berpuasa memerlukan tekad.Perkataan Yesus pada pembuka masa Prapaskah, yakni Rabu Abu lalu berbunyi demikian, “Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu”.
Perkataan Yesus tersebut menyentil hati saya untuk bertanya, “Apakah selama ini saya adalah orang yang suka menuntut pujian, pengakuan, dan lain sebagainya atas semua hal baik yang saya perbuat?” Atau, “Apakah jika yang saya lakukan itu tidak diapresiasi, dipuji, dan lain sebagainya padahal yang saya lakukan itu baik, bukan untuk saya sendiri melainkan lebih untuk orang lain, saya menjadi kecewa, marah, dan merasa tidak dihargai?”
Merenungkan hal itu saya sadar bahwa kadang atau mungkin sering saya belum total. Ketika saya mendapatkan semua itu (pujian, apresiasi, dsb) atas segala hal baik yang saya lakukan, saya akan merasa puas dan berhasil. Sebaliknya apabila atas hal baik yang saya lakukan malah mendapatkan yang sebaliknya saya akan merasa kecewa, sedih, marah, dsb.
Di situ saya sadar bahwa totalitas dalam diri saya itu belum begitu kuat terbentuk. Sebab, totalitas mengandaikan sebuah penyerahan yang utuh sekaligus tulus yang bermuara pada aksi nyata yang dilandasi oleh hati dan motivasi murni. Artinya, ketika yang saya lakukan itu tidak dipuji, diapresiasi, saya tidak perlu merasa kurang, kecewa, karena tujuan saya melakukan kebaikan bukan demi itu semua melainkan demi sebuah nilai yang lebih tinggi, yakni kebaikan bersama dan keselarasan dengan kehendak Tuhan.
Saya menyadari hal ini tidak mudah. Bagaimanapun juga saya adalah seorang manusia biasa, yang hari ini mungkin bisa, namun besok belum tentu bisa, kendati sudah berjuang sungguh-sungguh.
Selain itu realitas bahwa saya ini manusia yang rapuh, yang juga butuh afeksi, pengakuan, membuat saya seringkali mengalami pergulatan hebat. Tapi mungkin itulah artinya hidup. Berada dalam tegangan kemanusiaan dan panggilan ilahi.
Sisi manusia menghendaki pemuasan kebutuhan manusiawi, sementara sisi ilahi menghendaki sebuah totalitas tanpa batas. Ini sulit dan tidak mudah.
Di tengah ketidakmudahan dan ketegangan itu, Yesus pada Rabu Abu itu memberi jawaban yang melegakan sekaligus meneguhkan bahwa hal baik yang sudah dilakukan atau yang sedang dan akan dilakukan perlu terus diperjuangkan. Jangan takut! Berpuasalah dengan sungguh, tahanlah godaan manusiawi, dan hiduplah seturut kehendak yang ilahi kendati tidak dipuji, tidak dilihat, tidak diapresiasi, atau malah dibenci. Tak apa-apa, karena Yesus sendiri mengatakan, “Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu.”
Mari kita memasuki dan menjalani masa puasa ini dengan jiwa besar dan hati rela berkorban. Mari berjuang, meski kadang gagal, sulit, teruslah maju. Tuhan merindukan rindu dan gairah kita pada-Nya.
Robet E. Thomson, sekali waktu menulis: “Gairah untuk kasih, belas kasihan, dan kebaikan adalah gairah akan Allah”.
Jadi, selamat berjuang sampai waktunya Tuhan bangkit dan menjumpai kita seperti penampakan kepada dua murid Emmaus, dan pada akhirnya kita bisa berkata pada-Nya, “Tinggalah bersama-sama dengan kami” (Luk. 24;29).