Fri. Nov 22nd, 2024

Greg Tan, Anak Muda yang Bangun 141 Gereja itu, Dulu Jualan Gorengan di Kampus

Albertus Gregorius Tan (Foto: Dokpri Greg)

TEMPUSDEI.ID (3 MARET 2021)

Melihat hasil perjuangannya saat ini, semua orang pasti berdecak kagum. Betapa tidak? Sudah 141 buah gereja yang ia bantu: mulai dari renovasi, menuntaskan pembangunan yang mangkrak sampai dengan membangun dari nol sampai tuntas.

Pekerjaan yang sangat tidak ringan ini ia lakukan karena kecintaannya pada Tuhan dan Gereja-Nya. Dua gereja terbaru (ke 140 dan 141) yang dia dan tim baru selesaikan terletak di Sanggau (Kalimantan Barat) dan Doloksanggul (Sumatera Utara).

Gereja yang 141 itu tersebar di seluruh Indonesia. Greg memilih membangun gereja-gereja di peladalaman, yang umatnya sangat membutuhkan, sudah memiliki IMB, dan yang pengurus gerejanya tidak memiliki rekam jejak bermasalah dalam urusan keuangan.

Melihat karyanya yang luar biasa dan mengundang kagum, atau kadang-kadang malah mengundang rasa “tidak percaya”, banyak orang bertanya-tanya: Siapakah anak muda ini, dari mana dia mendapatkan begitu banyak uang? Siapa orang di belakangnya? Dan mengapa dia mau melakukan aktifitas yang tidak mendatang keuntungan materi bagi dirinya pribadi?

Albertus Gregorius Tan atau yang biasa dipanggil Greg atau Albert ini kelahiran Jakarta, 8 April 1990 dari pasangan Katarina Yullany dan Athanasius Andry. Kini Greg “hanyalah” karyawan sebuah bank swasta, bukan pemilik bank itu.

Sejak kecil dia menyaksikan elan vital atau daya juang luar biasa pada kedua orang tuanya. Dari kerja keras keduanya orang tuanya tersebut, dia dan keluarga boleh dikatakan berkelimpahan secara materi. Maklumlah, mereka memiliki perusahaan percetakan yang cukup besar dengan keuntungan besar pula. Dengan itu, mereka bisa memiliki rumah dan beberapa mobil.

Meski begitu, Greg lebih suka hidup sederhana. Ke mana-mana dia tidak pernah minta diantar atau membawa mobil sendiri seperti anak-anak seusianya di Metropolitan Jakarta. Dia lebih suka menggunakan angkot atau kereta api.

Tertambat di Pelosok

Gereja St. Katarina Bologna, Stasi Kariahan Usang-(Sebelum dan sesudah)

Dalam keluarga, dia selalu diingatkan atau lebih tepatnya “dicekoki” ajaran untuk menjadi orang sukses, pengusaha hebat dan kaya raya. “Pernah terbersit mengikuti anjuran itu. Sempat tertanam cita-cita untuk kaya raya agar memiliki prestise,” katanya dalam buku Hati yang Tertambat pada Umat di Pelosok Nusantara yang ditulis oleh wartawan senior Kompas, Simon Saragih. Namun saat mencoba, aku Greg, dia justru menemukan kekosongan. Dalam dirinya justru muncul bisikan lain: “Aku ingin menjadi berkat bagi sesama”.

Sejak kecil, Greg tumbuh menjadi anak yang cerdas, patuh dan cenderung pendiam. Karena keserdasannya, ia sering menggondol piala dan aneka penghargaan lain.

Suatu masa, di tengah hidup yang serba kecukupan, sebuah prahara menghantam sangat keras. Krisis ekonomi pada 1997 yang melahirkan huru-hara itu, sangat berimbas pada usaha ayahnya. Rezeki atau kekayaan mereka habis. Suatu hari, sang ayah meminta maaf kepada istri dan anak-anak  yang membuat semua anggota keluarga menangis. Karena modal tidak memadai lagi, usaha percetakan dipindahkan ke rumah dan sang ayah mulai dari nol lagi.

Mereka kehilangan banyak, tapi pada saat yang bersamaan mereka, terutama Greg mendapatkan “sangat banyak”. Apa itu? “Ayah telah kembali dari yang selama ini sangat sibuk. Ini lebih penting bagi saya ketimbang kehilangan rezeki,” kata Greg. Greg sangat bahagia karena ayahnya punya banyak waktu untuk keluarga. Waktu bersama sang ayah jauh lebih berharga baginya. Karenanya dia tidak merasa stress atau down dengan keadaan ekonomi keluarga yang mendadak berubah. Sekali lagi, Greg sudah sangat terbiasa hidup sederhana walau ketika perusahaan ayahnya masih berjaya, tersedia banyak fasilitas dan uang yang bisa dia pakai kapan saja.

Situasi yang berubah drastis tersebut, menyebabkan Greg tidak bisa lagi berharap untuk bersekolah di swasta. Meski begitu, dia tetap tidak khawatir. Dan benar! Karena prestasi akademiknya yang baik, dia kemudian diterima masuk UI sehingga biaya kuliah tidak terlalu menjadi masalah lagi. Dia juga dibantu oleh tantenya.

Menyadari situasi ekonomi keluarga, Greg tidak bisa tinggal diam. Dia tanpa sungkan atau malu berjualan gorengan buatan ibunya di kampus. “Saat kuliah, saya jualan gorengan setiap hari. Ada tiga kotak yang terjual dengan keuntungan tiap hari 45 ribu rupiah. Itulah yang saya pakai untuk makan dan beli buku,” aku Greg. Dia mengaku sama sekali tidak malu melakoni pekerjaan tersebut. Sebaliknya dia malah enjoy.

Berjumpa Pastor Nikolaus

Tampak Gereja St. Maria Bunda Pertolongan Abadi, Stasi Podol-Manggarai, Flores (sebelum dan sesudah)

Dengan bantuan Medsos, Greg terlibat dalam pergaulan luas, sampai suatu saat dia bertemu dengan Pastor Nikolaus Sitanggang OFM Cap yang waktu itu masih frater. Lambat laun ia menganggap Pastor Nikolaus sebagai abang kandungnya.

Suatu ketika, Greg mengunjungi Stasi Rawakolang tempat Frater Nikolau bertugas. Untuk kunjungan ini, dia membohongi ibunya dengan memberi alasan “ada tugas kampus” ke daerah Rawakolang di Sumatera Utara.

“Di desa terpencil dia bertemu Tuhan. Dia merasakan jiwanya tertambat di pelosok, di alam kesederhanaan, di mana cinta sejati ada. Imannya semakin bergairah. Di gereja desa itu ia menangis melihat umat sederhana dengan gereja jelek, tetapi terlihat ceria dan beriman. Dia tersentak,” tulis Simon Saragih pada halaman 13 buku tersebut. Ini terjadi saat Greg masih mahasiswa.

Prestasi akademik Greg di bangku kuliah terbilang cemerlang. Dia lulus dengan predikat Magna Cum Laude. Oleh karena prestasi akademiknya, saat kuliah, dia menjadi salah satu mahasiswa UI yang mengikuti pertukaran pelajar ke Jerman.

Posting di Face Book

Gereja St. Alfonsus, Stasi Binjohara Napa (sebelum dan sesudah)

Begitu tersentuh dengan pengalaman di Rawakolang tersebut, Greg memosting foto-foto kondisi riil umat di sana di face booknya dengan narasi yang ternyata menggetarkan hati banyak orang. Teman-temannya yang melihat menanggapi dengan positif. Bahkan ada yang mengusulkan untuk berbuat sesuatu. Dia lalu membangun komunikasi yang intensif dengan teman-teman yang tampak serius lewat jalur pribadi atau japri. Dari sini embrio semangat membantu dan membangun gereja-gereja di pedalaman tumbuh. Semangat ini dia siangi dan disirami terus-menerus.

Banyak yang kemudian memercayakan uangnya kepada Greg untuk membangun gereja-gereja di pedalaman. Ada yang memberi banyak, ada juga yang memberi sedikit-sedikit. Uang-uang tersebut benar-benar dia pakai sesuai peruntukannya. Setelah itu dengan sangat rapi dan transparan dia membuat laporan. Sejak itu kepercayaan padanya bak bola salju berguling-guling dan semakin besar. “Saya sangat bersyukur banyak yang percaya, dan orang muda harus bisa dipercaya. Modal utama itu kepercayaan atau trust. Harus dijaga betul-betul,” ucapnya.

Saat ini dia sedang menyelesaikan pembangunan beberapa gereja dan berharap dalam waktu yang tidak lama lagi sudah bisa diresmikan dan digunakan. Jika ada dari antara para pembaca tempusdei.id yang ingin membantu Greg merealisasikan kerinduan banyak umat di pedalaman untuk memiliki bangunan gereja, silakan menyalurkan melalui RENENING BANK MANDIRI 1230007536594 dan REKENING BCA 2761636393 atas nama Yayasan Vinea Dei. Kunjungi juga website jalakasih.com untuk melihat berbagai informasi, termasuk jika ingin mengajukan proposal pembangunan gereja. (tD/EDL)

Related Post

2 thoughts on “Greg Tan, Anak Muda yang Bangun 141 Gereja itu, Dulu Jualan Gorengan di Kampus”

Leave a Reply